KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Situs Ndalem Pojok Persada Soekarno, Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, dan Lesbumi NU Kabupaten Kediri sepakat meminta pemerintah untuk membentuk Tim Kajian Peninjuan Ulang terkait Peristiwa G30S/PKI.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Harian Situs Ndalem Pojok, Kushartono, usai menjadi salah satu narasumber dialog kebangsaan bertajuk 'Mensyukuri 30 September Pancasila di Dunia dan 1 Oktober Kirim Doa Pahlawan Revolusi', di Aula Sasono Pandji Saputro Situs Ndalem Pojok, Sabtu (30/9/2023) malam.
Baca Juga: Hanindhito Himawan Pramana Pulangkan 14 Arca ke Kabupaten Kediri
Dalam dialog kebangsaan yang digelar satu rangkaian dengan tasyakuran 58 cagar budaya tersebut juga menghadirkan pengurus Lesbumi NU Kediri sebagai narasumber.
Menurut Kushartono, hasil dialog tersebut sepakat untuk meminta pemerintah untuk membentuk tim kajian peninjauan ulang peristiwa yang sering disebut dengan G30S/PKI.
“Kita sepakat mengecam peristiwa berdarah yang disebut G30S/PKI ini. Yang kita koreksi adalah tanggal peristiwanya itu tanggal berapa? Apakah pembunuhan Pahlawan Revolusi itu tanggal 30 September atau tanggal 1 Oktober? Ini yang kita dari Situs Ndalem Pojok dan Lesbumi PCNU Kediri sepakat meminta kepada pemerintah perlu membentuk tim kajian peninjauan ulang,” kata Kushartono.
Baca Juga: Kunjungi Situs Ndalem Pojok, Risma Teteskan Air Mata
Kushartono menyebut semua Pahlawan Revolusi ini di batu nisannya terlulis wafat 1 Oktober 1965.
“Cobalah buktikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Lihat di batu nisan tujuh Pahlawan Revolusi itu adakah tertulis 30 September 1965 atau 1 Oktober 1965. Semua tertulis 1/10/1965,” tuturnya.
“Kalau tak mau ribet, cek di google, misal ketik Pahlawan Revolusi A Yani meninggal pada, semua data akan muncul 1 Oktober 1956. Memang faktanya tidak ada yang wafat 30 September 1965. Makanya Bung Karno selalu menyebut Gestok, Gerakan 1 Oktober,” imbuhnya.
Baca Juga: Pesantren Jatidiri Bangsa Kediri Telah Dibuka, Telan Biaya Pembangunan Rp2 Miliar Tanpa Proposal
Alasan lain menurut pria yang juga Ketua Departemen Pendidikan DPP Persaudaraan Cinta Tanah Air Indonesia, bahwa tanggal 30 September adalah hari bahagia, di mana hari yang membanggakan seluruh rakyat Indonesia.
“Ini kalau tidak diluruskan, kita bisa kehilangan sejarah. Sebab pada tanggal 30 September 1960 adalah peristiwa besar Pancasila dikumandangkan Presiden RI Pertama di Sidang Umum PBB untuk membangun dunia baru yang penuh kedamaian. Jadi menurut kami harusnya tanggal 30 September itu bendera penuh karena ini hari yang membahagiakan seluruh rakyat Indonesia, di mana Pancasila menggema di dunia. Jas merah maka ini harus diluruskan,” paparnya.
Gayung bersambut usulan 30 September 1960 sebagai hari bahagia disampaikan oleh Situs Ndalem Pojok Bung Karno, sementara usulan 1 Oktober 1965 sebagai hari bergabung nasional diusulkan oleh Lesbumi.
Baca Juga: Pimpinan Gereja Ortodok Rusia, Apresiasi Pembangunan Pesantren Jatidiri Bangsa di Kediri
“Kami Lesbumi mengusulkan 1 Oktober 1965 menjadi hari bergabung nasional, hari bergabung bukan tanggal 30 September 1965. Dan tahun lalu kita sudah mengirim surat kepada Bapak Presiden Jokowi,” ujar Nur Habib.
Atas hasil dialog kebangsaan tersebut, tampaknya tidak ada satupun peserta dialog yang menolak usulan ini. Hal itu setelah Hendro Widjonarko, seorang guru sejarah SMPN 4 Pare yang bertindak moderator diskusi, meminta tanggapan dari peserta dialog.
“Semua sepakat ya, baik (peserta) yang ofline maupun online. Kita dukung usulan 30 September 1960 sebagai hari bahagia, hari perdamaian dunia dan 1 Oktober 1965 sebagai hari bergabung nasional," ucap Hendro.
Baca Juga: Situs Ndalem Pojok Gelar Diskusi di Hari Sumpah Pemuda 2024
Suksesnya pelurusan ini, lanjut Hendro, akan membawa kebesaran jiwa bangsa untuk menyongsong Indonesia Imam Perdamaian dunia.
"Semoga dengan Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, perjuangan ini sukses," pungkasnya. (uji/mar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News