JOMBANG, BANGSAONLINE.com – Pada tulisan M Mas'ud Adnan edisi pertama berjudul "Legacy Gus Sholah, Ramalan Mbah Liem dan Satu Abad NU" disebutkan bahwa Mbah Liem inilah yang meramal Gus Dur akan jadi presiden RI keempat dan Gus Sholah pengasuh Pesantren Tebuireng. Siapa Mbah Liem? Silakan ikuti tulisan CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE itu di bawah ini. Selamat membaca:
Pada jaman Orde Baru ada seorang kiai sangat nyentrik. Saking nyentriknya kadang tampil tak seperti layaknya performance seorang kiai. Pakai celana jean dan topi baret merah Kopassus. Kadang pakai topi hijau infantri atau juga topi Banser. Lengkap dengan jaket Banser. Seolah bukan kiai. Pokoknya, nyelenih dan eksentrik.
Baca Juga: Puisi Prof Dr 'Abd Al Haris: Pimpin dengan Singkat, Gus Dur Presiden Penuh Berkat
Tapi hampir semua tokoh nasional Indonesia hormat dan segan. Termasuk Presiden RI Soeharto dan keluarganya. Bahkan juga Gus Dur. Tapi dasar Gus Dur. Sesegan apapun Gus Dur selalu ada peluang guyon dan bahkan menggonjloknya. Sehingga terjadilah ger-geran.
Mbah Liem. Demikian orang-orang memanggil kiai yang sangat populer itu. Nama lengkapnya KH Muslim Rifai Imampuro.
Nama pesantrennya juga eksentrik. Pondok Pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti. Pesantren itu ia dirikan di Sumberejo Wangi, Troso, Karanganom, Klaten Jawa Tengah. Tahun 1959. Tapi ada yang menyebut 1967.
Baca Juga: Hadiri Haul Ke-15 di Ciganjur, Khofifah Kenang Sosok Gus Dur Sebagai Pejuang Kemanusiaan
Apa punya keistimewaan. Banyak. Mbah Liem selalu mengajarkan cinta tanah air, kesantunan dan akhlak luhur. Sikap keagamaannya moderat atau ausath. Mbah Liem inilah yang kali pertama mencetuskan NKRI harga mati. Yang kini sangat populer itu.
Yang menarik, Mbah Liem selalu titip dua hal: NU dan NKRI. Karena itu beliau mencetuskan NKRI harga mati.
Mbah Liem kondang sebagai guru spiritual. Punya kharisma besar. Bahkan diyakini sebagai waliyullah. Terutama karena ramalan-ramalannya terbukti. Termasuk ketika meramal Gus Dur bakal jadi presiden dan Gus Sholah jadi pengasuh Pesantren Tebuireng, seperti saya tulis pada tulisan edisi pertama.
Baca Juga: Ngaku Pelayan, Gus Fahmi Nangis saat Launching Majelis Istighatsah dan Ngaji Kitab At Tibyan
Padahal ramalan itu diungkapkan jauh beberapa tahun sebelumnya. Sehingga terkesan tak masuk akal. Bahkan orang yang diramal pun tak percaya.
Otomatis banyak elit politik nasional ‘ngalaf berkah’ pada Mbah Liem. Termasuk keluarga Presiden Soeharto. Mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana), putri sulung Presiden Soeharto, termasuk tokoh yang sangat dekat dengan Mbah Liem. Mbah Liem bahkan keluar masuk Istana negara. Kadang salat tarawih dengan Presiden Soharto dan keluarganya.
Nah, suatu ketika Mbak Tutut tampil dalam suatu acara terbuka. Yang dihadiri ribuan massa. Mbak Tutut ada di atas panggung. Mbah Liem datang. Kiai nyentrik itu naik panggung. Mbah Liem tiba-tiba ndusel Mbak Tutut di atas panggung. Masyarakat pun gempar.
Baca Juga: Tak Ada Data, Keluarga Kiai Besari Minta Gus Miftah Tak Ngaku-Ngaku Keturunan Kiai Besari
Namun tak ada yang berani protes. Karena masyarakat meyakini Mbah Liem waliyullah. Masyarakat malah sibuk menafsiri apa yang akan terjadi dengan peristiwa nyelenih Mbah Liem itu.
Tapi Gus Dur lain lagi. Ketika Gus Dur tahu bahwa Mbah Liem tidak hanya dekat dengan Mbak Tutut, tapi juga dengan Megawati Soekarnoputri (putri Bung Karno itu berkunjung ke Pesantren Mbah Liem), Gus Dur nyeletuk.
“Mbah Liem iki enak ya. Mbak Tutut mrene (ke sini), Mbak Mega ya mrene,” kata Gus Dur saat silaturahim ke Pesantren Mbah Liem di Klaten Jawa Tengah. Saat itu Gus Dur menjabat presiden. Mbah Liem langsung tersenyum.
Baca Juga: Kedudukan Pers Sangat Tinggi dalam Undang-Undang, Wartawan Harus jaga Marwah Pers
Meski demikian, Gus Dur sangat hormat pada Mbah Liem. Begitu juga sebaliknya. Mbah Liem sering datang ke Gus Dur. Mbah Liem dan Gus Dur memang sangat akrab.
