Memberontak, PKI Seharusnya yang Minta Maaf: Inilah 9 Rekomendasi Simposium Nasional

Memberontak, PKI Seharusnya yang Minta Maaf: Inilah 9 Rekomendasi Simposium Nasional Inilah suasana Simposium Nasional bertajuk “Mengamankan Pancasila dari Bahaya PKI dan Ideologi Lain” berlangsung pada 1-2 Juni 2016. foto: tempo.co

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Simposium Nasional bertajuk “Mengamankan Pancasila dari Bahaya dan Ideologi Lain” berlangsung pada 1-2 Juni 2016. Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno secara resmi membuka simposium yang dihadiri 49 organisasi.

Simposium Nasional ini menghasilkan sembilan butir rekomendasi. Panitia berharap pemerintah mempertimbangkan rekomendasi tersebut bersama dengan hasil rekomendasi Simposium Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, April lalu.

Baca Juga: Situs Persada Sukarno Minta Pemerintah Bentuk Tim Kajian Hari Peristiwa G30S/PKI

Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) Indra Bambang Utoyo membacakan butir-butir rekomendasi hasil simposium. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo berencana menyerahkan rekomendasi ini kepada pemerintah untuk dikaji bersama hasil simposium Tragedi 1965, April lalu.

Berikut butir rekomendasi simposium nasional anti- dengan 'Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan dan Ideologi Lain' berserta penjelasannya:

1. Sejarah mencatat telah terjadi pemberontakan pada 1948 di Madiun dan sekitarnya.

Baca Juga: Aksi Damai DPW FPI Tolak LGBT Direspons Positif DPRD Pamekasan

*Pemberontakan itu terjadi saat Indonesia sedang menghadapi ancaman agresi Belanda. Pemberontakan kembali terulang pada 1965 atau dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965, saat Presiden Soekarno sedang gencar melaksanakan Dwi Komando Rakyat. Kedua pemberontakan itu dinilai sebagai sebuah pengkhianatan terhadap Pancasila dan rakyat, yang sedang berjuang demi kemerdekaan. Tujuannya, dikatakan adalah untuk merebut kekuasaan dan mengganti ideologi Indonesia.

2. Menuntut dengan penuh kesadaran membubarkan diri dan menghentikan semua kegiatan dalam bentuk apapun.

*Rekomendasi itu menyebutkan, sepantasnya pihak yang harus meminta maaf pada rakyat dan pemerintah Indonesia. disebut masih berusaha eksis dengan melakukan kongres sebanyak 3 kali, berusaha memutar balik fakta sejarah, menyebar fitnah dan hasutan, serta melempar kesalahan ke pihak lain, seperti TNI dan umat Islam.

Baca Juga: Ciri Utama PKI Pembohong, Pintar Membalik Fakta, Kiai Asep Minta Pancasila Jangan Diperas

3. Bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa karena reaksi cepat rakyat dan pemerintah yang berhasil dua kali menggagalkan pembetontakan .

*Namun, tetap ada penyesalan bahwa kedua pemberontakan tersebut menjatuhkan korban jiwa, baik dari pemerintah, TNI, rakyat, maupun dari simpatisan . Banyaknya korban telah menjadi luka sejarah.

4. Hendaknya kita tak lagi mencari-cari jalan rekonsiliasi, tapi mari kita kukuhkan dan mantapkan rekonsiliasi sosial dan politik secara alamiah.

Baca Juga: Peringati Hari Kesaktian Pancasila, Bupati Lamongan Ajak Masyarakat Wasapadai Paham Komunis

*Rekonsiliasi sosial politik secara alamiah sudah terjadi di kalangan generasi penerus dari mereka yang mengalami konflik masa lalu tersebut. Disebutkan saat ini tak terdapat stigma yang tersisa pada anak cucu eks .

Butir keempat ini secara lengkap berbunyi: "Semua hak sipil mereka telah pulih kembali. Banyak di antara mereka yang berhasil menjadi anggota partai politik, anggota DPR, pegawai negeri, gubernur, anggota TNI dan Polri, dan jabatan penting lain, tanpa ada yang mempermasalahkan."

5. Diminta dengan sangat pada pemerintah, LSM, dan segenap masyarakat agar tak lagi mengutak-atik kasus masa lalu karena dipastikan dapat membangkitkan luka lama dan berpotensi memecah persatuan.

Baca Juga: Kini Miliki 110 Madrasah, ​Semua Pendiri Pesantren Milik Dahlan Iskan Dibunuh PKI

*Mengungkit masa lalu, disebutkan dapat memicu terjadinya konflik horizontal. Rekomendasi menyarankan masyarakat melihat masa depan, dan lebih memperhatikan kepentingan bangsa dibanding kelompok.

6. Hendaknya pemerintah konsisten menegakkan Pancasila, Ketetapan MPRS 25 tahun 1966, Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 yang mengatur pelarangan terhadap setiap kegiatan yang terindikasi sebagai upaya membangkitkan .

*Aturan ini diperkokoh dengan Ketetapan MPR RI Nomor 1 tahun 2003 tentang Ketentuam Hukum untuk Pelarangan Paham Komunis di Indonesia. "Ke depan seyogyanya pelarangan terhadap itu dimasukkan juga dalam Addendum 1945," kata Indra yang membacakan rekomendasi ini.

Baca Juga: Kanang: Trauma PKI Jangan Dipakai Mendiskreditkan Orang atau Golongan

7. Mendesak pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk segera mengkaji ulang UUD 2002 agar kembali dijiwai Pancasila.

*Fenomena kebangkitan dianggap tak lepas dari empat kali perubahan UUD 1945 mulai dari 1999-2000 yang dibajak oleh liberalisme. Indra mengatakan UUD hasil amandemen pada 2002 itu diisi individualisme-liberalisme yang membuka kebebasan nyaris tanpa batas.

"Itu dimanfaatkan oleh simpatisan serta kelompok anti Pancasila lain yang mendukungnya," katanya.

Baca Juga: Wasiat Aktivis PKI: Jika Mati Mandikan Air Tuak

8. Kami mendesak pemerintah memasukkan atau meningkatkan muatan materi nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan formal mulai dari usia dini, pendidikan dasar, tingkat menengah dan sederajat, serta sampai pendidikan tinggi.

*Hal itu dimaksudkan untuk mengamankan Pancasila dari ancaman ideologi lain yang bertentangan. Dalam rekomendasi ini, kata Indra, pemerintah diminta melakukan sinkronisasi pada semua aturan terkait atau menerbitkan UU baru yang dapat mengikat semua pemangku kepentingan pendidikan.

9. Mengajak segenap komponen bangsa meningkatkan integrasi dan kewaspadaan nasional dari ancaman kelompok anti Pancasila, maupun pihak asing.

Baca Juga: Instruksi Mega Disambut Instruksi Jihad Qital, AS Hikam: Aparat Saatnya Turun

Sementara Ketua Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Bahaya dan Ideologi Lain, Letnan Jenderal (pur) Kiki Syahnakri, berharap pemerintah memberi ruang dialog untuk rekomendasi penyelesaian kekerasan masa lalu. Kiki berharap, Kementerian Pertahanan memfasilitasi dialog mereka dengan Agus Widjojo, Ketua Penyelenggara Simposium Tragedi 1965, yang digelar April lalu.

"Saya minta Menhan memfasilitasi (kami) untuk duduk bersama Agus Widjojo, lalu kami berdialog. Saya berharap, ada satu rekomendasi dari dua simposium itu," kata Kiki di sela simposium bertema "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan dan Ideologi Lain" di Balai Kartini, Jakarta, Rabu 1 hingga 2 Kamis Juni 2016.

Menurut Kiki, apabila kubu Agus Widjojo berpegang pada Pancasila dan mengedepankan kepentingan umum, seharusnya ada dialog. Namun, kata Kiki, kubu Agus hanya akan menyerahkan hasil rekomendasi simposiumnya kepada pemerintah. "Kami ingin duduk bersama untuk satu rekomendasi," ujar Kiki.

Ia menambahkan, kebijakan pemerintah melihat pro dan kontra terhadap komunisme harus fair dengan melibatkan dua kubu yang sama-sama menggelar simposium. "Kami harap, (pemerintah) jangan hanya menyerahkan dan menyuruh meramu. Kalau tidak cocok, lalu jalan sendiri-sendiri lagi, akhirnya tidak rekonsiliasi, dong," kata Kiki, yang pernah menjadi Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu.

Agus Widjojo, yang kini menjabat sebagai Gubernur Lemhanas, menyerahkan hasil rekomendasi kedua simposium tersebut kepada pemerintah. Apabila terjadi saling sanggah pendapat dan rekomendasi, menurut purnawirawan TNI bintang tiga itu, wajar. "Ini akan memperkaya khasanah pemerintah," ucap Agus.

Juru bicara kepresidenan, Johan Budi, menyatakan pemerintah berkomitmen menyelesaikan persoalan hak asasi manusia masa lalu. Namun, sebelum mengambil sikap, Presiden Joko Widodo ingin mendengarkan pihak pro dan kontra. "Tak hanya soal , Presiden ingin menyelesaikan kasus HAM masa lalu, tapi perlu mendengar dulu," kata Johan saat dihubungi, Rabu, 1 Juni 2016.

Adanya Simposium Anti-, kata dia, tidak bisa dipandang bertolak belakang dengan Simposium 1965 yang sudah digelar sebelumnya. Johan menilai, Simposium Anti- merupakan bagian dari wacana yang bergulir.

Kendati demikian, Johan mengatakan hasil Simposium Anti- bukan berarti akan diterima sebagai rekomendasi untuk pemerintah. Menurut dia, hal itu menjadi domain panitia penyelenggara simposium.

Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain (Simposium Anti-) digelar di Balai Kartini, Jakarta, 1-2 Juni 2016. Acara ini disebut-sebut sebagai tandingan Simposium Nasional 1965 yang digagas pemerintah dengan tujuan rekonsiliasi, 18-19 April lalu.

Sejumlah purnawirawan militer hadir dalam acara itu. Salah satunya mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (purnawirawan), Kivlan Zen, yang menggelar acara itu karena merasa aspirasinya tidak terwakili dalam Simposium Nasional 1965.

Sumber: Tempo.co

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO