JUJUR saja, predikat Gus naik ke peringkat nasional dan internasional bermula dari Gus Dur. Semula panggilan Gus hanya populer di kalangan pesantren (Jawa). Itu pun kadang dikonotasikan feodal. Namun begitu nama Gus Dur mencuat popular sejak awal tahun 80-an sontak predikat Gus itu menjadi gengsi sosial luar biasa. Bahkan Gus Dur sendiri lebih popoler dari nama aslinya, Abdurrahman Ad-Dakhil atau KH Abdurrahman Wahid. Dan yang penting lagi, predikat Gus yang semula dikesankan feodal, dengan sosok Gus Dur justeru cair, egaliter, demokratis dan terkesan anti-formalisme.
Gus adalah panggilan kehormatan bagi anak kiai atau kiai muda. Ada yang berpendapat Gus itu berasal dari Den Bagus. Namun, menurut Gus Dur, Gus itu berasal dari bahasa Jawa yang berarti Cak atau Mas. Karena itu Gus Dur tertawa ketika Walikota Surabaya Sunarto Sumoprawiro sok akrab memanggil Cak Gus Dur dalam suatu acara di Surabaya.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Gus juga identik dengan NU. Maklum, Gus adalah sub kultur pesantren, terutama pesantren Jawa. Di lingkungan pesantren, orang dengan mudah menyebut Gus kepada seorang yang dihormati. Dan yang dipanggil Gus juga merasa dihargai karena secara strata sosial panggilan Gus memang lebih tinggi dan mengandung makna penghormatan, paling tidak secara kultural.
Namun Gus kadang juga bermakna kontroversial. Nah, ini tampaknya karena popularitas panggilan Gus itu bermula dari Gus Dur yang dikenal luas sebagai tokoh kontroversial. Secara berseloroh bahkan saya katakan Gus Dur itu kontroversial karena masyarakat selalu memanggil Gus Dur. Hanya dalam acara-acara resmi dan tertentu saja masyarakat memanggil Gus Dur dengan sebutan KH Abdurrahman Wahid. Kebiasaan ini tentu mengimbas kepada Gus yang lain. KH Ir Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, misalnya. Orang merasa lebih nyaman memanggil Gus Solah.
Namun bisa jadi karena masyarakat umumnya suka yang praktis-praktis. Apalagi panggilan Gus Dur itu terasa lebih familiar, simple dan merakyat. Namun apapun alasannya, sejak Gus Dur menjadi tokoh nasional dan internasional, predikat Gus memang menjadi sangat popular. Bahkan hampir semua tokoh muda NU dipanggil Gus.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Nah, bermula dari kultur Gus ini púlalah tampaknya selera humor Gus Dur memenuhi sepak terjangnya, termasuk dalam masalah politik dan bangsa yang berat sekalipun.
Pesantren – tempat Gus Dur ditempa - memang gudang atau pabrik humor yang tak pernah kering. Kita akan selalu terpingkal-pingkal jika secara guyub jagongan dengan para kiai. Mohamad Sobary, pengamat sosial, yang kader Muhammadiyah, mengaku tak bisa mingkem (menutup mulut) jika hadir dalam acara-acara NU seperti Muktamar dan sebagainya. Sebaliknya, ia mengaku selalu mecucu (merengut) jika menghadiri Muktamar Muhammadiyah.
Secara kultural Gus Dur mengalami akulturasi. Namun jati diri kultural pesantren terus menjadi basis utama pemikiran dan tradisi keseharian Gus Dur, meski tokoh pemikiran Islam inklusif ini hidup di tengah-tengah kultur metropolis, bahkan kosmópolis.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Yang menarik, ketangkasan dan kejeniusan Gus Dur selalu muncul, terutama saat kondisi kritis. Lihat saja dalam humor berjudul Kiai dan Ikan. Gus Dur secara réflek dan tangkas mampu ”menguasai keadaan” saat ia dan dua teman santri tertangkap basah saat mencuri ikan milik kiainya. Kejeniusan humor Gus Dur juga tampak saat ia adu hebat dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton dan Presiden Perancis, Jacques Chirac.
Namun Gus Dur kemudian harus mengakui kecerdikan orang Madura dalam humor berjudul Gus Dur Kalah dengan Orang Madura. Gus Dur sendiri menyatakan bahwa orang Madura memang cerdik dan banyak akal. Keluguan orang Maduramemang sering menjadi anekdot cerdas yang membuat orang terpingkal-pingkal.
Dalam buku ini – meski dalam cermin humor – watak kultural Gus Dur terpancar. Banyak sekali nilai dan pelajaran yang bisa dipetik, termasuk keberanian untuk mengeritik dan mengejek diri sendiri. Anda mungkin terpingkal-pingkal atau bahkan cemberut ketika membaca buku ini. Namun – sekali lagi – sangat banyak nilai dan pelajaran yang bisa diraih dari kejenakaan dan kecerdasan humor Gus Dur dalam buku ini. Termasuk soal nasionalisme, pluralisme,multikulturalisme, demokrasi, universalisme dan tentu saja keagamaan dan apresiasi terhadap kultural NU yang menjadi basis utama Gus Dur.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Memang, sulit menemukan seorang tokoh yang berpikir serius, kritis dan genius, namun tidak kehilangan sense of humor yang tinggi seperti Gus Dur. Saya merasa beruntung bisa turut merekam dan melestarikan gagasan-gagasan Gus Dur, meski dalam bentuk humor. Apalagi kemudian bisa diterbitkan dalam bentuk buku seperti yang sedang Anda baca sekarang ini.
Semoga pemikiran-pemikiran Gus Dur – termasuk humor-humor cerdas dalam buku ini – terus diserap masyarakat dan menjadi pendidikan serta pendewasaan bangsa kita ke depan. Kita harus mengakui, inilah salah satu amal baik tokoh Islam yang diakui dan dikagumi dunia internasional ini. Amin. Wallahua’lam bisshawab.
Surabaya, 30 Januari 2010
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News