Tafsir Al-Nahl 82-83: Kafir, Kaya Karena Warisan

Tafsir Al-Nahl 82-83: Kafir, Kaya Karena Warisan ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Fa-in tawallaw fa-innamaa ‘alayka albalaaghu almubiinu. Ya’rifuuna ni’mata allaahi tsumma yunkiruunahaa wa-aktsaruhumu alkaafiruuna."

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Ayat kaji ini tentang nikmat yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hamba itu mengerti, betapa Tuhan maha memberi (ya'rifun ni'mah Allah). Tapi dalam praktik sehari-hari, hamba itu mengingkari (tsumm yunkirunaha). Orang begini ini dicap sebagai kafir (wa aktsaruhum al-kafirun). Ada kafir teologis, yaitu mengingkari adanya Allah SWT sebagai Tuhan. Kafir kelas ini dikategorikan sebagai non muslim. Dan ada kafir servis, yaitu mengingkari kenikmatan yang diberikan Tuhan. Kafir kelas ini tetap sebagai mukmin, tapi durhaka. Berbagai tafsiran soal nikmat ini, antara lain:

Pertama, nikmat itu adalah diri pribadi nabi Muhammad SAW. Disebut nikmat karena beliau memandu manusia ke jalan yang benar demi menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tapi para kafir itu mengingkari dan mendustakan. Jadi, ada baiknya setelah kita mendapatkan kebajikan religius, seperti habis mendapat ilmu, mendengarkan pengajian, shalat sunnah, membaca al-Qur'an berucap "al-hamdu lillah". Bukan karena merasa bisa beribadah, tapi berharap semoga bisa melakukan yang lebih baik lagi. Begitu pendapat imam al-Suddy.

Kedua, nikmat yang dimaksud pada ayat ini adalah semua kenikmatan fisis yang bisa dirasakan dan bisa dimanfaatkan. Umumnya semua kenikmatan dunia, seperti harta, kesehatan, keamanan, kedamaian dan lain sebagainya. Bagi imam Mujahid, nikmat ini harus dipahami utuh sebagai murni pemberian Tuhan, tidak ada peran dari siapapun. Bila ada peran atau bantuan seseorang, maka itu hanya sebatas wasilah atau media saja. Media tersebut tidak berperan dengan sendirinya, melainkan telah disediakan dan disukseskan oleh Allah, sehingga totalitas nikmat tersebut murni dari Allah SWT.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Jika seseorang masih memandang ada peran orang lain dalam perolehan nikmat tersebut, maka bagi Mujahid, hal itu dianggap sebuah kekufuran terhadap nikmat Allah. Contohnya, seseorang yang mendadak kaya karena mendapat warisan. Lalu ditanya, "Dari mana harta berlimpah itu?. Dia menjawab: "Dari warisan orang tua".

Jawaban itu betul, logis dan diterima oleh akal mana saja. Tapi, menurut siratan ayat ini, jawaban tersebut menafikan peran Tuhan yang memberi. Penafikan terhadap peran Tuhan yang mahamemberi inilah bentuk kekafiran tersendiri. Dalam perseptif teologik, jawaban yang benar adalah "Harta yang saya peroleh ini adalah pemberian Tuhan lewat warisan". Makanya, sebagai orang beriman, biasakan melibatkan peran Tuhan dalam segala hal.

Meski nyata-nyata harta itu dari hasil anda berbisnis, mohon janganlah diakui sebagai hasil kerja sendiri. Kedepankan peran Tuhan lebih dahulu, baru medianya. Sebab tidak semua orang berbisnis itu bisa sukses. Banyak yang berhasil dan tidak sedikit yang gulung tikar. Paparan imam Mujahid ini terinspirasi dari kebiasaan orang arab jahiliah yang berbangga-bangga dengan kekayaan yang diwarisi dari leluhurnya. Lalu ayat kaji ini turun memberi teguran.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Ketiga, memandang peran orang lebih dominan daripada kekuasaan Tuhan. Ini juga disebut kekufuran sebagaimana disindir ayat studi ini. Tesis ini serupa dengan terma sebelumnya, tapi beda orientasi dan contoh. Semisal ada program besar yang anda pelopori, anda usahakan hingga sukses. Pokoknya, anda-lah pemeran utama dalam proyek itu. Lalu anda mengatakan: "Ini semua saya yang mengusahakan. Dari proposal hingga menemui pak ini, pak itu, ke sana dan ke situ sampai turun dan cair". Saat itulah anda mengenyampingkan peran Tuhan. Anda bisa saja dipuji-puji manusia, tapi sama sekali Tuhan tidak sudi memuji, bisa-bisa malah membenci.

Atau sebaliknya, semisal ada orang yang dianggap menjadi biang kegagalan sebuah program. Semua yang menjadi piranti dan persyaratan sudah ditata dan dipersiapkan sesempurna mungkin. Ternyata pada waktunya, acara menjadi gagal karena seseorang. Contoh, sudah siap berangkat umrah pada hari yang ditentukan. Ternyata gagal karena visa tidak keluar.

Ditinjau dari sisi tanggungjawab, travel penyelenggara tersebut salah dan berdosa, bisa dituntut dan bisa diperkarakan. Bagi jamaah yang hendak umrah memang kecewa, malu, sedih dan sebagainya. Itu wajar sebagai manusia, tapi sangat tidak wajar sebagai orang yang beriman. Secara hukum, pihak travel memang pantas dipersalahkan sebagai menipu, tidak terbuka, tidak bertanggungjawab dan sebagianya. Tapi secara keimanan janganlah hanya terfokus kepada travel saja. Ingat, ingat dan sekali lagi ingat peran Tuhan. Tuhan sudah pasti mengetahui itu dan pada finalnya menakdirkan itu.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Apa saja yang dikehendaki Tuhan, baik disukai oleh manusia atau dibenci, maka terjadilah secara pasti. Di balik kebrengsekan pihak travel, Tuhan berpran di sana. Bukan berarti Tuhan merestui peristiwa itu terjadi, tapi sekedar melayani kemauan hamba-Nya meskipun Tuhan sendiri tidak menyukai. Memang begitu tugas Tuhan dengan sifat kasih-Nya yang tak terbatas. Acap kali kawanan perampok sukses menggasak miliaran rupiah dengan aman. Itu adalah layanan Tuhan. Persoalan risiko adalah urusan pelaku sendiri.

Seorang sahabat menyesali karena tidak melakukan tindakan yang tepat sehingga berakibat sebuah kegagalan. Lalu mengatakan, "Andai saya tadi tidak melakukan itu...". Nabi mendengar dan menegur : "Jangan berkata demikian. Katakanlah: "Apa yang dikehendaki Allah, pastilah terjadi" (wa ma sya' fa'al). Untuk itu, betapa banyak di antara kita yang menyesali lepasnya sesuatu hanya karena kurang sedikit piranti saja. Terlambat dua menit hingga ketinggalan dan kesempatan lepas.

Tidak boleh menyesali diri, misalnya: "Kenapa saya tadi tidak langsung ke sini. Kenapa saya tadi begini, begitu..". Kata andai dan andai demikian ini sama halnya dengan menafikan peran Tuhan. Seharusnya segera menuju ke kesadaran teologis. "Ya sudahlah, kita sudah berusaha, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain". Meski demikian bukan berarti Tuhan harus dipersalahkan, melainkan manusianya yang harus mengkoreksi dan memperbaiki diri.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Keempat, pengakuan dan pengingkaran nikmat tersebut terjadi saat suka dan duka. Saat suka, mengakui segala kenikmatan adalah pemberian Allah. Tapi saat duka, mereka tidak tahan dan menggerutu, seolah tidak pernah mendapatkan kenikmatan sama sekali. Orang yang diganjar jatuh sakit setahun misalnya, biasanya mengungkapkan keadaannya pada orang lain. Kira-kira tujuannya untuk mendapat simpati atau dikasihani. "Saya sakit ini sudah lama, sudah sekian tahun, sudah ikhtiar ke mana-mana dst".

Meski tidak terang-terangan, tapi arah kata-kata tersebut bisa dibaca sebagai kalimat yang beraroma kekecewaan. Tuhan maha mengetahui maksud yang tersembunyi di balik kata-kata tersebut. Kayaknya tidak ada orang sakit macam itu berkata demikian: "Ah, ini tidak seberapa, masih banyak waktu sehatnya dari pada sakitnya". Hanya orang yang tertata imannya saja yang bisa mengatakan demikian.

Kelima, dibalik. Dalam keadaan normal dan serba enak, dia lupa terhadap peran Tuhan. Tapi dalam keadaan terjepit dan buruk, Tuhan didekati dan dirayu-rayu. Ini banyak dilakukan mansuia. Dalam keadaan sehat, banyak uang, masih muda selalu menunda-nunda ibadah. "Ah.. gampang nanti saja". Begitu terpuruk dalam kesulitan, Tuhan dicari dan diakui.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Saat anda jatuh sakit, doa apa yang anda panjatkan kepada Tuhan? Jawabnya pasti, "Semoga diberi kesembuhan". Itu betul dan Nabi Muhammad SAW mengajarkan demikian. Ya Tuhan, Engkau maha menyembuhkan, tidak ada yang bisa menyembuhkan selain Engkau. Mohon sembuhkanlah aku dari penyakit yang aku derita ini dengan kesembuhan total yang tidak menyisakan sakit sedikitpun. "syifa'a la yughadir saqama".

Nabi itu benar karena melayani publik, maka doanya yang wajar-wajar saja, mudah dan linier. Anda mau kami beri doa yang lebih hebat dari itu? Ketika sedang sakit, tetaplah berusaha untuk sembuh. Tapi berdoalah begini: "Ya Tuhan beri aku manfaat, kebaikan dari sakitku ini".

Keenam, maksud pengingkaran terhadap nikmat Allah tersebut adalah, pengakuan adanya nikmat yang diterima dari Allah SWT, tapi hanya ada di lisan atau ucapan saja. Seperti "alhamdu lillah" yang diucapkan berulang-ulang. Tapi dalam tindakan nyata dan amal kesharian mengingkari. Kenikmatan berupa uang banyak hanya disyukuri dalam lisan saja, tidak disedekahkan, tidak diberikan kepada amal sosial sehinga kekikiran tetap melekat. Inilah kekufuran nikmat yang nyata.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Betapa banyak orang islam kaya negeri ini yang terjerat pada kekufuran nikmat ini. Kebanyakan mereka adalah orang kikir dan tega menelantarkan orang miskin. Menurut hitungan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), andai seluruh muslim wajib zakat itu menunaikan kewajibannya, maka akan terkumpul sekitar 24 triliun rupiah per tahun. Nyatanya hanya separonya saja yang terkumpul. Jadi, masih banyak umat islam negeri ini yang lisannya menyatakan beriman kepada Allah, tapi amaliahnya kafir terhadap kenikmatan yang diberikan Allah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO