Perlu Etika Global dan Konstruksi Fikih Baru, Pidato Wapres RI pada Muktamar Fikih Peradaban

Perlu Etika Global dan Konstruksi Fikih Baru, Pidato Wapres RI pada Muktamar Fikih Peradaban Wakil Presiden RI Prof Dr KH Ma'ruf Amin. Foto: Biro Setwapres/Antara

SURABAYA, BANGSAONLINE.COM-Wakil Presiden RI Prof Dr KH Ma’ruf Amin menjadi keynote speaker pada Muktamar Internasional Fikih Peradaban dalam rangka yang digelar di Hotel Shangri-La Surabaya, Senin, 6 Februari 2023. Cicit Syaikh Nawawi Al-Bantani itu membacakan pidato berjudul “Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan Terhadap Realitas Peradaban di Era Modern”.

Di bawah ini BANGSAONLINE.com memuat secara lengkap pidato Wapres RI alumnus Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang dikenal alim itu. Selamat membaca:

Baca Juga: Tegaskan Tetap Banom NU, Pengurus Cabang Jatman Tuban Dukung Penuh Kongres XIII Pusat di Boyolali

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

الحمد لله الذي بحمده يفتتح كل رسالة ومقالة، والصلاة والسلام على سيدنا محمد المصطفى صاحب النبوة والرسالة، وعلى آله وأصحابه الهادين من الضلالة. أما بعد

1. Saya mengapresiasi terselenggaranya acara ini, yakni Muktamar Internasional Fikih Peradaban, yang merupakan rangkaian agenda Peringatan Satu Abad Nahdlatul Ulama. Oleh panitia saya diminta untuk menyampaikan keynote speech tentang Kontekstualisasi Pandangan Keagamaan dengan Realitas Peradaban yang Berubah. Topik ini sangat menarik, khususnya jika dikaitkan dengan karakter hukum Islam (fikih), yang fleksibel (murûnah) dan dinamis (tathawwuriyyah) mengikuti dinamika dan perkembangan zaman.

Baca Juga: PWNU se-Indonesia Rakor di Surabaya, Dukung PBNU Selalu Bersama Prabowo

2. Saya telah menuliskan pikiran saya terkait topik tersebut dalam sebuah makalah yang utuh. Namun dalam kesempatan yang waktunya terbatas ini saya akan menyampaikan pokok-pokok pikiran saja.

3. Sebagaimana diketahui, ajaran Islam ada yang tetap/tidak berubah (tsawâbit), dan ada pula yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayyirât). Ajaran Islam yang tsawabit tidak ada celah bagi kita untuk mengubahnya, sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali:

ووجوب الصلوات الخمس والزكوات وما اتفقت عليه الأمة من جليات الشرع فيه أدلة قطعية يأثم فيها المخالف، فليس ذلك محل الإجتهاد

Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT

Sedangkan ajaran Islam yang mutaghayyirat sangat leluasa bagi kita untuk melakukan perubahan, sesuai dengan perkembangan zaman. Para ulama telah merumuskan perangkat metodologi untuk melakukan perubahan tersebut.

4. Orang yang beranggapan ajaran Islam semuanya tsawabit dan alergi pada perubahan, atau beranggapan ajaran Islam semuanya memungkinkan untuk berubah, maka bisa dipastikan orang tersebut tidak memahami ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam yang masuk kategori tsawâbit ialah ajaran yang berlandaskan nash yang قطعي الثبوت والدلالة dan معلوم من الدين بالضرورة. Sedangkan yang terkategori mutaghayyirât ialah ajaran yang berlandaskan nash yang: (a) ظني الثبوت والدلالة , (b) قطعي الثبوت وظني الدلالة (c) ظني الثبوت وقطعي الدلالة , dan (d) tidak ada nash sama sekali.