Nah, suatu saat Mbah Liem minta uang pada Gus Dur.
Apa kata Gus Dur? “Katanya wali, kok minta uang,” kata Gus Dur sembari tertawa.
Baca Juga: Kang Irwan Dukung Mbah Kholil, Kiai Bisri dan Gus Dur Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional
“Siapa yang wali. Sampean itu yang wali,” kata Mbah Liem kepada Gus Dur.
“Ayo saya diberi uang,” desak Mbah Liem. Gus Dur tak bisa mengelak.
Laa ya’riful wali illal waali. Tak ada yang tahu seseorang itu wali, kecuali seorang wali. Artinya, sesama walinya.
Baca Juga: Sowan ke Tokoh Agama GKJW di Balewiyata Malang, Khofifah Napak Tilas Perjuangan Gus Dur
Kembali ke Gus Sholah. Adik kandung Gus Dur itu mendapat amanah memimpin Pesantren Tebuireng sejak 2006. Gus Sholah menggantikan KH Muhammad Yusuf Hasyim yang akrab dipanggil Pak Ud. Tampaknya Kiai Yusuf Hasyim sendiri yang punya inisiatif memilih Gus Sholah sebagai penggantinya. Tentu atas persetujuan keluarga Bani Hasyim atau keluarga besar para dzurriyah Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari.
Saya tahu itu karena saya termasuk alumni Pesantren Tebuireng yang diundang dalam rapat alumni yang dipimping langsung oleh Kiai Yusuf Hasyim. Saat itu rapat di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng.
Namun rapat alumni tidak determinan, karena sekedar memberi masukan dalam suksesi kepemimpinan pengasuh pesantren. Yang menentukan adalah para dzuriyah. Tapi alumni selalu dimintai pendapat. Termasuk soal program pesantren ke depan.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Sejak masih nyantri di Tebuireng saya sering hadir dalam pertemuan terbatas yang dipimpin Kiai Yusuf Hasyim. Saat itu saya masih duduk di Madrasah Aliyah. Saya terlibat dalam pertemuan itu karena saya aktif menulis di surat kabar dan majalah. Kiai Yusuf Hasyim sangat senang kalau ada santri Tebuireng bisa menulis di media massa. Bahkan sering diajak diskusi, terutama tentang masalah politik, NU, pesantren dan masalah nasional lainnya.
Saya paling yunior. Hanya ikut-ikutan. Santri senior yang paling sering diajak diskusi Kiai Yusuf Hasyim adalah Muhammad Luqman Hakiem yang kini jadi kiai sufi di Jakarta. Selain Kiai Lukman Hakiem, juga Cholidy Ibhar, penulis produktif yang pernah jadi anggota DPRD. Kini Kiai Cholidy tinggal di Jawa Tengah.
Kiai Lukman dan Kiai Cholidy adalah senior saya. Dua-duanya penulis produktif sejak masih menjadi santri di Tebuireng. Bahkan saya tertarik belajar menulis karena terinspirasi Kiai Cholidy Ibhar.
Biasanya, dalam berbagai pertemuan itu, Kiai Yusuf Hasyim selalu didampingi Gus Riza Yusuf Hasyim, salah seorang putranya.
Saat rapat suksesi kepemimpinan Pesantren Tebuireng itu Kiai Yusuf Hasyim minta para alumni mengusulkan calon pengasuh Tebuireng. Saat itu ada dua calon menonjol yang diusulkan. Yaitu Gus Sholah dan Gus Dur. Para alumni tampaknya banyak memilih Gus Dur. Maklum, Gus Dur tokoh nasional sangat populer.
Tapi Kiai Yusuf Hasyim cenderung memilih Gus Sholah. Salah satu alasannya, Gus Dur sulit fokus ke Pesantren Tebuireng karena faktor kesibukannya sebagai tokoh nasional.
Yang membuat hati saya tersentuh, Kiai Yusuf Hasyim menyatakan akan segera pindah dari ndalem kasepuhan Pesantren Tebuireng yang sudah ditempati berpuluh-puluh tahun.
“Nanti kalau pengasuh pesantren yang baru sudah terpilih, saya harus pindah dari sini (ndalem kasepuhan),” demikian kira-kira inti pernyataan Kiai Yusuf Hasyim.
Saya sempat menimpali mengingat Kiai Yusuf Hasyim adalah kiai sepuh di Tebuireng. Masak harus pindah. Kiai Yusuf Hasyim menjawab. “Ya. Anak-anak saya juga tak boleh tinggal di sini,” tambahnya.
Kiai Yusuf Hasyim akhirnya pindah kediaman pribadinya di Cukir, tak jauh dari Pesantren Tebuireng. Tradisi iffah di Pesantren Tebuireng memang luar biasa.
Tapi benarkah Gus Sholah awalnya menolak untuk diminta jadi pengasuh Pesantren Tebuireng? (M Mas’ud Adnan/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News