JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) tidak banyak memaparkan tentang sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat memberikan sambutan dalam puncak Peringatan Wafatnya (Haul) ke-7 Gus Dur, Sabtu (7/1) malam. Adik kandung Gus Dur ini lebih mengingatkan tentang kondisi bangsa yang perlu diperhatikan.
Sebab, bagi Gus Solah, sudah ada para pembicara yang akan mengulas lebih jauh tentang Gus Dur dalam kesempatan tersebut.
Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat
“Izinkan saya tidak bicara langsung mengenai Gus Dur, tapi saya ingin berbicara tentang yang saat ini terjadi di bangsa ini, yang kesannya mempertentangkan Islam dengan Indonesia,” ujar Gus Solah usai menyampaikan terimakasih kepada yang membantu terselenggaranya agenda tersebut saat memberikan sambutan.
Kemudian ia memaparkan gagasan dan upaya yang dilakukan pendiri bangsa dalam mempertemukan Islam dengan Indonesia. Di antaranya, berdirinya Kementerian Agama pada bulan Januari tahun 1946. “Di sini tentunya kiai-kiai berperan aktif. Itu juga tentunya atas persetujuan KH Hasyim Asy’ari,” katanya.
Lebih lanjut Gus Solah memaparkan, pada tahun 1960, KH Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari) sebagai menteri Agama menetapkan dasar-dasar kepercayaan agama. Bahkan, beberapa bulan menjabat Menteri Agama, KH Wahid Hasyim yang juga Bapak dari Gus Solah dan Gus Dur itu mengambil kebijakan memadukan antara pendidikan islam dengan pendidikan nasional melalui MoU (memorandum of understanding) bersama menteri pendidikan.
Baca Juga: Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
“Yang pertama memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah. Yang kedua mendirikan madrasah,” sebutnya.
Lantas, Gus Solah menyatakan, penyebutan dwi tunggal untuk Soekarno-Wahid Hasyim karena sebagai simbol bersatunya nasionalisme dan keislaman tidak tepat. “Menurut saya sebenarnya lebih tepat (dwi tunggal, red) Soekarno-Hasyim Asy’ari. Karena semua kebijakan Mbah Wahid Hasyim didasarkan pada persetujuan Mbah Hasyim Asy’ari,” bebernya.
Menurutnya, juga tidak salah jika Tebuireng disebut pusat pergerakan memadukan Islam dan Indonesia karena tokoh kunci penggagasnya berasal dari pondok tersebut. “Oleh karena itu, tidak berlebihan menurut saya kalau disebutkan bahwa Tebuireng adalah pusat dari pergerakan untuk memadukan Islam dan Indonesia,” terangnya.
Baca Juga: Silaturahmi ke Keluarga Pendiri NU, Mundjidah-Sumrambah Minta Restu
Terkait persoalan-persoalan agama dan nasionalisme yang saat ini masih terjadi di Indonesia, Gus Solah mengajak agar segera diatasi.
“Sekarang ini gonjang-ganjing, kalau dibiarkan tidak ada langkah untuk mengatasinya akan membesar dan mengancam persatuan Indonesia. Saya melihat keadaan semacam ini, kemarin mengajak civitas akademika Unhasy dan Pesantren Tebuireng untuk melakukan kajian-kajian yang menyeluruh. Mudah-mudahan pada bulan Januari ini menemukan hasil bagaimana kita menanggapi yang sekarang terjadi. Paling tidak kita tentunya menyadarkan pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan kita. Dengan cara yang baik tentunya,” tandas Gus Solah.
Selain tuan rumah Gus Solah dan Ny Faridah Salahuddin Wahid, sejumlah tamu juga hadir dalam kesempatan tersebut. Diantaranya, Anregurutta KH Sanusi Baco, mantan Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan yang juga teman akrab Gus Dur selama belajar di Universitas Al-Azhar. Kemudian mantan Duta Besar RI untuk Lebanon, Abdullah Syarwani dan Cendekiawan Muslim Habib Chirzin. Tampak juga Wakil Bupati Jombang Mundjidah Wahab. (rom/rev)
Baca Juga: Persiapan Konferwil NU Jatim Capai 100 Persen, Pembukaan Siap Digelar Malam ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News