Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Wa-idzaa baddalnaa aayatan makaana aayatin waallaahu a’lamu bimaa yunazzilu qaaluu innamaa anta muftarin bal aktsaruhum laa ya’lamuuna (101). Qul nazzalahu ruuhu alqudusi min rabbika bialhaqqi liyutsabbita alladziina aamanuu wahudan wabusyraa lilmuslimiina (102).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat sebelumnya bertutur soal syetan yang tidak mampu mempengaruhi orang beriman, tapi mampu mengendalikan orang kafir, fasik dan pemaksiat. Kini disambung dengan penuturan lebih menukik dan menyentuh keadaan jiwa. Ternyata, wong kafir yang sangat gelisah terhadap setiap ayat al-qur'an yang turun. Lalu mereka salah tingkah, gugup karepe dewe, nervous dan berlebihan. Sekali lagi baca terjemahan ayat studi di atas (102).
Nampak, mereka menyikapi ayat al-Qur'an yang turun itu dengan mendustakan dan menista. Mereka mengatakan: "Ah, itu mah bikinan Muhammad sendiri. Muhammad memang pengibul dan suka bikin-bikin..." (Qalu innama anta muftar). So, dalam hal apakah hingga wong kafir segelisah itu?
Ayat 101 adalah jawabannya. Yakni ketika ayat al-Qur'an turun dengan pesan baru sebagai penyempurna (mukammilah) atau penguat (mu'akkidah) atau - bahkan - mengganti pesan lama (nasikhah). Al-Syafi'iy cenderung ayat ini sebagai dasar naskh, yaitu merevisi pesan lama dan diganti dengan pesan baru, sedangkan beberapa ulama memahami sebagai penyempurna pesan lama (Mukammilah).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Diriwayatkan, bahwa ayat tersebut terkait dengan back up Allah SWT terhadap Nabi Muhammad SAW agar lebih tegas menampakkan keislamannya. Orang kafir sangat gelisah ketika ayat perintah perang turun. Tidak hanya wong kafir, orang munafik juga demikian. Mereka takut kehilangan jabatannya, kekuasaannya, hartanya, kepuasan nafsu duniawinya, karena hanya itu yang mereka dambakan. (Muhammad:20).
Beda dengan orang beriman dan bertaqwa, tujuan utama hidup adalah Allah SWT sehingga menempatkan Allah SWT, Kitab suci al-Qur'an dan Rasul-Nya sungguh di atas segala-gaalanya termasuk NKRI sekalipun, apalagi sekedar demokrasi. Bagi orang beriman, jiwa dan raga adalah ciptaan-Nya, maka wajar kembali kepada-Nya.
Makanya, orang beriman sangat siap membela agama, bahkan menginginkan kematian di jalan Allah SWT, syahid dan itulah kematian terindah. Inilah ukuran orang beriman sungguhan. Itulah komitmen setiap kali orang beriman mendengar ada musibah menimpa. " Inna lillah, wa inna ilaih raji'un". Sangat nikmat bisa kembali ke pangkuan Allah berselimut ridha-Nya.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Tidak hanya wong kafir, wong munafik bahkan para pendeta Yahudi dan Nasrani juga demikian. Mereka sangat takut terbongkar kebusukannya, lalu kehilangan mata pencahariaannya. Sudah menjadi fakta sejarah, para pendeta dulu itu menjual firman Tuhan demi uang dan kehidupan duniawi mereka. Apalagi tidak ada yang mengerti isi kitab al-Injil selain pendetanya. Akibatnya, mereka bebas dan leluasa memilihkan ayat suci mana yang pasaran dan bernilai komersial.
Sikap begini ini banyak di negeri ini. Politikus dan bermulut lonyot dan berjiwa penjilat akan siap hijrah ke mana saja, ke partai apa saja, ke penguasa model apa saja. Pokoknya yang menguntungkan yang dibela mati-matian. Zaman Golkar kuasa, jadilah wong Golkar. Zaman pak SBY berkuasa, jadilah pembela pak SBY, zaman pak Jokowi kuasa, zaman Ahok .. dst. Begitulah Hak Asasi, begitulah demokrasi, bebas meski tanpai nilai. Islam...?
Muslim sangat berkarakter dan sangat berprinsip. Allah, al-Qur'an, Rasulullah adalah harga mati meski - andai - diusir dari NKRI. Apa artinya hidup di dalam NKRI jika keagamaan, keimanan, ketaqwaan ternistakan. Kebajikan beragama, bertaqwa dijamin Tuhan dengan surga-Nya nanti. Sementara tidak ada yang bisa menjamin, negeri ini akan tetap utuh seperti wilayah sekarang. Timor Timor adalah buktinya. Sebagai umat islam, sungguh merasa wajib membela NKRI atas dasar agama.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Kami adalah anak manusia yang dilahirkan dari rahim negeri ini. Kami makan dari hasil bumi negeri ini. Kami minum air dari tanah air ini. Negeri ini adalah sajadah yang terbentang untuk kami bersujud. Maka kami siap mempersembahkan jiwa dan raga demi bisa bersujud di negeri ini. Lain lagi jika sujud kami diganggu. Kucing saja bergerak reflek dan mencakar kala ekornya terinjak.
Imam al-Syafi'ie, ketika al-qur'an direndahkan dan agama dinistakan berucap tajam dan pedas sekali. Ucapan kasar yang mengkritik umat islam yang tidak islami, yang budeg dan tidak berbuat apa-apa. Katanya: "Man ustughdhib wa lam yaghdlab fawuh himar". Barang siapa yang seharusnya marah - karena agama -, kok tidak marah, maka sejatinya dia itu keledai.
Terlalu berlebihan bila presiden atau siapa saja yang mendorong-dorong aksi 411 sebagai pemecah belah kesatuan dan persatuan, mengancam NKRI. Mikirlah yang proporsional, bernalarlah secara benar. Demo itu sebatas menuntut keadilan atas agama yang dinista. Dan, nyatanya kalau tidak didemo macam itu, pemerintah ya "budeg-budeg" saja. Demonstran itu tidak punya senjata kuat, tidak ada wilayah yang mau disempal keluar NKRI, jangankan dana, nasi bungkusan saja sedekah rakyat yang peduli.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Nasib umat islam yang islamnya sungguhan selalu dicap sebagai radikal, menodai demokrasi, memecahbelah persatuan, mengancam NKRI dll. Dan sikap nervous dan berlebihan itu nampak pada sikap Jokowi. Aktif safari militer pada saat beginian. Silakan alasan apapun, tapi rakyat juga berhak punya pembacaan lain. Yang jelas, sudah tidak zamannya lagi, rakyat ditakut-takuti dengan bedil.
Lihat, sebelum aksi 411, Jokowi merangkul tokoh NU dan Muhammadiyah untuk bareng menghadapi. Sementara dia sendiri lari menjauh. Apa pantas presiden bersikap begini? Anak kecil saja tidak ada yang lari dari tanggung jawab, kalau dia jadi terhukum saat main petak umpet, sportif dan melaksanakan tugas. Bukankah sikap itu berpotensi mengadu domba antar umat islam?.
Beda sekali, ketika ada tragedi pembakaran masjid di Papua. Penggede mereka diterima di istana dan makan-makan. Dengan enteng dinyatakan, bahwa masjid itu "terbakar". Umat islam itu santun, lalu diam dan menerima. Kembali ke sikap presiden, bukankah sikap macam ini menyakitkan perasan sebagian umat islam? Bukankah itu sikap pilih kasih? Bapak yang baik adalah bapak yang bisa merangkul anak-anaknya meski senakal apapun.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Ketika aksi 411 selesai, Jokowi mendatangi kantor NU dan Muhammadiyah untuk memberikan apresiasi dan mengucapkan terima kasih atas jasa mereka dalam mendamaikan umat demo. Lalu tokoh-tokoh itu manthuk-manthuk bangga. Tolong dipikir, tolong disadari, tolong dirasa, tolong bersikap jujur: apa benar mereka terjun ke lapangan mendamaikan demonstran, sehingga demo berjalan damai?
Oke, katakan saja mereka berperan. Tapi bagi penulis, damainya aksi 411 kemarin sungguh lebih karena kesantunan, karena didikan para korlapnya yang amanah dan tingginya al-akhlaq al-karimah mereka, bukan karena peran tokoh NU dan Muhammadiyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News