SURABAYA (BangsaOnline) – Warga Dolly bakal melaporkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo kepada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) terkait adanya berbagai dugaan isu SARA yang menyudutkan warga lokalisasi Dolly dan Jarak.
Hingga memasuki H-7 atau seminggu dari Jadwal penutupan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, janji gubernur maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim melakukan mediasi antara warga lokalisasi dengan Pemkot Surabaya belum terwujud.
Baca Juga: One Voice SMPN 1 Surabaya Raih Juara Dua Kategori Bergengsi di SWCF 2024
Terlebih, adanya berbagai isu berbau SARA kian menyudutkan warga di sekitar lokalisasi. ''Kita membaca akan ada konflik sosial yang terjadi di wilayah lokalisasi. Itu karena isu SARA yang dihembuskan oleh pemerintah sudah termakan oleh publik. Kita khawatir, hal ini menimbulkan konflik sosial yang meluas,'' cetus Annisa Ketua Tim Advokasi Perempuan dan Anak Lokalisasi Dolly dan Jarak Surabaya, Rabu (11/6/2014).
Annisa menerangkan konflik sosial yang sudah termakan oleh masyarakat luas di luar wilayah lokalisasi justru kian memantik persoalan. Selama ini, ditambahkan Annisa, terkait isu berbau SARA, tidak pernah mempan terjadi. Namun, jika hal ini tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah maka berpengaruh terhadap kondisi persiapan penutupan.
Padahal, program penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak memang 'eksekutor' utama dari Pemkot Surabaya. Namun, tidak menampik fakta yang terjadi program penutupan prositusi sendiri digagas oleh Gurbernur Jatim Soekarwo. Sayangnya, upaya mediasi yang dijanjikan untuk mempertemukan antara wali kota dengan warga okalisasi tidak pernah terjadi. ''Belum. Belum ada. Oleh karena itu kami juga menjadikan poin tersebut sebagai bahan laporan ke Komnas Ham,'' tutur Annisa.
Baca Juga: SWCF 2024 Jadi Ajang Kenalkan Seni dan Budaya Surabaya ke Kancah Internasional
Di sisi lain, belum adanya titik temu dalam ruang diskusi tersebut disorot politisi asal PDI-P, Sukadar. Caleg jadi dari Dapil wilayah Kecamatan Sawahan Surabaya ini menyayangkan sikap Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Terutama kebijakan mengenai mediasi untuk mencari solusi terkait rencana penutupan.
''Kalau ngomong program memang menjadi program pemkot. Memang sudah menjadi domain wali kota. Tapi jika kebijakan itu tidak mendengar aspirasi sekitar wilayah lokalisasi, itu jelas mengecewakan,'' tutur Sukadar.
Seharusnya, ditambahkan dia sebelum melakukan penutupan setidaknya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mau mendengar dan bertemu dengan warga di dua lokalisasi tersebut. Sehingga, apa yang menjadi fakta dan kondisi di lapangan diketahui pasti.
Baca Juga: Pemkot Surabaya Raih UHC Award 2024, Anggarkan Rp500 Miliar per Tahun untuk Warga Berobat Gratis
Sebelumnya, upaya mediasi yang dilakukan Komisi D DPRD Surabaya antara Pemkot dan Warga Lokalisasi gagal. Itu setelah warga membatalkan pertemuan, karena tidak dihadiri sebagian besar kepala SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang berkaitan dengan penutupan. Hanya Kepala Dinas Pariwisata, Wiwiek seorang yang ikut dalam pertemuan. Selebihnya diwakilkan dengan berbagai alasan saat diterima anggota dewan di ruang Banmus DPRD Surabaya, Selasa (10/6/2014) lalu.
Hal itu dinilai warga Pemkot Surabaya tidak serius dalam proses penutupan. Tak ada ruang mediasi, maupun diskusi. Namun, Tri Rismaharini optimistis penutupan sesuai jadwal tanpa ada penolakan.''Saya justru khawatir akan menimbulkan konfrontasi kalau sampai tidak ada titik temu,'' pungkas Sukadar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News