Oleh: Lia Istifhama
Seperti diketahui, bulan suci Ramadan 1445 H kali ini harus terusik dengan rencana hadirnya film bergenre horor full kontroversi. Adalah film berjudul ‘Kiblat’ yang diproduksi oleh Leo Pictures dengan bekerja sama dengan Legacy Pictures dan 786 Production, dimana youtuber tenar Ria Ricis menjadi salah satu pemain di dalamnya, harus viral menerima kritikan berbagai pihak.
Baca Juga: Lazisnu Surabaya Jadi Perantara Kebaikan
Salah satunya dari Tokoh Ulama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis, secara tegas memprotes keras film tersebut. Secara blak-blakan ia menyebut alasan utama mengapa film tersebut ‘wajib’ dilarang tayang di bioskop Indonesia.
Menurutnya, film tersebut dianggap melakukan kampanye hitam terhadap salah satu ajaran agama.
Ketegasan KH Cholil bukan tanpa alasan. Betapa tidak? Film Kiblat memang menayangkan adegan seorang perempuan mengenakan mukenah dan mempraktekkan gerakan ibadah shalat. Tepat pada posisi rukuk, tiba-tiba kepalanya berputar dan mengarah berlawanan dengan kiblat.
Baca Juga: Bersama LPPD Jatim, Lia Isthifama Diskusi Pergub Pesantren Inisiasi Era Khofifah
Adegan tersebut ternyata dijadikan sebagai salah satu identitas betapa film tersebut mengerikan dan layak disebut horror dengan sajian imajinasi sadis nan kontroversi.
Sangatlah disayangkan, ketika di bulan suci Ramadan umat muslim berlomba-lomba mengisi setiap waktu mereka dengan ibadah dan semakin khusyu’ dalam setiap ibadah sholat, namun ternyata diberikan suguhan imajinasi nan kontroversi dalam sebuah gerakan sholat.
Terlepas dari kemurnian dan kesucian penuh makna yang ada dalam setiap gerakan sholat, kata ‘kiblat’ sendiri, bukanlah sembarang redaksi kata yang layak disematkan dalam sebuah rangkaian narasi imajinasi yang sangatlah tidak mendidik. Kata ‘kiblat’ sangat tidak layak dijadikan alat ‘eksploitasi’ oknum tertentu untuk mendapatkan pundi-pundi cuan melalui cara-cara yang jauh dari sisi manusiawi dan toleransi beragama.
Baca Juga: Kunker ke SMKN 3 Bangkalan, Anggota DPD Lia Istifhama Disambati Inpassing dan Sertifikasi Guru
Tahukah anda? Bahwa kiblat dalam Islam, memiliki sejarah yang sangat bermakna dan penuh hikmah.
Dalam buku ‘Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad’ Karya H. Munawar Chalil 1960 halaman 201, dijelaskan tentang sejarah perpindahan kiblat.
Bahwa saat itu, Nabi Muhammad SAW sejak hijrah ke Madinah, apabila mengerjakan shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis (Palestina) sampai kurang lebih 16 bulan lamanya, sebelum akhirnya mendapat perintah supaya menghadap ke arah Baitul Haram (Ka'bah, Makkah).
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Pada saat itu, kondisi kota Mekah sedang berada dalam zaman kegelapan, yang mana para penduduknya menganut kepercayaan paganisme (menyembah berhala). Bahkan pada saat itu, Ka’bah dijadikan pusat peribadatan dengan diisi banyak berhala, di antaranya berhala paling besar yang diberi nama Hubal.
Sebaliknya, kota Yatsrib (Madinah), berpenghuni penduduk yang sudah mengenal agama (dien). Di antaranya ialah Kabilah Bani Najran yang beragama Nasrani dan Kabilah Bani Quraidzah yang beragama Yahudi.
Menurut riwayat, pada kondisi Mekah dan Madinah seperti itu, Nabi Muhammad SAW baru saja hijrah di Madinah, menunaikan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Meski sebelumnya, saat di Mekah, Rasulullah dan para sahabat menunaikan shalat menghadap kiblat ke arah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram Mekah.
Baca Juga: MUI Sampang Dukung Polisi Kawal Pilkada Damai dan Kondusif
Adapun alasan Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis saat di Madinah, adalah bertujuan menghargai kaum Nasrani dan Yahudi yang mana keduanya beribadah menghadap ke Baitul Maqdis (Palestina).
Namun ternyata kaum Yahudi memanfaatkan niat mulia Rasulullah SAW dengan melakukan beragam tipu daya. Mereka berusaha meyakinkan Rasulullah SAW agar terus beribadah menghadap Baitul Maqdis dan hanya terfokus kepada Baitul Maqdis sehingga dapat melupakan Baitul Haram.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah riwayat, bahwa terjadi sebuah peristiwa, yang mana Rasulullah SAW selalu dibujuk oleh segolongan kaum Yahudi agar hanya menyukai Baitul Maqdis sebagai satu-satunya tanah suci yang telah disediakan oleh Allah SWT untuk kediaman para Rasul-Nya. Mereka (Yahudi) berkata: “Maka jika engkau itu benar-benar Rasul Tuhan, wahai Muhammad, hendaklah engkau berdiam di tanah suci itu (Baitul Maqdis) menurut jejak para Rasul Tuhan yang terdahulu daripada engkau.”
Baca Juga: Selain Tinjau Gedung UPT RPH, Pj Wali Kota Kediri Serahkan Sertifikat Halal dan NKV RPH-R
Namun Rasulullah SAW tidak terperdaya oleh bujuk rayu Yahudi. Sebaliknya, beliau selalu merasakan kerinduan menunaikan shalat menghadap Ka’bah (Masjidil Haram). Beliau kemudian berharap petunjuk dari Allah SWT dengan menengadah ke arah langit mengharapkan turunnya wahyu terkait hal tersebut. Kejadian ini pun terekam dalam surat Al-Baqarah ayat 143 sampai 145.
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”
Ayat 143 tersebut sebagai bentuk ketegasan bahwa hanya Allah SWT-lah yang memberikan petunjuk dan memiliki segala arah. Oleh sebabnya, sangat sombong dan licik tipu daya Yahudi yang menunjukkan seolah-olah mereka paling mengetahui perihal ibadah.
Baca Juga: Gus Nasrul: Banyak Sarjana Muslim yang Belum Paham Salat
Kemudian pada ayat 144 diterangkan jawaban atas kerinduan Rasulullah SAW kepada Masjidil Haram:
“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Sedangkan pada ayat 145, diterangkan identitas Islam sebagai agama yang tidak meniru-niru agama lainnya, melainkan agama yang secara lugas menjelaskan perbedaan keyakinan (iman) antar umat manusia. Dan atas perbedaan itu, Islam sangat mengedepankan toleransi, yaitu tidak memaksakan umat agama lain untuk beribadah sesuai aturan Islam.
Baca Juga: Selesaikan Perlintasan KA Tanpa Palang Pintu, Ning Lia Apresiasi Dishub Jatim
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu (pengetahuan tentang Islam) kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang lalim.”
Dari ayat tersebut pula, dapat kita pahami bahwa Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada Rasulullah SAW tentang golongan mana yang akan setia kepada Rasulullah SAW setelah mendapatkan ilmu tentang agama, dan sebaliknya, golongan lalim yang menolak kebenaran ilmu.
Dalam Islam pula, Kiblat telah dijelaskan sebagai bentuk moderasi dan toleransi beragama.
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al- Baqarah:148)
Subhanallah, bukan? Betapa kiblat setiap umat beragama sepatutnya kita hargai. Dan betapa kiblat dalam Islam bukan hanya sarana ‘ubudiyah atau beribadah kepada sang Pencipta, melainkan juga self reminder bahwa arah hidup kita sepatutnya mengarah pada tindakan-tindakan kebaikan.
Dan kini, semoga keberkahan bulan suci Ramadan mampu membuka pintu hati dan hidayah oknum tertentu yang sebelumnya mengabaikan indahnya makna kata ‘kiblat’ dan mulianya setiap gerakan ibadah dalam sholat, untuk kemudian menyadari bahwa setiap penghambaan kita kepada Sang Pencipta, bukan sebatas kewajiban, melainkan kebutuhan sebagai manusia yang kelak akan menghadap pada Sang Pencipta.
Penulis merupakan Wakil Sekretaris MUI Jatim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News