Oleh: Dr KH Ahmad Musta’in Syafi’i, M.Ag
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga ulama hafidz (hafal Al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Nah, kali ini tafsir Surat Thaha: 123. Selamat mengikuti.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
REDAKSI BANGSAONLINE
THAHA :123
TAFSIR
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Pada ayat sebelumnya dikatakan bahwa Adam itu durhaka (‘asha) dan melanggar (ghawa). Lalu pada ayat ini dijelaskan perihal hukuman yang diterapkan kepadanya, yakni dideportasi dari surga, turun ke bumi.
Dari kajian linguistik, ada keindahan pada terma yang digunakan Tuhan, sekaligus rahasia makna yang cukup dalam. Pernyataan Tuhan saat memvonis Adam menggunakan kalimah “fi’il”, yakni “asha” dan “ghawa”, tidak menggunakan bentuk isim, isim “fa’il”, yakni : “Ashi”dan “Ghawi”. Bedanya apa..?
Kalau pakai fi’il, maka menunjukkan perbuatan, di mana perbuatan tersebut bisa dilakukan cuma sekali atau lebih. Juga bisa dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Sedangkan bentuk isim menunjukkan makna profesi atau sudah kebiasaannya. Sudah merupakan sifat yang melekat pada diri sang pelaku.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Jadi, bila Adam A.S. dikatakan sebagai “asha”dan“ghawa”, maka maknanya adalah bahwa nabi Adam A.S. memang melakukan pelanggaran, mengonsumsi buah khuldi. Tapi itu hanya sekali dan tidak sengaja atau benar-benar lupa. Konsekuensinya, “dosa” yang dia sandang sangatlah ringan atau bahkan tidak berdosa. Makanya, Tuhan tidak mengatakan Adam sebagai “Ashi” dan “ghawi”.
Jika pakai kalimah isim fa’il: “Ashi” dan “ghawi”, maka maknanya adalah: memang Adam pelanggar, orang yang perilakunya melanggar, biasa melanggar dan seterusnya. Seperti, kalimat: “Si Fulan mencuri”, tentu tidak sama dengan kalimat: “Si Fulan pencuri”. Koruptor tentu lebih dekil maknanya dibanding korupsi. Begitu linguistik versi bahasa Arab.
Lalu, pada ayat kaji ini Tuhan menegaskan sanksi yang diterapkan kepada Adam akibat dari pelanggarannya tersebut. “Keluarlah kalian dari surga ini” (ihbitha minha jami’a). Keduanya diusir, baik Adam maupun Hawwa’, istrinya, dengan dalalah mutsanna, “ihbitha” pada ayat tersebut.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Artinya, Tuhan hanya melihat kenyataan perbuatannya saja. Yang jelas Adam melanggar dan Hawwa’ juga melanggar, tidak peduli siapa yang memprovokasi dan siapa yang diprovokasi.
Ya, karena dalam kisah israiliyat, katanya Hawwa’ yang pingin banget mengonsumsi buah khuldi itu, namun Adam tidak mau, justru malah mengingatkannnya. Tapi sifat wanita, seperti sedang nyidam (keinginan memuncak yang tak terbendung saat hamil), Hawwa’ terus merayu dan merengek. Akhirnya Adam memelas menuruti.
Perkara nanti dibedakan jenis hukumannya, maka itu soal kebijakan manusia berdasar maslahah. Ini wilayah hakim dan agama membolehkan. Keputusan hakim yang memberatkan otak sebuah kejahatan, dalang, inisiator, provokator harus berdasarkan pertimbangan maslahah yang nyata. Tapi, sekali lagi, hukuman mesti menimpa pelaku di lapangan. (bersambung)
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News