BANGSAONLINE.com - Putusan isbat pemerintah RI Selasa 16 Juni 2015 menyatakan bahwa awal Ramadan jatuh pada hari Kamis 18 Juni 2015 karena semua titik pantau rukyatul hilal di seluruh Indonesia gagal merukyat hilal.
Karena itu, bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari (istikmal). Putusan isbat yang dilakukan secara tertutup ini diterima oleh semua pihak, terutama dua ormas Islam terbesar Indonesia: Muhammadiyah dan NU.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Dibelokkan, Menag: Pesantren Harus Jadi Tuan Rumah di Republik Ini
Putusan isbat di atas tidak menjamin putusan isbat awal Syawal 1436 H untuk menentukan idul fitri akan diterima oleh semua pihak, terutama dua ormas Islam terbesar tersebut. Ini, karena tidak semua individu atau ormas merasa terikat dengan putusan isbat pemerintah.
Selama masing-masing ormas atau individu muslim Indonesia tidak secara penuh mengakui dan terikat dengan putusan isbat, maka perbedaan awal Ramadan, awal Syawal dan awal Zulhijah ke depan berpotensi untuk terus terjadi.
Penentuan awal Ramadan, sebagai tanda mulai puasa, awal Syawal sebagai akhir puasa, sekaligus Idul Fitri dan awal Zulhijah sebagai pijakan penentuan 9 dan 10 Zulhijah, sebagai hari Arafah dan Idul Adha bagi kaum Muslim, ini masuk ajaran yang bersifat privat, atau masuk ranah publik?
Baca Juga: Pj Wali Kota Kediri Bacakan Amanat Menag saat Jadi Inspektur Upacara Hari Santri Nasional 2024
Jika dianggap privat, maka negara tak perlu intervensi. Biarkan kaum Muslim secara individu atau organisasi menentukan sendiri. Bagi rakyat Muslim, jika penentuan tersebut masuk kategori ranah publik, maka seharusnya seluruh rakyat Muslim, baik secara individu maupun organisasi ”melepas otoritas” individu maupun organisasinya untuk diserahkan pada otoritas negara.
Untuk kepentingan ajaran agama yang bersifat publik ini, rakyat Indonesia –melalui founding fathers negeri ini– mendirikan Departemen Agama RI (kini Kementerian Agama RI) 3 Januari 1946, lima bulan setelah Indonesia merdeka.
Mengingat Kemenag didirikan bukan hanya untuk kepentingan rakyat Muslim,- walaupun realitas ajaran yang bersifat publik, Islam memegang rekor tertinggi-, maka semua agama mendapatkan ”hak otoritas” melalui Dirjen-Dirjen yang dibentuk di bawah Kemenag RI itu.
Baca Juga: Menkominfo dan Menag Dianggap Adu Domba Umat Beragama, Umat Kristiani Tak Persoalkan Adzan
Cara pandang seperti ini, harus dikemukakan agar kita tidak berputar-putar pada ”debat wacana teknis metodologis” dari masing-masing elite individu, dan antarormas Islam dalam menentukan awal bulan qamariah yang terkait dengan ibadah.
Tampak jelas negara ragu dan galau untuk mengambil keputusan tegas dan mengikat. Sikap demikian, memamg sulit dihindari, mengingat umur organisasi Islam seperti Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) jauh lebih tua dibanding proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945).
Dari debat konstitusional, rakyat Muslim baik secara individu maupun organisasi mencapai konsensus bahwa Indonesia dengan dasar Pancasila, UUD 1945, serta produk UU dan aturan yang dihasilkan mempunyai otoritas penuh untuk mengatur problem sosial, politik, ekonomi, budaya dan ajaran agama yang disepakati masuk ranah publik.
Baca Juga: Ulama NU Aceh Tolak SE Menag soal Toa, PKS Anggap Yaqut Salah Paham Toleransi
Penentuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah seharusnya menjadi otoritas negara. Pemberian otoritas ini harus diapresiasi oleh setiap muslim sebagai pengejawantahan ketaatan pada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amri (Qs. al-Nisa’ [4] : 58).
Dalam penentuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, rakyat muslim baik secara individu maupun organisasi diberi kebebasan untuk mengkaji sesuai cara dan metode yang dipilih dan ”diyakini paling benar”. Hasil kajian itu diserahkan pada ”negara” atau lembaga yang ditunjuk untuk dijadikan pertimbangan penetapan dan keputusan isbat.
Sesuai aturan main, setiap individu atau organisasi Islam tidak mengumumkan hasil kajiannya –apalagi menginstruksikan- kepada publik; walaupun terbatas pada anggota organisasinya.
Baca Juga: Viral Tulisan Depok di Gua Hira saat Ibadah Haji, Ini Kata Menteri Agama
Singkat kata, kita boleh berbeda dalam tingkat kajian. Tetapi masing-masing harus terikat, dan negara harus mengikat semua rakyat pada keputusan yang ditetapkan. Inilah yang disebut isbat itu.
Dengan demikian, Menteri Agama sebagai representasi negara ”dilarang” mementahkan keputusan isbatnya sendiri, misalnya dengan menyatakan: ”Kami menghormati kaum Muslim yang beridul fitri berbeda dengan keputusan isbat ini”, seperti yang biasa diucapkan oleh Menag usai memimpin sidang isbat.
Menteri Agama harus tegas dan tidak mengomentari keputusannya sendiri. Ini harus dilakukan, karena masing-masing aliran dalam organisasi Islam sama-sama mengakui kaidah: ”Hukmu al-hakim yarfa’ al-khilaf, keputusan hakim/penguasa menghilangkan perbedaan pendapat”. Semua individu harus terikat pada putusan isbat tersebut.
Baca Juga: PMB di PTKIN Tahun 2023 Dibuka, Menag Yaqut Ancam Pimpinan PTKIN yang Lakukan KKN
Jika ini yang kita lakukan, berarti kaum Muslim Indonesia mampu menghormati otoritas negara yang kita pilih sesuai mekanisme demokrasi yang sehat. Jika kita biarkan seperti yang biasa terjadi dalam sejarah perjalanan ”perisbatan”, maka bangsa ini layak dikatakan sebagai bangsa yang anarkis, tak mau diatur dan membangkang, dengan cara melucuti otoritas negara. Keadaan demikian, sama dengan tidak adanya loyalitas pada negara. Ini berarti; -secara substansial-, negara berada di ambang kehancuran, itu tentu tidak kita inginkan.
Harus diingat bahwa lingkup isbat Pengadilan Agama juga mencakup isbat nikah, nasab dan lain-lain. Jika isbat terakhir ini tidak mengikat, maka negeri ini tidak punya kepastian hukum.
Otoritas Hakim
Baca Juga: DPR Kaget, Menag Minta Tambahan Biaya Haji Rp 1,5 Triliun, Rp 23,3 Juta Per Jamaah
Selama ini pemegang otoritas negara yang diekspresikan dalam putusan isbat, dipegang oleh Menteri Agama. Ini bisa dibenarkan, karena Menag menjadi atasan Pengadilan Agama (1946-2006).
Para hakim agama yang menyumpah perukyat yang berhasil melihat hilal di lokasi rukyat langsung bersidang dengan menyumpah mereka sesuai hukum acara pengadilan.
Hasilnya, dikirim ke sidang isbat yang dipimpin oleh Menag di Jakarta. Laporan dan penyumpahan hakim tersebut menjadi pertimbangan Menag untuk diterima atau ditolak.
Baca Juga: Putusan Isbat Seharusnya Mengikat
Setelah Pengadilan Agama (PA) diintegrasikan ke Mahkamah Agung (MA) sesuai Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, maka otoritas negara dalam hal isbat seharusnya berada di tangan Ketua MA.
Sebab, Menag dalam sistem ketatanegaraan kita, setelah berlaku efektifnya dua undang-undang tersebut masuk dalam lembaga eksekutif, yang tak punya wewenang putusan isbat. Isbat menjadi otoritas hakim, sebagai lembaga yudikatif.
Karena itu, ke depan harus segera diambil langkah-langkah pengalihan wewenang dan otoritas isbat dari Menag ke Ketua MA. Jika dua UU tersebut masih memberi otoritas isbat pada Menag, maka UU ini harus segera direvisi, sebab Menag –dalam sistem ketatanegaraan modern– tidak bisa berperan ganda; sebagai lembaga eksekutif dan yudikatif sekaligus.
Dengan demikian, keputusan isbat yang dipimpin Ketua MA secara struktural tersambung dengan hakim-hakim agama yang melakukan penyumpahan di lapangan.
Sebagai lembaga yudikatif MA -secara teoritik- akan steril dari kepentingan politik dan aliran keagamaan. Dalam arti keputusannyapun diharapkan murni sebagai putusan hukum.
Pengalihan otoritas ini juga akan bebas dan tidak terikat pada kesepakatan MABIMS tentang ketinggian hilal 2°+ di atas ufuk yang masuk kategori hilal yang dapat dirukyat, tahun 200l.
Dengan demikian, putusan isbat lebih berkualitas dan memenuhi pengertian isbat secara sempurna seperti yang dimaksud dalam kaidah fikih ”Keputusan hakim menghapus perbedaan pendapat.”
Jika substansi gagasan ini dapat disepakati dan semua pihak rela memberikan otoritas ikhbar dan isbat-nya pada keputusan MA, maka penentuan awal Ramadan, Idul Fitri dan penentuan Idul Adha akan dapat diakhiri. Sebab putusan isbat yang dilakukan MA mengikat semua pihak; dan yang tidak taat pada keputusan tersebut dapat dikategorikan sebagai pembangkang.
Demikian itulah yang terjadi di negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan negara-negara di Timur Tengah yang sama-sama menganut pola ideologi nation state, seperti Indonesia.
Gagasan ini perlu mendapatkan tanggapan dialogis terutama oleh pemegang otoritas isbat dan ormas yang selalu merasa tidak terikat dengan putusan isbat, seperti Muhammadiyah, Komunitas Annadzir, Tarekat Naqsyabandiyah dan lain-lain. Wallah A’lam.
(Imam Ghazali Said, Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo dan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News