5. Ajaran Islam yang ada di kategori mutaghayyirat merupakan hasil ijtihad yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang tsawabit, dan terbuka luas bagi yang memiliki cukup syarat untuk melakukan perumusan fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban. Sesuai dengan yang disampaikan Imamul Haramain:

Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya

إنَّ مُعْظَمَ الشَّرِيْعَةِ صَدَرَ عَنِ الاجْتِهادِ، والنُّصُوصُ لَا تَفِي بِالعُشُرِ مِن معْشارِ الشَّرِيعَةِ

6. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi keagamaan kemasyarakatan (jam’iyah diniyah ijtima’iyah) telah memiliki cukup syarat untuk merumuskan fikih baru tersebut. NU selama ini dikenal memiliki prinsip pemahaman keagamaan yang dinamis dan kontekstual. NU sejak tahun 1992 melalui Munas Alim Ulama di Lampung telah memiliki sistem dan prosedur pengambilan hukum yang lengkap, termasuk manhaj istinbathi. Dengan demikian NU dalam merespons berbagai masalah tidak hanya menggunakan fikih qauli tetapi juga fikih manhaji.

فإن نهضة العلماء كجمعية دينية واجتماعية لديها شروطاً كافية في صناعة الفقه الجديد الملائم للحضارة الحديثة. وحتى الآن، يعرف نهضة العلماء أن لديها مبدأ الفكري الديني المروني، التطوري والمطابق بالسياق المعاصر. فمنذ سنة 1992، خلال الإجتماع الوطني لعلماء الجمعية المنعقد في مدينة لامفونغ، تمتلك نهضة العلماء "منهج الإستنباط" الكامل في إجابة القضايا المعاصرة الموجودة، من القولي والمنهجي، بمعنى أن عملية استنباط الأحكام في هذه الجمعية لا تعتمد على نقل النصوص الفقهية الموجودة في الكتب المعتبرة فحسب، بل شرع أيضا بالإجتهاد باستخدام المناهج المعتبرة عند علماء الأصول.

Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali

7. Selain itu, melalui Munas Alim Ulama tahun 2006 di Surabaya NU telah menetapkan karakteristik (khashâish) cara berpikir NU (fikrah nahdliyah), yaitu: Tawassuthiyah, Ishlâhiyah, Tathawwuriyah, Manhajiyah. Oleh karena itu, sudah pada maqamnya NU ikut aktif mengurai dan memberikan jawaban terhadap masalah-masalah global yang terjadi pada era peradaban modern dewasa ini.

إضافة الى ذلك، فإن نهضة العلماء من خلال الاجتماع الوطني لعلمائها المنعقد في مدينة سورابايا عام 2006 الماضي، قامتْ بتحديد خصائص منهج الفكر المسمى بـ "الفكرة النهضية" وهي: التوسّطية، والإصلاحية، والتطوّرية، والمنهجية. لذلك، من مقامها أن تشترك نهضة العلماء في تقديم الردود والحلول الفعّالة على عدّة المشاكل العالمية والإنسانية التي تحدث في عصر حضارتنا الحديثة.

Hadirin-Hadirat Yang Terhormat..

Baca Juga: Politikus PKB Kota Batu Beri Ucapan Selamat kepada KH Ma'ruf Amin dan Gus Muhaimin

8. Dalam membangun peradaban, penting untuk dilandaskan pada kesadaran bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi (khalifatullah fil ardh), yang diberi tugas (mandat) untuk mengelola dan membangun bumi serta peradabannya. Hal itu sesuai firman Allah: هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا. Kalimat “wasta’marakum” menurut para mufassir diartikan sebagai: “kallafakum bi ‘imâratihâ”, yang artinya kamu bertanggungjawab untuk memakmurkan bumi.

