Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Waallaahu ja’ala lakum min anfusikum azwaajan waja’ala lakum min azwaajikum baniina wahafadatan warazaqakum mina alththhayyibaati afabialbaathili yu/minuuna wabini’mati allaahi hum yakfuruuna".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat ini adalah informasi tentang hukum normal berdasar logika biologik yang memang begitu adanya. Dengan kesamaan jenis tersebut, maka pasangan hidup berjalan normal dan pelampiasan nafsu seksual tertunaikan secara optimal. Lalu ada konsekuensi bagus dari pasangan itu, yakni membuahkan keturunan dan beranak-pinak. Bila hukum alam ini dilanggar, maka menjadi sebuah kelainan, penyimpangan dan tidak normal. Pastilah gagasan besar dan manfaat perjodohan tersebut tidak bisa dicapai. Lalu, apa boleh manusia menikahi jin?
Dari kata "anfus" (sejenis) ini, mayoritas ulama berpendapat, bahwa menikah dengan jin tidak diperbolehkan. Alasan utamanya karena beda jenis ciptaan. Bahwa jin tidak sama dengan manusia. Tuhan sendiri menyatakan beda, ada jin dan ada manusia. Pernyataan itu berulang kali diungkap dalam al-Qur'an. Salah satunya adalah al-Dzariyat: 56, meski sama-sama berkewajiban ibadah, tapi berbeda jenis.
Ini alasan terpokok terkait larangan tersebut, meski dalam kitab fikih ada alasan penunjang, yaitu adanya problem yang timbul dari pernikahan tersebut seperti ketentuan memberi nafkah, jika ada anak yang lahir dan lain-lain. Semisal soal nasab, jika ibunya manusia, jika lahir manusia, maka punya hubungan nasab dengan ibunya, termasuk punya hukum waris, bisa saling mewarisi dan lain-lain. Kepada ayahnya ini yang susah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ketidak bolehan ini sama dengan tidak bolehnya manusia menikah dengan hewan, anjing, harimau, ular dan lain-lain. Perkara sebagian orang Barat melakukan itu seperti sering diberitakan di media kita, bagi pandangan wong Barat sendiri, pada umumnya menganggap hal tersebut sebagai tindakan abnormal, hal mana lebih banyak pada ranah sensasi ketimbang esensi. Perkara mereka membiarkan bahkan mengesahkan pernikahan seorang gadis dengan anjing jantan, hal itu karena aturan negaranya begitu, bebas dan dilindungi hak asasi. Jika diobrak, maka yang ngobrak dianggap melanggar dan berurusan dengan hukum.
Seorang teman bercerita tentang cewek yang merayu-rayu anjingnya yang berpostur besar dan bagus di sebuah pantai. Rupanya si cewek ingin main di tempat terbuka. Tentu saja demi kepuasan nafsu, tidak bosan, tidak monoton, tidak melulu di rumah saja. Si cewek telah melepas celananya dan siap seratus persen. Dalam posisi terlentang, dia menarik-narik si anjing agar segera menindih dan melayani. Apa yang terjadi?
Subhanallah, anjing itu berulah, menghindar dan mendekat. Menjauh beberapa langkah dan mendekat lagi sambil menggerak-gerakkan monyongnya tertuju ke sebuah arah. Akhirnya, cewek itu mengerti, lalu berdiri dan berjalan mengikuti anjingnya menuju sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian para turis pantai. Terbacalah, bahwa anjing itu tidak mau main di keramaian, malau dilihat orang. Tapi mau melayani si cewek di tempat yang tertutup. Ya, terkadang anjing lebih punya malu ketimbang manusia.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Pendapat kedua mengatakan, bahwa menikahi jin itu sah. Alasannya karena keduanya sama-sama masuk dalam kategori khitab. Maksudnya, sama-sama makhluq yang dibebani syari'ah agama oleh Tuhan. Nikah adalah syari'ah, adalah ibadah. Jin dan manusia sama-sama berkewajiban ibadah. Bermakmum Jin pada shalat berjamaah, hukumnya saha, begitu juga sebaliknya. Jin yang barmakmum kepada manusia juga boleh. Beberapa kawanan jin mengaji kepada Nabi Muhammad SAW dan sama-sama mendapat ilmu seperti sahabat yang lain.
Pembolehan ini tidaklah mutlak, melainkan hanya bagi mereka yang mengerti kurikulum perjinan dan menguasai alam jin. Mereka yang tidak punya keahlian bidang perjinan, maka dilarang karena lebih banyak mafsadahnya ketimbang maslahahnya.
Meskipun demikian, pendapat ini dianggap lemah oleh kalangan ulama. Andai terjadi perhikahan jin dan manusia, lalu punya anak?. Apa dianggap bangsa jin atau bangsa manusia?. Ya dilihat saja, mana bentuk fisik yang paling dominan, maka dominasi itulah ketentuannya dan hukum berlaku atas dirinya. Sekali lagi, ini berdasar hukum lahiriah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Ngomong-ngomong soal menikahi Jin, seorang teman bertutur tentang seorang kiai sakti yang punya ilmu perjinan. Diceritakan, sang kiai punya istri jin perempuan yang dinikahinya secara syari'ah. Katanya, untuk nafkah sangat mudah, cukup dengan daging yang dimasak dan disediakan. Jin hanya menyerap baunya saja tanpa menghabiskan teksturnya. Si daging yang menempel di tulang tidak dibuang ke tong sampah, melainkan dibiarkan di atas meja.
Sebagai sajian favoritnya adalah parfum, minyak misik dan ini yang agak butuh dana. Sebab mintanya yang bagus dan mahal. Wajar, bila seorang dukun meminta kliennya sekian juta untuk beli minyak misik tertentu demi sajian kepada jin negosiator.
Ya, kadang ada jin yang susah diajak kompromi dan tetap melawan. Dukun yang piawai tidak perlu meladeni, melainkan cukup memberi kompensasi. Seperti disajikan ayam cemani, minyak misik dsb.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
"Ya, nah ini minyak misik kesukaanmu. Selamat menikmati dan ingat, jangan mengganggu lagi. Oke, deal dan beres".
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News