MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com - Menjelang deadline penetapan upah minimum kabupatan/kota (UMK) tahun 2023 yang harus diputuskan paling lambat tanggal 30 November 2022, DPK Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Mojokerto menggelar gathering, Kamis (4/11/2022) kemarin.
Acara bertajuk 'Gathering Kondusivitas Dunia Usaha Menjelang Penetapan UMK Tahun 2023 di Tengah Krisis Global' itu digelar di salah satu hotel di Kota Mojokerto.
Baca Juga: Dewan Pengupahan Kota Mojokerto Rumuskan Kenaikan UMK 2025
Ketua DPK Apindo Kabupaten Mojokerto, H. Bambang Widjanarko, mengatakan pihaknya mengikuti instruksi dari Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Apindo dalam penetapan UMK tahun 2023.
Yaitu sesuai peraturan perundang-undangan sepenuhnya, meliputi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang pengupahan. Yaitu dengan mengikuti formula, variable, dan sumber data yang telah dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Baca Juga: Pekerja MPS Trowulan Kompak Pilih Gubernur yang Full Senyum
Bambang mengatakan, DPK Apindo Kabupaten Mojokerto mengusulkan adanya klaster dalam penetapan UMK tahun 2023. Klaster itu diperlukan untuk membedakan antara usaha padat modal, padat karya, dan UMKM. Sehingga tidak dipukul rata.
"Contohnya, pada industri rumahan bisa masuk dalam klaster UMKM sehingga tidak gulung tikar. Selain itu, industri lain juga perlu diangkat, sehingga harus ada pembedaan," jelasnya.
Ditanya terkait perkiraan besaran UMK, menurutnya masih harus menunggu hasil riset Badan Pusat Statistik (BPS) yang akan keluar tanggal 7 November 2022. Pihaknya meminta agar pemerintah baik provinsi maupun pusat untuk melindungi industri padat karya.
Baca Juga: Raperda KTR Diprotes Apindo, Pansus II DPRD Pasuruan Janji Pertimbangkan Masukan Pengusaha
"Padat modal, pencet tombol, hasilnya sekian. Dikurangi tidak pencet tombol. Kalau padat karya, bagaimana? Menggunakan tenaga kerja pada saat konsumen berkurang, harus mengurangi produksi, otomatis mereduksi tenaga kerja. Sama dengan UMKM. Masyarakat menunggu itu. Silakan diatur pihak pemerintah saja," bebernya.
"Jadi seharusnya ini ada pembedaan (terhadap usaha padat modal, padat karya, dan UMKM). Perbedaan terkait masalah upahnya, kan tidak mungkin akan disamakan. Contoh tiga tahun lalu sebelum Covid-19, itu ada usulan Toko Mojopahit (Kota Mojokerto) mau di-UMK-kan, itu kan berat. Nah, itu harus diatur. Pemerintah yang punya kewenangan tapi undang stakeholder terkait, pekerja, universitas," ujarnya.
Menurutnya, bagaimanapun UMK harus sesuai dan taat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2001. Namun, demikian, Apindo juga memikirkan industri padat karya yang masih dibutuhkan di Indonesia.
Baca Juga: Melangkah Lebih Maju, PT Sun Paper Source Perluas Pabrik
"Industri padat karya menyerap tenaga kerja cukup besar, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran baik aktif maupun pasif. Sebanyak 90 persen, industri padat karya merupakan tenaga kerja manusia, tenaga mesin hanya 10 persen," tuturnya. (ris/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News