SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Tokoh pers Dahlan Iskan melakukan Safari Ramadan. Mantan Menteri BUMN itu bercerita tentang masa kecilnya. Terutama tentang keluarga dan lingkungannya sewaktu kecil, termasuk saat sekolah SD yang selalu korengan.
Ayahnya seorang kiai taat ibadah. Penganut Tarikat Satariyah. Yang sangat fanatik – atau lebih tepatnya sangat tawaddlu’ pada gurunya. Yaitu KH Hasan Ulama, kakek buyut Dahlan Iskan dari jalur ibu.
Baca Juga: Dituding Murtad, Dahlan Iskan Jawab dengan Shalat
Abah – demikian panggilan akrab Dahlan Iskan – juga bercerita tentang peristiwa sejumlah kiai yang dibunuh PKI di Madiun. Tokoh media yang sukses mencetak sejarah – terutama karena pernah menyulap Jawa Pos dari koran kecil menjadi koran nasional beroplah ratusan ribu- itu menuturkan bahwa keluarga atau leluhurnya banyak dibunuh PKI. Termasuk pimpinan Tarekat Satariyah Imam Mursyid Muttaqin.
Menurut Abah Dahlan, Kiai Muttaqin mati muda karena dibunuh PKI dalam pemberontakan PKI Madiun 1948.
Bahkan PKI membunuh 7 kiai. Menurut Abah Dahlan, mereka dikubur hidup-hidup dalam sumur.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Cerita masa kecil Dahlan Iskan memang menarik sekaligus menegangkan. Penasaran? Silakan baca tulisan wartawan kawakan itu di BANGSAONLINE edisi 5 April 2023 di bawah ini. Selamat membaca:
PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE
Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu
SAFARI Ramadan kali ini saya mulai ke makam ibu: Siti Khalisnah. Di desa Bukur, tetangga desa kelahiran saya, Tegalarum. Ibu mendapat fasilitas dikuburkan di makam keluarga Haji Sapuan, entah bagaimana ceritanya.
Saya sendiri sekolah SD di desa Bukur. Hanya jalan kaki menyeberang sungai Kanalan. SD Tegalarum sendiri lebih jauh: di bagian barat desa. Rumah kami di bagian paling timur desa.
Anak Magetan sekolah di Madiun. Sungai Kanalan itulah yang memisahkan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun. Jadinya saya lebih sering ke kecamatan Jiwan daripada ke kecamatan sendiri di Bendo. Waktu SD itu saya sering ke Jiwan. Ke poliklinik. Selama di SD kaki saya lebih sering korengan dari pada mulus. Kadang koreng diselingi bisul. Kadang diselingi luka yang bernanah.
Baca Juga: Safari Ramadan di Kediri, Pj Gubernur Jatim bersama Baznas dan LAZ Serahkan Santunan Anak Yatim
Luka itu bisa karena kena cangkul. Kena penyabit rumput. Atau ketika berjalan dengan kaki telanjang, jari kaki tersandung batu. Pernah juga luka karena menginjak kaca di jalan. Atau menginjak paku yang sudah betagar.
Pokoknya selalu ada nanah di salah satu bagian kaki. Obat semua itu hanya satu jenis: salep. Di poliklinik Jiwan. Saya lihat salepnya ditaruh di ember kecil. Siapa saja yang perlu salep diolesi langsung oleh petugas. Perlu diperiksa. Tidak perlu dicuci dulu. Alat pengolesan semacam sendok kayu bergagang panjang. Dari ember langsung ke kaki.
Maka salep tersebut menutup koreng yang sudah bercampur debu. Yakni debu jalan. Jalan dari SD Bukur ke klinik itu memang berdebu. Sejauh 3 km. Belum ada aspal.
Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik
Pulangnya salep itu tertutup lagi dengan debu baru. Kadang di antara kami, tiga atau empat anak, saling sepak debu. Siapa yang bisa menyepak debu paling tinggi ia yang hebat. Apalagi kalau bisa mengenai muka temannya.
Kaki kami memang penuh koreng bernanah tapi bahagia: hari itu bisa membolos satu hari. Minta izin guru untuk ke klinik pada dasarnya memang bukan untuk sembuh.
Makam ibu saya sederhana tapi bersih. Mungkin adik saya yang membersihkannya. Ibu berbaring di situ sejak tahun 1963, ketika saya berumur 12 tahun. Dulu, ketika kecil, ke makam ibu adalah acara tahunan: salat Idulfitri, selamatan ambeng (tiap rumah bikin ambeng, dibawa ke masjid untuk dimakan bersama), sungkeman di rumah nenek, lalu ke makam. Setelah itu baru unjung-unjung ke rumah famili. Tidak ada yang memberi angpao seperti zaman sekarang.
Baca Juga: Safari Ramadan, Sekda Kota Kediri Ajak Masyarakat Tingkatkan Keimanan dan Rasa Kemanusiaan
Ayah dimakamkan di Takeran. Tidak ada wasiat harus dimakamkan dekat ibu. Saat ibu meninggal ayah baru berumur 56 tahun. Ayah tetap menduda sampai meninggalnya di usia 85 tahun.
Satu-satunya pesan ayah adalah: jangan pernah ziarah ke makamnya sebelum ke makam KH Hasan Ulama. Itu kakek buyut saya dari ibu. Yang oleh ayah dianggap sebagai guru tarekatnya: tarekat Satariyah. Ayah merasa tidak menghormati guru; kalau ada orang ke makamnya tanpa lebih dulu ke makam guru.
Bahkan, ayah berpesan, kalau perlu tidak usah ke makam ayah. Cukup didoakan dari makam Hasan Ulama.
Baca Juga: Hati Rakyat Sulit Dibeli, Partai Penguasa Gagal Menang
Ada bangunan kuno di atas makam Hasan Ulama. Makamnya sendiri dikerudungi kelambu. Biasanya kami tahlil di teras makam.
Ketika Hasan Ulama meninggal keguruan; Satariyah diwariskan ke cucunya: Imam Mursyid Muttaqin. ia mati muda: dibunuh PKI dalam pemberontakan PKI Madiun 1948. Tujuh kiai kami dibunuh bersama. Dimasukkan sumur hidup-hidup. Lalu ditimbun. Termasuk dua ustad kami yang didatangkan dari Mesir.
Di Safari Ramadan ini saya tidak ke makam ayah. Saya baru saja ke Takeran seminggu sebelum Safari Ramadan. Sekalian melihat proyek kecil-kecilan di situ. Setamat SD di Bukur saya sekolah di tsanawiyah dan aliyah Takeran.
Baca Juga: Anak Muda Israel Full Stress
Karena itu Takeran juga saya anggap kampung saya. Apalagi ayah juga besar di situ. Ayah jadi abdi dalem di rumah Hasan Ulama. Abdi kesayangan. Karena itu dikawinkan dengan ibu saya.
Dari makam ibu saya ke desa kelahiran. Ada dua janda tua bersebelahan rumah di Tegalarum: Yu Yah dan Yu Yat. Merekalah yang dulu kasihan pada saya. Ketika pulang sekolah tidak ada makanan, mereka panggil saya makan di rumah mereka. Kadang di rumah Yu Yah. Kadang di rumah Yu Yat.
Sebenarnya ada beberapa rumah lagi di depan rumah orang tua saya. Itu rumah paman dan pak de. Tapi juga past tidak ada makanan di rumah mereka.
Sepuluh tahun kemudian, saya ajak istri saya, galuh Samarinda, berbulan madu di desa ini. Saya ceritakan jasa dua wanita itu –yang waktu itu belum janda. Maka waktu Safari Ramadan kali ini istri saya lebih banyak bercengkerama dengan mereka. Istri saya ingat: di bulan madu itu makanan termewah kami adalah soto Pasar Kawak Madiun. Di Safari Ramadan kali ini pun istri ingin mampir ke Pasar Kawak. Saya biarkan dia masuk pasar itu. Saya jalan-jalan ke jalan melengkung di depan pasar.
Kawasan ini sekarang semarak sekali. Jadi kawasan baru: tempat wisata. Di atas rel kereta lama jurusan Madiun-Ponorogo itu kini ada gerbong kereta beneran. Bagian dari wisata kuliner yang baru.
Madiun berubah mengesankan. Di tengah kota kini ada bangunan mirip Kakbah. Dengan lingkungan yang tertata rapi. Di seberang jalannya ada patung besar Lion Singapura. Maka berada di situ terasa seperti di tengah dunia dan akhirat.
Rute Safari Ramadan kali ini ke arah barat: ke Gunung Kidul dan ke Yogyakarta. Di Yogyakarta saya harus berbuka puasa bersama bos Yogya Mall dan Rich Hotel: Soekeno.
Inilah hotel berbesar di Yogya: punya 500 kamar. Belum termasuk kamar di hotelnya yang lain. Grup ini sekarang punya delapan hotel. Padahal Soekeno berangkat dari miskin. Usaha pertama yang dirintisnya adalah kios foto copy.
Sebenarnya saya sudah beberapa kali bermalam di hotel Rich tapi baru kali ini bersama pemiliknya. Teman lama saya, Aqua Dwipayana, yang mengatur buka bersama itu. Habis berbuka saya ke Masjid Jogokariyan. Lalu ke masjid di pondok Krapyak.
Hari pertama Safari Ramadan pun berakhir di Yogyakarta. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News