GRESIK, BANGSAONLINE.com - Sabtu 15 Oktober lalu menjadi hari apes bagi 44 orang yang mengaku sebagai keturunan dari leluhur pemilik kebun sengon, desa Ngadirenggo RT 01 RW 15 Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar. Mereka digiring ke Mapolres Blitar saat mencoba menanami lahan tersebut.
Penangkapan dilakukan atas laporan Suparto (71) warga Dusun Popoh RT 02/RW 01 Kecamatan Selopuro Kabupatena Blitar. Pelapor yakni pimpinan di PT. Dewi Sri Perkebunan Sengon yang memegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) nomor 13 yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berlaku hingga tahun 2036.
Baca Juga: Melalui DBHCHT, Petani di Blitar Kini Miliki Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Lewat Program Aji Tani
Kapolres Blitar AKBP Slamet Waloya mengatakan, dua warga dinyatakan sebagai provokator, di mana satu diantaranya yakni Slamet Daroini (55) warga dusun Sumberarum, desa Tegalsari, RT 01 RW 10 kecamatan Wlingi. Ia dinyatakan tersangka berdasarkan penyidikan yang diperkuat dengan beberapa barang bukti dan satu orang sebagai saksi.
Sedangkan 42 petani lainnya diberikan pasal tipiring dan akhirnya diperbolehkan untuk pulang setelah dimintai keterangan tak kurang dari 12 jam di Mapolres Blitar.
"Satu orang kami tetapkan sebagai tersangka karena telah memprovokasi warga untuk melakukan perbuatan melanggar hukum, sedangkan satu lagi kami periksa sebagai saksi, dan sisanya hanya dimintai keterangan," ungkap Kapolres Blitar, Minggu (16/10).
Baca Juga: Panen Padi Inbrida, Bupati Blitar Dorong Peran Petani Milenial
PT Dewi Sri selama ini menanam karet, kopi dan cengkeh. Dalam laporannya dinyatakan bahwa selama ini terdapat sekelompok orang warga dekat kebun dipimpin tersangka yang berusaha menguasai kebun tersebut.
Puncaknya pada hari Selasa (11/10) sekitar pukul 09.00 WIB di rumah Slamet Daroini sebanyak kurang lebih 50 petani dikumpulkan untuk diajak menanami lahan milik PT. Dewi Sri Perkebunan Sengon dengan tanaman palawija.
Baca Juga: Gas Mesin Diesel Tewaskan Bapak dan Anak di Blitar
Sementara berdasarkan keterangan warga yang diamankan di Mapolres Blitar, ternyata rata-rata dari mereka bukan penduduk asli sekitar perkebunan. Ada sebagian yang berasal dari Gandusari, Doko, Kota Batu, dan juga warga Kabupaten Malang. "Rata-rata memang bukan warga sekitar perkebunan," imbuh Kapolres.
Sementara Trianto penggiat reforma Agraria Blitar mengecam aksi penangkapan terhadap 44 petani yang dilakukan Polres Blitar. Menurutnya seharusnya polisi menjadi mediator antara warga dan pemilik HGU dalam mencari kesepakatan bersama. "Seharusnya negara hadir sebagai mediator, tidak hanya langsung ditangkapi seperti itu, " pungkasnya. (tri/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News