PALEMBANG, BANGSAONLINE.com - KH Ahmad Hasyim Muzadi melakukan silaturahim dengan para ulama pengasuh pondok pesantren dan Gubernur Sumatera Selatan H Alex Noerdin dalam acara Pelantikan Muslimat NU Wilayah Sumatera Selatab serta Laskar Anti Narkoba Muslimat NU Sumatera Selatan, Minggu, 21 Agustus 2016.
Kiai Hasyim Muzadi yang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu didaulat untuk memberi taushiyah oleh Muslimat NU. Dalam taushiyahnya, Kiai Hasyim Muzadi menegaskan bahwa pesantren dan para ulama adalah pemilik sah Nahdlatul Ulama (NU).
Baca Juga: Khofifah dan Eri Cahyadi Kompak Hadiri Ta’dzim Maulid Nabi Muhammad SAW di GBT
”Oleh karenanya, pesantren dan ulamanya-lah yang paling berkepentingan untuk menyelamatkan dan mengembangkan Nahdlatul Ulama,” kata Kiai Hasyim Muzadi.
Menurut dia, NU harus kembali ke khittah NU 1926 yang diputuskan tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur. ”Apabila khittah NU 1926 ditinggalkan, maka NU akan disusupi oleh multi ideologi yang mengakibatkan NU tidak bisa tegak sebagai organisasi sunni, dan pengembangannya akan berjalan tanpa arah dalam konteks liberalisasi pemikiran agama dan pragmatisasi kepentingan,” tegasnya.
”Secara nasional, apabila kita meninggalkan khittah akan mengalami kesulitan untuk silaturahim dengan ormas Islam yang lain, apalagi menjadi pemuka ormas-ormas Islam yang lain. Juga pengaruh NU pada eksponen dan komponen nasional akan menjadi semakin rendah. Hal ini berpengaruh kepada eksistensi dan reputasi NU di dunia internasional,” tambahnya.
Baca Juga: Khofifah Disambut Pekikan 'Lanjutkan' saat Berangkatkan Peserta Jalan Sehat Hari Santri di Madiun
Ia menegaskan, saat ini Pancasila mulai redup karena belum sepenuhnya didukung oleh konstitusi dan aturan perundangan serta kebijakan teknis penyelenggaraan negara. ”Secara ideologis Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah merupakan pilar pokok tegaknya Pancasila. Itu ditinjau dari hubungan syar'i antara agama dan negara. Kalau NU sendiri disusupi multi ideologi, maka penegakan Pancasila pun akan terganggu,” katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Jawa Timur dan Depok Jawa Barat itu meyakini jika khittah NU ditinggalkan, maka keluhuran, keagungan, serta penghormatan pihak lain terhadap NU akan menjadi pudar. ”Berganti dengan pragmatisme yang harganya semakin hari akan semakin murah,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar NU tidak menjadi bagian dari partai politik. ”Sebab wujud NU akan menjadi lebih kecil dari partai politik,” tegasnya sembari menegaskan bahwa kasus ini pernah terjadi semenjak tahun 1973-1984, dimana NU menjadi bagian dari PPP.
Baca Juga: Khofifah Kembali Dinobatkan sebagai 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2025
”Ketika itu NU hanya bicara tentang
DPR dan DPRD dalam suasana saling pertikaian, sehingga tugas-tugas amanat besar
dari para pendiri NU menjadi terbengkalai,” katanya.
Menurut dia, pemisahan NU dari partai politik bukan berarti kita menghalangi
para kader NU untuk berpolitik. Pemisahan tersebut, kata dia, adalah pemisahan
struktural, sedangkan secara strategis suatu ketika bisa bertemu dalam kepentingan
perjuangan.
Ia menekankan bahwa NU harus berpolitik keumatan dan kebangsaan. Dengan demikian NU akan melampaui jangkauan sebuah partai politik karena NU berbicara tentang umat, bangsa, dan negara secara utuh. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News