SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Gubernur Jawa Timur Soekarwo mempertanyakan alasan usulan menaikkan cukai rokok untuk mengurangi jumlah perokok aktif di Indonesia. Sebab, kenaikan cukai rokok pasti diikuti kenaikan harga rokok. "Kalau dinaikkan, terus piye?" kata Soekarwo, Jumat (19/8).
Jika harga rokok naik, Soekarwo khawatir pendapatan petani tembakau dan buruh di pabrik rokok berkurang. "Jika pendapatan pabrik rokok berkurang, maka pengusaha pasti akan mengurangi jumlah buruh," ujar gubernur yang akrab disapa Pakde Karwo ini.
Baca Juga: Pemkab Malang bersama Bea Cukai Sosialisasi Gempur Rokok Ilegal melalui Operasi Sobo Kampung
Petani tembakau, kata dia, juga akan terimbas bila wacana itu benar-benar diwujudkan. Padahal di Jawa Timur, kata Soekarwo, ada sekitar 6,1 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari rokok. "Mudah-mudahaan saya diajak bicara sebelum cukai dinaikkan, biar ada masukan dari daerah," ujar Soekarwo.
Usulan menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus merupakan hasil studi Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany.
Studi ini mengungkap kemungkinan perokok akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Hasilnya 80 persen bukan perokok setuju jika harga rokok dinaikkan.
Baca Juga: Dituduh Ikut Produksi Rokok Ilegal, Perusahaan di Sumawe Malang Beri Klarifikasi
Soekarwo menuturkan, jika alasan menaikkan cukai rokok untuk mencegah anak-anak merokok, kebijakan itu bukan solusi. "Kalau tujuannya itu, ya tidak bisa. Seharusnya melalui sosialisasi dengan baik," katanya.
Soekarwo berseloroh bila ingin mengurangi jumlah perokok, caranya bukan menaikkan cukai, namun semua pabrik rokok harus ditutup. "Pabrik rokok di luar negeri juga harus ditutup. Mending begitu," katanya.
Menurut Soekarwo Jawa Timur menyumbang cukai ke pusat sebesar Rp 100 triliun. Dari Jumlah tersebut, ujar Soekarwo, yang kembali ke Jawa Timur "hanya" 2 persen atau sekitar Rp 2,2 triliun. "Dari jumlah ini kemudian dibagi dengan seluruh pemerintah daerah yang berjumlah 38," katanya.
Baca Juga: Tarif Cukai Naik, Pengusaha Rokok di Pamekasan Menjerit
Direktur Gudang Garam Istata Taswin Sidharta menilai isu kenaikan cukai oleh pemerintah pusat belum mempengaruhi industri rokok. "Kami yakin pemerintah akan bijak memperhitungkan seberapa besar kenaikan cukai yang ideal," ucapnya pada saat jumpa pers dalam acara Investor Summit dan Capital Market Expo di Surabaya, Kamis, 18 Agustus 2016.
Rencana kenaikan harga rokok dari Rp 20 ribu menjadi Rp 50 ribu per pak dirasa memberatkan industri. "Saya rasa akan berantakan."
Apalagi, dia meneruskan, volume penjualan rokok secara industri, ujar dia, cenderung menurun atau flat. Volume penjualan mereka turun sekitar 2 persen. Lalu volume penjualan untuk sigaret kretek mesin (SKM) full flavour turun sebesar 2,4 persen menjadi 28,9 miliar batang.
Baca Juga: Petugas Bandara Jeddah Sita 2 Karung Rokok Jemaah Haji Asal Surabaya
Di kategori SKM rendah tar dan nikotin (SKM LTN), volume penjualannya turun sebesar 1,6 persen menjadi 4,6 miliar batang. "Untuk volume penjualan SKT (sigaret kretek tangan) meningkat sebesar 1,9 persen menjadi 4,2 miliar batang," kata Istata.
Meski begitu, pendapatan Gudang Garam pada semester pertama 2016 meningkat 11,2 persen atau setara dengan Rp 37 triliun. Jumlah ini, tutur Istata, lebih besar dibanding pendapatan tahun lalu pada periode yang sama sebesar Rp 33,2 triliun.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) tengah mengkaji usulan kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat atau menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Unit Eselon I ini harus mempertimbangkan dari sisi aspek ekonomi apabila ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual rokok seharga tersebut.
Baca Juga: Polisi Ungkap Rumah Pengepakan Rokok Tanpa Pita Cukai Bernilai Ratusan Juta Rupiah di Sidoarjo
"Harga rokok jadi Rp 50 ribu per bungkus adalah salah satu referensi yang dikomunikasikan," ujar Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi.
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja dari sisi kesehatan, tapi juga dari aspek ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.
"Jadi kita harus komunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang pro kesehatan maupun yang pro industri, petani karena pasti ada tarik ulur di situ. Kalau cuma dengarkan salah satunya, bisa bangkrut itu," jelas Heru.
Baca Juga: Pengusaha dan Buruh Sigaret di Pamekasan Tolak Kenaikan Pajak Rokok
Kenaikan harga rokok yang terlalu signifikan akan berdampak negatif bagi industri. Bahkan efek buruk lainnya, sambung dia, marak peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.
"Kalau dia (harga rokok) sudah lewat dari kurva optimum, pasti ada dampak negatifnya, yakni bisa mati (perusahaan) atau banyak rokok ilegal. Makanya kita harus cari titik optimum," terangnya.
Dirinya berharap, harga rokok di Indonesia dapat naik secara bertahap sesuai dengan peta jalan (roadmap) pemerintah sehingga tidak menimbulkan efek buruk yang berakibat pada kerugian ekonomi.
Baca Juga: Dana Bagi Hasil Cukai Rp 19,1 Miliar di Gresik untuk Biayai Sejumlah Kegiatan OPD
"Sesuai roadmap, lama-lama pro kesehatan dengan kenaikan rokok secara bertahap. Kalau naiknya 2,5 kali lipat di sekarang ini dampak negatifnya terlalu besar, komunitas dan perekonomian yang nanti akan merugi," tegas Heru. (trb/yah/mer/tic/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News