9. Selain itu, harus pula dilandaskan pada dimensi Ketuhanan (rabbâniyyah, teosentris) dan juga dimensi kemanusiaan (insâniyyah, antroposentris). Oleh karenanya penting untuk memperhatikan hal berikut: pertama, menempatkan diri sebagai “wakil Allah” yang menjalankan penugasan dari pemberi mandat, yaitu Allah SWT, kedua, antar manusia sebagai sesama “wakil Allah” harus saling menguatkan satu sama lain (tasanud), bukan saling bermusuhan (ta’anud), karena pada hakekatnya yang memberi mandat adalah sama, yaitu Allah SWT, dan ketiga, antar manusia harus saling menjaga jangan sampai terjadi kegaduhan, karena manusia ini berada di satu bumi yang sama (fii ardhin wahidin), sehingga jika terjadi kegaduhan di satu tempat akan berpengaruh pada manusia di tempat lainnya. Setiap potensi kegaduhan (atau kerusuhan) harus dicegah bersama dengan cara apapun.

10. Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam pernah menorehkan tinta emas dalam pembangunan peradaban. Namun hal itu kemudian mengalami era kemunduran. Saat ini, dunia sudah masuk pada babak baru peradaban, terutama karena globalisasi yang tidak terbendung. Oleh karena itu, para ulama dituntut mampu menjawab dinamika peradaban baru ini, yang di banyak sisi sangat berbeda dengan peradaban sebelumnya. Ketentuan dalam fikih yang merupakan respons terhadap peradaban sebelumnya, bisa jadi tidak cocok lagi untuk merespons peradaban saat ini, sehingga dibutuhkan yang lebih sesuai dengan peradaban saat ini.

Baca Juga: Tembakan Gus Yahya pada Cak Imin Mengenai Ruang Kosong

11. Dalam upaya pembangunan peradaban, peran ilmu pengetahuan (sains) sangat penting, dan bahkan ia berfungsi sebagai kunci peradaban (مفتاح العمارة). Tidak benar anggapan bahwa ilmu pengetahuan merupakan penyebab terjadinya kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini. Sumber kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini adalah nafsu serakah manusia yang menyalahgunakan ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah:

وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ

Oleh karena itu, penting untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang menguasai kunci peradaban tersebut. Yaitu SDM yang unggul, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca Juga: Respons Hotib Marzuki soal Polemik PKB-PBNU

Hadirin-Hadirat Yang Terhormat..

12. Di antara permasalahan yang menjadi perhatian peradaban modern adalah pola hubungan antar-kelompok masyarakat dalam sebuah negara, khususnya hubungan antar-kelompok agama. Terdapat dua pendapat dalam masalah ini, yakni prinsip hubungan berhadapan secara antagonis (al-harb, al-qital) dan prinsip hubungan secara damai (al-silm). Pada masa lalu, prinsip hubungan antagonis banyak digunakan, sesuai dengan kondisi saat itu. Sehingga banyak kita temukan di kitab fikih kategorisasi non-Muslim, yakni: dzimmî, mu’ahad, musta’man, dan harbî. Di Antara ulama yang berpedapat hubungan damai adalah Ibnus Shalah yang menyatakan:

إِنَّ الْأْصْلَ هُوَ إِبْقَاءُ الْكُفَّارِ وَتَقْرِيرُهُمْ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى مَا أَرَادَ إِفْنَاء الْخَلْقِ وَلَا خَلَقَهُمْ لِيُقْتَلُوا وَإِنَّمَا أُبِيحَ قَتْلُهُمْ لِعَارِضِ ضَرَرٍ وُجِدَ مِنْهُمْ لَا أَنَّ ذَلِكَ جَزَاءٌ عَلَى كُفْرِهِمْ

13. Pada saat ini, istilah-istilah tersebut sudah tidak dipergunakan di negara-negara Muslim. Saat ini, penduduk sebuah negara bangsa disebut muwâthîn (warga negara), apa pun agamanya. Hal ini karena semua warga negara sudah berjanji akan tunduk dan patuh kepada konstitusi dan hukum negara yang berlaku, sehingga memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sesama warga negara pun terikat dengan perjanjian untuk menjaga persatuan bangsa dan keamanan negara serta saling menghormati hak-hak asasi masing-masing. Perjanjian ini kini berbentuk ideologi dan konstitusi negara, yang dalam bahasa Arab disebut al-mîtsâq al-wathanî (konsensus nasional), sedangkan negara disebut dârul mîtsâq (negara kesepakatan). Oleh karenanya, mayoritas ulama saat ini berpendapat bahwa hubungan antara Muslim dan non-Muslim didasarkan pada prinsip hubungan damai, bukan hubungan berhadapan secara antagonis.

وفي هذه الأيام الأخيرة، هذه المصطلحات غير مستخدمة في عدّة الدول المسلمة. فالآن، تمّ إطلاق المصطلح المعاصر على كل سكّان الدولة باسم "المواطن"، بغضّ النظر عن دياناتهم. وذلك لأن جميع المواطنين قد تعاهدوا على الخضوع والامتثال للدستور وقوانين الدولة المقرّرة والمعمول بها في كلّ دولة، بحيث لدي كل مواطنين لهم حقوق وواجبات متساوية بينهم. وكذلك يلتزمون أيضا بالعهد والاتفاق على حفظ وحدة الوطن والأمن الوطني واحترام الحقوق الإنسانية بين بعضهم بعضا.

وفي وقتنا الآن، يشكل هذا الاتفاق بإيديولوجيا الدولة ودستورها، والذي يُسمّى بـ:"الميثاق الوطني"، ودولتها تُسمّى بـ"دار الميثاق". لذلك، يرى جمهور العلماء في يومنا هذا، بأن العلاقة المبنية بين المسلمين وغيرهم لابدّ أن تقوم على مبدأ العلاقة السلمية، وليس العلاقة العدائية

14. Terkait dengan hal itu, konsep jihad pun perlu ditinjau ulang (i’adatun nazhar). Mayoritas ulama pada masa lalu mendukung konsep jihad dengan arti ofensif (hujûmiyyah), karena kondisi kehidupan pada waktu itu banyak diliputi oleh konflik dan perang antar-kelompok masyarakat. Di samping belum ada badan /lembaga tingkat nasional maupun internasional yang mengatur dan mengawasi hubungan antar-kelompok dan antar-bangsa. Sebaliknya, mayoritas ulama pada masa kini lebih mendukung konsep jihad dalam arti defensif (difâ’iyyah), yang juga tidak terlepas dari kondisi dunia modern ini yang mengedapankan prinsip perdamaian dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan antar-bangsa (internasional).

وفي هذا الصدد، يجب علينا إعادة النظر في مفهوم الجهاد. إن جمهور العلماء في العصر الماضي كانوا يؤيّدون مفهوم الجهاد بالمعنى العدواني، وهو الهجومية. هذا لأن في ذلك العصر، كانت ظروف الحياة مليئة بالصراعات والحروب بين المجموعات الإجتماعية، وكذلك بين الأديان. إضافة الى ذلك، لا يوجد هناك أي مؤسسة أو هيئة على المستوى الوطني أو العالمي تنظّم وتشرف على شؤون العلاقات بين تلك المجموعات أو بين الدول.

وبالعكس، كانت جمهور علماء المسلمين في عصرنا اليوم، يؤيّدون مفهوم الجهاد بالمعني الدفاعي، وهو الدفاعية، هذا لأن ظروف العالم الحديث تقدّم مبادئ السلام والوئام في الحياة الإجتماعية والوطنية وكذلك في العلاقات بين الدول العالمية

15. Terkait dengan hubungan internasional, kita belum mendapatkan penjelasan yang kokoh di dalam kitab fikih yang memberikan landasan keagamaan terkait dengan hal itu. Saat ini dalam hubungan internasional terdapat sebuah lembaga bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menghimpun hampir semua negara di dunia. Mereka terikat dalam sebuah perjanjian internasional dalam menciptakan perdamaian antar-bangsa. Dalam perspektif Islam, lembaga PBB tersebut dapat dinyatakan sebagai lembaga yang memiliki legitimasi karena telah disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia. Menurut pandangan Islam, kesepakatan tersebut merupakan konsensus internasional (al mitsaq al ‘alami) yang keputusannya mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh negara yang menjadi anggota.

وفيما يتعلّق بالعلاقات الدولية، لم نجد قولا وافيا في كتب الفقه المعتبرة الذي يبحث هذا الموضوع. ففي يومنا هذا، هناك مؤسسة دولية معترفة ومعتمدة تشرف على شؤون العلاقات الدولية، وهي الأمم المتحدة، والتي تضمّ جميع دول العالم. وكان جميع الدول العالمية ملزمة بالإتفاقيات الدولية في خلق السلام بين الأمم. وفي المنظور الإسلامي، نستطيع أن نقول بأن الأمم المتحدة هي مؤسسة لها سيادة شرعية لأنها متفقة من قبل جميع الدول العالمية. وحسب المنظور الإسلامي أيضا، يُعتبر ذلك الاتفاق الدولي كـ"الميثاق العالمي" والتي تكون قراراته ملزمةً ويجب اتباعها من قبل الدول الأعضاء للأمم المتحدة.

16. Hanya saja, dalam kenyataannya perjanjian internasional yang telah ditetapkan oleh PBB tidak sedikit yang dilanggar, sehingga seringkali terjadi konflik antar negara, seperti pendudukan Israel di Palestina, serangan multinasional terhadap Irak dan perang Rusia-Ukraina, yang kemudian berdampak secara global. Oleh karena itu, PBB harus diperkuat dengan memberikan kesetaraan hak antar anggota dan menambah representasi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan yang mempunyai hak veto dari negara berkembang. Selain itu, perlu diperbanyak forum-forum internasional yang memberi pengaruh kuat terhadap PBB.

Hadirin-Hadirat Yang Terhormat..

17. Di akhir sambutan ini, saya ingin mengajak para ulama semua untuk terlibat lebih aktif dalam merespons setiap permasalahan baru dan terbarukan yang muncul, sehingga tercipta fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Fikih baru tersebut harus dibangun di atas akar metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu.

في نهاية هذا الخطاب، أودّ أن أدعو جميع العلماء ليكونوا أكثر فعاليّةً في الردّ والاستجابة وإعطاء الحلول لكلّ مشكلة من المشاكل الجديدة أو المستجدّة.، حتى ولد الفقه الجديد الملائم بتطوّر الظروف العصرية. ولا بدّ أن يكون هذا الفقه الجديد مبنيّاً على أساس المناهج الفقهية وأصولها التي قد تمّتْ صياغتُها من قبل العلماء السابقين

18. Saya juga mengajak para ulama di dunia agar ikut ambil bagian dalam perumusan tatanan global demi terwujudnya dunia yang lebih adil dan damai, dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan global yang dihadapi, terutama kemiskinan, konflik, perang, dan kerusakan lingkungan. Dalam konteks ini, saya juga mengajak para ulama untuk terus mendorong terwujudnya substansi (global ethics), yakni saling memahami (mutual understanding), saling menghormati (mutual respect), saling ketergantungan (interdependence), dan kerja sama (cooperation) di antara bangsa-bangsa di dunia.

كذلك أدعو جميع العلماء من جميع أنحاء العالَم الى المشاركة الفعاّلة في صياغة النظام العالمي الجديد لأجل تحقيق الحياة العالَمية الأكثر عدلاً وسلاماً، ويستطيع أيضا أن يحلّ المشاكل العالمية والحضارية التي يواجهها، خصوصا الفقر والصراع والحرب وفساد البيئة. وفي هذا السياق، أدعوهم أيضا الى الاستمرار في كفاحهم من أجل تعزيز القيم الأخلاقية العالمية، وهي التفاهم المتبادل، والاحترام المتبادل، التكافل، والتعاون بين الدول العالمية

19. Sekali lagi terimakasih atas kesempatan ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan inayah-Nya dan meridai setiap ikhtiar yang kita lakukan.

20. Akhirnya dengan mengucap Bismillahirahmanirahim Muktamar Internasional Fikih Peradaban secara resmi saya nyatakan dibuka.

إن أريد إلا الإصلاح وما توفيقي إلا بالله

والله الموفق إلى أقوم الطريق

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO