Tafsir Al-Nahl 71: Anggota DPR, Pantaskah Nyambi di Entertainment?

Tafsir Al-Nahl 71: Anggota DPR, Pantaskah Nyambi di Entertainment? ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Waallaahu fadhdhala ba’dhakum ‘alaa ba’dhin fii alrrizqi famaa alladziina fudhdhiluu biraaddii rizqihim ‘alaa maa malakat aymaanuhum fahum fiihi sawaaun afabini’mati allaahi yajhaduuna".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Kedua, perspektif etik. Ayat al-Qur'an yang membicarakan ketidaksamaan macam ini ada di banyak tempat, pada banyak hal. Ada besaran rejeki yang tidak sama seperti pada ayat kaji ini, ada "al-ukul" (makanan, buah) yang tidak sama (al-Ra'd:4), tentu ini soal rasa, khasiat dll. Tidak sama antara orang yang berilmu dan yang tidak, antara cahaya dan kegelapan, antara yang buta dan yang bisa melihat, antara teduh dan panas, antara yang hidup dan yang mati dan seterusnya.

Semua ini adalah deskripsi Tuhan terhadap hal-hal yang nyata, bisa dilihat, bisa dibuktikan, bisa dipikir dan bisa pula diambil pelajaran. Gaya Tuhan memberi nasihat kepada manusia tidaklah dengan satu cara, melainkan dengan banyak cara. Selain nasihat verbalistik yang mudah diterima, tegas dan lugas, ada juga nasihat yang sindir dan bahkan tamsilan belaka yang hanya bisa diambil melalui perenungan, nalar cerdas atau perasaan yang sensitif dan peka.

Tamsilan sebagaimana dipapar pada ayat syudi ini sangat tepat sekali, karena orang yang diajak bicara adalah kaum intelektual, para akdemisi bahkan senior teologi, yakni para pendeta Nasrani senior utusan daerah Najran. Ayat ini (71) turun sebagai jawaban bagi mereka terkait perspektif teologis yang mereka lontarkan dan selanjutnya mereka faham betul terhadap maksud ayat, meski pakai bahasa tamsil. Ya, mereka memang faham betul, tapi berubahkah pola pikir mereka?, berubahkan keyakinan mereka?, berubahkah perilaku mereka?. Sama sekali tidak. Mereka tetap mengkuti hawa nafsunya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Kini tafsir masuk pada aplikasi yat. Hikmah yang terambil dari ayat bernada deferensiasi di atas sesungguhnya adalah pelajaran, sekaligus teguran, bahwa seseorang itu harus pandai-pandai membawa diri sesuai "maqam", peran, jabatan, status masing-masing. Pastilah tidak sama antara majikan dan budak, antara pejabat dan rakyat, antara wakil rakyat dan rakyat, antara kiai dan umat dan seterusnya.

Di tingkat masyarakat awam, hari-hari ini rasan-rasan mengenai seorang anggota DPR RI yang setiap malam membawa acara Super Family 100. Acara tebakan yang sarat guyonan dan hura-hura melibatkan sekian artis, termasuk artis amoral dengan pakaian minim yang dilarang agama dan tidak mendidik, sehingga kru televisi terpaksa harus membuat blur, buram-buram tepat di bagian dada yang terbuka. Sang pembawa acara nampak asyik-asyik saja dan menikmati, bahkan sesekali berpelukan dengan sebagian peserta, meski tidak cipika cipiki ketat.

Karena ini soal kepantasan, soal kepatutan tentu debatebel. Bagi dia, tentu tidak apa-apa, tidak ada yang dilanggar, malah merakyat, bisa menjembatani antara wakil rakyat dan dunia entertainment dan sebagainya. Yang jelas, tambah penghasilan. Tapi bagi kaum moralis, agamawan, pendidik, pemerhati etika dan penjunjung tinggi akhlaq mulia tentu berbeda.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Sepatutnya wakil rakyat itu lebih mencerminkan kepribadiannya sebagai pejabat publik yang punya kharisma dan mengerti batasan hingga yang paling lembut, sementara tetap terbuka dan familier. Merakyat itu banyak cara dan tidak harus dengan ngamen di dunia entertainment dengan memandu acara jorok macam itu, acara yang tidak bermutu dan tidak banyak guyonan.

Silakan memandu acara di televisi, tapi yang pantas dengan jabatannya sebagai wakil rakyat, rakyat yang mayoritas beragama islam, rakyat yang menjunjung tinggi moralitas dan akhlaq mulia. Seperti memandu acara agama, acara kajian islam, bimbingan rumah tangga sakinah dan lain-lain. Meskipun waktu shoting bisa diatur dan tidak menggangu jam kerja, tapi karena setiap malam tampil dan lama sekali, maka tidak salah rakyat ngerasani, "kok setiap malam tampil, kapan rapatnya, memang tidak pernah ada sidang DPR di sore hari?. Apa dia suka bolos?. Apa gajinya kurang? Atau dia yang rakus dan tidak pernah puas?. Atau memang kurang serius mengemban amanat rakyat, tapi enggan melepas?. dan seterusnya.

Semua imej buruk ini sah, suara batin sebagian rakyat itu ada, kegalauan itu beralasan. Andai ada rasa tidak simpati kepada pribadinya juga masuk akal. Semua itu timbul bukan karena rakyat buruk hati, bukan karena perbedaan partai, bukan karena beda daerah pemilihan atau almamater lain, tapi murni dari kejanggalan-kejanggalan yang mengusik hati nurani.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Begitulah jika seseorang berulah tanpa sadar, tanpa mempertimbangkan stasus yang melekat pada dirinya. Selagi jabatan masih melekat pada diri seseorang, maka konsekuensinya harus dipatuhi. Tidak bisa lepas dan berdalih sebagai pribadi. Para sedulur di terminal pantas-pantas saja ngopi sambil main catur di trotoar sepi demi mengisi waktu. Tapi itu tidak pantas dilakukan seorang ustadz atau imam masjid atau pendeta. Dosa sih tidak, tapi tidak pantas. Andai ada ustadz yang nombrung di situ, pada awalnya pasti mereka menegur: "Ustadz, mohon tidak ikutan di sini, ya gimana gitu..". itulah suara hati yang bersih dan alami.

Semua ini sekedar aplikasi tafsir, sekedar pemaparan demi menggapai yang paling baik, sekedar menyuguhkan pesan ayat terkait historisitas. Semuanya berpulang kepada si DPR yang bersangkutan seperti Tuhan menyerahkan kembali kepada kesadaran ahli kitab dari nasrani Najran tersebut. Sadarkah mereka, sehingga menarik diri dan memperbaiki kekurangan, atau tetap terus menuruti nafsi.

Alkisah, para ahli kitab egois di atas tetap pada pendiriannya. Ya, karena menuruti nafsu itu lega, dan mempertahankan gensi itu kebanggaan. Meski begitu, tafsir ini berharap si DPR sadar diri. Mudah-mudahan ada pejabat partai politik asal si dia berangkat yang membaca tafsir ini dan menjadikankan bahan renungan untuk ke depan lebih maslahah.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO