MALANG, BANGSAONLINE.com – Prof Dr Maskuri Bakri, Rektor Universitas Islam Malang (Unisma) Jawa Timur sangat mengapresiasi terbitnya buku Kiai Miliarder Tapi Dermawan karya M Mas’ud Adnan. Buku ini bercerita tentang succsess story Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur.
“Judulnya menarik, sangat inspiratif,” kata Prof Maskuri Bakri saat memberikan sambutan dalam acara bedah buku Kiai Miliarder Tapi Dermawan di Pascasarjana Unisma Malang, Sabtu (15/10/2022).
Baca Juga: Imam Suyono Terpilih Jadi Ketua KONI Kabupaten Mojokerto Periode 2024-2029
Prof Maskuri menilai Kiai Asep memang luar biasa karena kedermawanan dan kealimannya. Menurut dia, kedermawanan itu sangat dicintai Allah SWT. Bahkan Allah lebih mencintai orang yang ilmunya pas-pasan tapi dermawan ketimbang orang alim tapi pelit.
Ia kemudian mengutip Hadits populer yang menceritakan empat orang atau golongan yang antre masuk surga. Yaitu mujahid atau orang mati syahid, haji mabrur, dermawan dan ulama.
Setelah melalui proses dialog, malaikat mempersilakan ulama dan dermawan masuk surga lebih dahulu. Tapi sang ulama menolak karena saat mencari ilmu ternyata yang membiayai adalah seorang dermawan. Maka dermawan itulah yang berhak masuk surga lebih dulu.
Baca Juga: Doakan Kelancaran Tugas Khofifah-Emil, Kiai Asep Undang Kiai-Kiai dari Berbagai Daerah Jatim
Sosok Kiai Asep, kata Maskuri Bakri, justru lengkap. “Kiai Asep punya ilmu, ahli ibadah, kaya miliader, banyak sedekah dan dermawan,” katanya.
Karena itu, tegas Maskuri Bakri, Kiai Asep paling berhak masuk surga lebih dulu. “Sekarang bagaimana kita bisa meneladani, jadi miliarder yang dermawan,” katanya.
Prof Junaidi Mistar, PhD mengamini apa yang disampaikan Prof Maskuri Bakri. Menurut dia, Kiai Asep memang kiai yang layak diteladani.
Baca Juga: Kiai Asep Beri Reward Peserta Tryout di Amanatul Ummah, Ada Uang hingga Koran Harian Bangsa
Prof Junaidi bahkan memberikan testimoni tentang kedemawanan Kiai Asep.
“Sebelum kaya, Kiai Asep sudah dermawan, “ kata Prof Junaidi Mistar ketika menjadi nara sumber dalam bedah buku tersebut. Junaidi Mistar banyak tahu masa muda Kiai Asep karena pernah sama-sama kuliah di IKIP Malang.
“Dulu Kiai Asep tidur di tempat kost saya,” ungkapnya.
Baca Juga: Kedudukan Pers Sangat Tinggi dalam Undang-Undang, Wartawan Harus jaga Marwah Pers
Menurut dia, saat itu ada dua kiai keturunan ulama besar tapi teman-teman kuliahnya tak ada yang tahu kalau mereka kiai besar.
“Yaitu Kiai Asep dan Kiai Fahmi Hadzik dari Tebuireng,” kata Junaidi.
Baca Juga: Klaim Didukung 37 Cabor, Imam Sunyono Optimis Terpilih Ketua KONI Kabupaten Mojokerto
Ia bercerita bahwa tempat tidurnya susun. “Saya tidur di atas, Kiai Asep tidur di bawah,” ungkap Junaidi sembari tertawa. Ia minta maaf karena waktu itu ia tidur di atas yang bisa dianggap tak sopan.
Ia sekarang mengaku tak enak karena ternyata Kiai Asep jadi ulama besar. Pria asal Lumajang Jawa Timur itu bercerita bahwa Kiai Asep sering membantu teman-teman sesama mahasiswa saat kuliah.
“Yang membayari KKN juga Kiai Asep,” tuturnya.
Baca Juga: Magister Peternakan Unisma Ingatkan Pentingnya Rekording Ternak Kambing Gunakan QR Code di Pamekasan
Mendengar cerita nostalgia Prof Junaidi itu, Kiai Asep Saifuddin Chalim tersenyum.
Sementara M Mas’ud Adnan mengaku tertarik menulis kiprah Kiai Asep karena banyak menciptakan paradigma baru dalam dunia kekiaian.
Alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Univerisas Airlangga (Unair) itu memberi contoh soal tradisi sowan kiai.
Baca Juga: Gegara Mitos Politik dan Lawan Petahana, Gus Barra-dr Rizal Sempat Diramal Kalah
"Kalau kita sowan kiai, biasanya kita yang menyalami uang pada kiai karena tabarrukan. “Tapi kalau kita sowan Kiai Asep malah kita yang diberi sarung dan uang,” kata Mas’ud Adnan.
Selain itu, tutur Mas'ud, Kiai Asep punya nasab kiai besar. Kiai Asep adalah putra ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Yaitu KH Abdul Chalim, ulama asal Leuwimunding Majalengka Jawa Barat.
“Dalam dokumentasi sejarah NU periode pertama nama Kiai Abul Chalim tercantum sebagai Katib Tsani, di bawah nama KH Abdul Wahab Hasbullah. Sedang Kiai Wahab adalah Katib Awal yang sekarang disebut Katib Aam Syuriah PBNU,” ungkap Mas’ud Adnan sembari mengatakan bahwa Kiai Abdul Chalim adalah teman Kiai Abdul Wahab Hasbullah ketika sama-sama belajar di Makkah.
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asyari: Pemersatu Umat Islam Indonesia, Khofifah: Dahysat Secara Substansi
"Rais Akbarnya Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari dan Ketua Tanfidziahnya Haji Hasan Gipo," kata Mas'ud Adnan sembari mengatakan bahwa Kiai Abdul Chalim adalah ulama yang bertugas mengirimkan surat kepada para kiai saat pembentukan Komite Hijaz yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).
Mas’ud Adnan juga mengungkap soal masa muda Kiai Asep yang miskin setelah ditinggal ayahnya, Kiai Abdul Chalim. Menurut dia, Kiai Asep ditinggal wafat ayahnya saat kelas 2 SMAN di Sidoarjo.
“Saking miskinnya makan saja tak ada. Kalau lapar Kiai Asep makan sisa-sisa santri di dapur pesantren,” kata Mas’ud Adnan mengutip buku yang ditulisnya. “Bahkan pernah tiga kali melamar cewek, tapi lamarannya dikembalikan karena dianggap sebagai pria tak punya masa depan,” kata Mas’ud Adnan yang disambut tawa peserta bedah buku.
Bagaimana respon Kiai Asep? Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto itu mengakui waktu muda memang sangat miskin.
“Di ruangan ini tak ada yang lebih miskin dari saya,” kata Kiai Asep yang ketua umum Persatuan Guru Nadhlatul Ulama (Pergunu).
Ia juga mengakui pernah melamar cewek tapi lamarannya kemudian dikembalikan. “Saya kemudian berdoa. Ya, Allah, nikahkanlah saya dengan wanita miskin. Yang tak diketahui nasabnya, yang pendidikannya tidak tinggi, yang tidak punya kedudukan,” katanya.
Allah SWT mengijabahi doa Kiai Asep. “Saya kemudian menikah dengan perempuan yang belum lulus SMP,” katanya sembari tertawa. “Tapi kemudian saya pondokkan di pesantren, sekolah di MASNU, yang dipimpin Nyai Dewi Sidoarjo,” tuturnya.
Kiai Asep mengaku menyambangi istrinya itu tiap minggu. “Tapi paling hanya 3 menit atau 5 menit. Karena saya takut ketahuan kalau dia istri saya. Kalau dia ketahuan sudah bersuami kan dikeluarkan dari sekolahnya di Aliyah. Jadi selama tiga tahun Bu Nyai-nya gak tahu kalau dia istri saya,” kata Kiai Asep. Lagi-lagi peserta bedah buku tertawa.
Kini istri Kiai Asep, Nyai Alif Fadlilah, telah mempersembahkan 9 putra-putri. Penghasilan istrinya Rp 2 miliar tiap bulan.
Kiai Asep juga bercerita saat mendirikan pondok pesantren di Pacet. Saat itu hanya punya uang Rp 20 juta dan santrinya cuma 48 orang. Kini tanahnya mencapai 100 hektar dan jumlah santrinya mencapai 16.000 orang.
“Yang 3.000 beasiswa, gratis,” kata Kiai Asep.
Banyak peserta buku penasaran dengan Kiai Asep, terutama resepnya untuk menjadi miliarder. Mantan ketua PCNU Kota Surabaya itu menyarankan salat malam 12 rakaat 6 kali salam. Plus witir 3 rakaat dua kali salam.
"Doanya ada di bagian akhir buku itu," katanya sekaligus mengijazahkan.
Prof Mas’ud Said, Ph.D, Direktur Pascasarjana Unisma mengucapkan terima kasih kepada Kiai Asep. Ia berharap acara ini penuh barokah.
“Semoga yang hadir ini menjadi miliarder semua. Tapi juga yang dermawan,” katanya.
Acara ini banyak dihadiri mahasiswa Pascasarjana Universitas NU Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro. Karena dibarengkan dengan kuliah kampus. Acara bedah buku yang dimulai pukul 10.30 itu berakhir 13.00 WIB.
Dalam acara itu hadir Prof Junaidi Ghony, Dr Rulam Achmadi, dan Dr Sri Minarti, Direktur Pascasarjana Unugiri Bojonegoro.
Seperti beritakan BANGSAONLINE.com, buku Kiai Miliarder Tapi Dermawan ini sudah dibedah di berbagai tempat. Antara lain di Kantor Gubernur Kalteng, di ITB Stikom Denpasar Bali, Pascasarjana Unair Surabaya, Gedung Dewan Pers Jakarta, Pesantren Tahfidz Maros Sulawesi Selatan, Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon Jawa Barat, Pesantren Amanatul Ummah 02 Leuwimunding Majalengka Jawa Barat, Universitas Trunojo Madura (UTM), Pesantren Ibnu Kholdun Al Hasyimi Situbondo, Pendopo Bupati Bondowoso, Kongres III Pergunu di Amanatul Ummah Pacet Mojokerto, di Hotel Garuda Pontianak Kalimantan Barat, yang diselenggarakan oleh Pergunu Kalbar, Pondok Pesantren Raudlatul Islamiyah Robatal Sampang Madura, dan sekarang di Pascasarjana Unisma.
"Pada tanggal 19 Oktober di Lhoksemawe Aceh Utara, pada 23 Oktober insyaallah di Gedung DPRD Kota Malang, tanggal 29 Oktober di Bojonengoro, pada 6 Nopember di Banten dan masih sangat banyak perguruan tinggi, pesantren dan lembaga pemerintah yang antre untuk bedah buku ini," kata M Mas'ud Adnan.(tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News