Sinergi Tasawuf-Filsafat, Mencipta Insan Kamil

Sinergi Tasawuf-Filsafat, Mencipta Insan Kamil

Apa yang dimaksud memelihara akal (Hifdz al-‘Aql). Menurut Suhairi Mizrawi (2004), intelektual muda NU yang lulusan Universitas Kairo Mesir, hif al-‘aql adalah menggunakan akal budi dalam menyelesaikan problem kemanusiaan. Akal merupakan anugerah Tuhan yang sangat berharga, bahkan akal yang membedakan manusia dengan hewan. Para filsuf mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal.

Dalam Islam, akal mempunyai kedudukan yang sangat istimewa, bahkan para ulama meletakkan akal sebagai salah satu syarat penting dalam penerapan hukum, merujuk pada hadis Nabi yang berbunyi: bahwa catatan dosa tidak berlaku bagi orang yang tidak berakal, diantaranya kepada bayi hingga ia akil baligh, orang yang pingsan hingga ia sadar, dan orang yang sedang tidur hingga ia terbangun. Jadi, akal menjadi prasyarat utama dalam ketentuan hukum Islam.

Karena saking pentingnya akal dalam Islam, Ibnu Rusyd, filsuf muslim asal Andalusia menulis buku yang sangat monumental, Fash al-Maqal fi Taqrir ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Kitab ini merupakan kitab yang sangat penting bagi upaya untuk memelihara kebebasan berpikir. Ia mengutarakan, bahwa “menggunakan akal” atau “berpikir” merupakan kewajiban setiap muslim, karena mempunyai landasan doktrinal yang sangat kuat, diantaranya firman Tuhan: Wahai orang-orang yang mempunyai akal, hendaklah kalian mengambil hikmah (QS. al-Hasyr [59]:2) Tidakkah kalian melihat keagungan langit dan bumi dan seluruh ciptaan Allah (QS al-A’raf [7]:185) Dan kami juga memperlihatkan kepada Ibrahim tentang keagungan langit dan bumi (QS al-An’am [6]:75).13)

Dengan demikian, akal merupakan fitrah setiap manusia untuk membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah. Karenanya pula, menurut Ibnu Rushd, tidak ada kontradiksi antara akal dan syariat.

Di sini letak pentingnya berakal dan berpikir dalam Islam sebagai obor yang menerangi jalan dan menyempurnakan syariat.

Dalam kaitannya dalam memaksimalkan penggunaan akal dan berpikir, sejatinya menggunakan “nalar kemaslahatan” sebagai panglima. Artinya, upaya berfikir bukan hanya sekadar tujuan pragmatisme dan kepentingan sesaat, melainkan dapat mempertimbangkan unsur kemaslahatan dan kemanfaatan, sehingga akal dapat dijadikan sebagai pembawa misi kebenaran yang hakiki dan pembebasan menuju keadilan.

Tingginya posisi akal juga bisa dilihat dalam pemikiran Al-Ghazali. Menurut Bahrudin, MPd, al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat bagi akal. Bahkan Al-Ghazali menjadikan akal sebagai objek kajian khusus, sinergis terhadap hadits nabi : Addienu huwa al-Aql, laa diena liman laa aqla lahu (agama adalah akal, tiada beragama bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia.

Hati

Hati (al-qalb)adalah pusat kesadaran manusia. Menurut Mochamad Chalid, S.Si, M.Sc asal kata qalb adalah Qalaba, yang artinya suatu kondisi atau benda yang tidak stabil atau mudah dibolak-balik. Dapat ditarik pengertian umum bahwa hati adalah bagian kehidupan manusia yang labil, yang mudah sekali berubah. Rasulullah bersabda dalam Hadist Bukhari dan Muslim yang isinya : “Di dalam manusia itu ada segumpal daging yang jika itu baik, maka baiklah perbuatannya dan jika itu buruk, maka buruk juga perbuatannya. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati.” Hal tersebut menggambarkan bahwa hati memiliki posisi yang tinggi bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penentu sikap seseorang, baik atau buruknya sikap seseorang yang tergambar dari niat, berpikir dan berbuat baik, lisan serta tingkah laku. Hati yang terisi oleh rasa dendam, akan terlihat dari sikpanya.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hati itu ibarat kaca jendela dan dosa-dosa diibaratkan sebagai debu yang menempel di kaca tersebut, kemudian kebaikan diibaratkan sebagai sinar yang menyelimuti jendela kaca itu.

Bila hal ini berlangsung terus menerus, maka rumah tersebut akan dipenuhi bibit penyakit.

Saeful Millah (2007) menyatakan bahwa suara hati adalah kata abstrak namun begitu akrab dan bersahabat dengan keseharian hidup kita. Kehadirannya tak pernah tampak kelihatan namun senantiasa memunculkan kepekaan manusia untuk mengungkap kebenaran, keadilan dan kejujuran. Jika ada kata-kata yang paling merasuk pikiran dan perasaan seseorang, maka itulah sesungguhnya yang menjadi suara hatinya.

Menurut Daniel Goleman (1995), hati sering memberi tahu kita tentang apa yang harus dipertimbangkan, diperhatikan, dan memberi tahu pula kita kapan harus memutuskan dan bertindak menentukan pilihan. Itu sebabnya, bagi orang yang peka dengan suara hatinya berlaku kaidah; resapkan dalam-dalam sebelum menentukan pilihan atau tindakan.

Hati adalah alarm hidup setiap orang. Suara hatilah yang memberi kita isyarat tentang yang semestinya dilakukan. Hati tak pernah lengah mengawasi dan memberikan pertimbangan atas setiap tindakan manusia. Bagi orang yang cerdas dan cakap menggunakan suara hati berlaku juga prinsip, apalah artinya bujukan uang atau janji kalau harus mengorbankan suara hati.

Hati yang dalam bahasa Arab disebut qalb itu merupakan pusat kesadaran manusia. Menurut Jalaluddin Rakhmat (2000), hati adalah kekuatan rohaniah yang memiliki kemampuan memahami, memersepsi dan mencerapi. Tegasnya, jika jantung memegang peranan penting dalam memelihara kesehatan tubuh, hati memegang peranan penting dalam memelihara kesehatan rohaniah.

Itu sebabnya, hati itu juga adalah pusat spiritual yang ada dalam setiap diri manusia. Suara hati adalah pedoman tersembunyi yang mampu membawa seseorang ke jantung segala sesuatu. Ia adalah penimbang sekaligus pamong batin.

Itu pula sebabnya, suara hati adalah suara kebenaran sejati. Suara hatilah yang senantiasa memberi isyarat kepada setiap orang tentang yang semestinya dilakukan. Mulut kita bisa saja ngomong berbohong kepada sesama, tetapi tidak kepada kata hati. Para elite politik bisa saja berapi-api mengumbar janji palsu kepada pengikutnya, tetapi tidak kepada suara hatinya. Bahkan ia sangat merasakan kalau kata hatinya sendiri tegas-tegas mengutuk kepalsuan janji-janjinya.

Ini beda dengan makluk lain, baik malaikat maupun binatang. Malaikat tanpa nafsu, sedang binatang diberi nafsu tapi tanpa hati dan akal. Manusia – dengan demikian – lebih komplek dan sempurna ketimbang malaikat dan binatang. Maka mudah dipahami jika manusia kadang bisa mencapai derajat tinggi melebihi malaikat, tapi pada sisi lain kadang juga bisa lebih hina dan rendah dari pada binatang. Tergantung prilaku atau kemana ia melangkah. Kalau ia mengikuti kata hati dan mampu mengaktualisasi potensi akalnya secara prima serta memenej nafsu ke arah yang positif maka ia akan mencapai maqam INSAN KAMIL atau manusia sempurna. Sebaliknya jika hanya mengikuti nafsunya, maka ia akan rendah bahkan lebih rendah dari binatang.

Jadi faktor hati dan akal – disamping kemampuan memenej dan menyalurkan nafsu secara positif - sangat determinan dalam membentuk manusia sempurna, termasuk produk kemanusiaannya kelak. Karena itu sinergi dan tasawuf yang merupakan produk akal dan hati terasa urgen. Sebab dari sinergi inilah peradaban dan ilmu pengetahuan akan tercipta dengan sempurna dan bermanfaat kepada manusia secara universal.

Bertolak dari realitas itu berarti, antara dan tasawuf tak bisa berdiri sendiri. Jadi harus saling mendukung dan mengisi kekurangan masing-masing. Ini sesuai dengan hakikat yang berorientasi pada kebijaksanaan. Namun dalam sejarah kadang justeru terjadi malapetaka kemanusiaan. Shihabuddin Suhrawardi, yang dijuluki Syaikh Asyraf, hakim dan filsuf besar Iran, dibunuh dan gugur sebagai syahid.

Seperti tercatat dalam sejarah, karena kepintaran dan kekuatan hafalannya, Suhrawardi dengan cepat menguasai berbagai ilmu keislaman, khususnya ilmu . Dia juga melakukana perjalanan ke berbagai kota Islam untuk belajar kepada ulama-ulama di kota-kota tersebut.

Suhrawardi kemudian mendirikan pusat pengajaran baru yang dinamakan Asyraf. Namun karena berlawanan dengan para filsuf pada jaman itu, dia berkeyakinan bahwa akal dan argumetnasi tidak cukup untuk mencapai hakikat, melainkan harus ditambah dengan proses pencapaian sufistik.Pandangan dan sufisme Suhrawardi menimbulkan kemarahan para penentangnya dan dia kemudian ditangkap, lalu dibunuh. Maka terjadilah tragedi kemanusian dalam sejarah. Ironis sekali.

Tragedi serupa juga terjadi di kalangan Kristen. Galeleo dibunuh pihak gereja karena berkeyakinan bahwa bumi mengelilingi matahari. Sedang gereja secara dogmatic mengajarkan bahwa matahari yang mengelilingi bumi. Ironisnya, pihak gereja yang merasa paling benar justeru membunuh Galeleo. Padahal sejarah kemudian membuktikan bahwa Galeleo yang benar. Jadi akal dan ilmu pengetahuan pihak gereja justeru sesat dan tak mampu memahami ketinggian ilmu Galeleo.Anehnya, dengan menagatasnamakan agama justeru membunuh orang yang benar.

Fundamentalisme tampaknya memang selalu menimbulkan malapetakan bagi kemanusiaan. Karena itu wajar jika para tokoh agama yang berakal sehat selalu menolak kekerasan atas nama agama.

Dua peristiwa di atas merupakan pelajaran penting bahwa kita samasekali tak punya hak menghakimi keyakinan dan kebenaran seseorang. Karena itu sangat naïf ketika sekelompok orang memvonis kelompok lain murtad dan kafir hanya karena beda pendapat.

Memang tqak mudah untuk mensinergikan tasawuf dengan . Dalam sejarah upaya untuk mensinergikan tasawuf dan selalu mengalami kendala. Namun kiranya tgak ada pilihan lain jika kita menginginkan berbuah kebijaksanaan yagn hakiki. Sebab banyak sekali fakta bahwa akal tanpa kendala hati selalu berbuah kecongkakan. Padahal kita masuk dunia untuk mencari kebijaksanan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO