PELANTIKAN kembali Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meski sudah berstatus terdakwa kasus penistaan agama menuai banyak kecaman. Mereka beranggapan, bagaimana mungkin seorang terdakwa menjadi gubernur.
Dikutip dari Republika.co.id, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memberikan penjelasan terkait tidak dinonaktifkannya Ahok dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, meski telah berstatus terdakwa kepada Komisi II DPR RI. Tjahjo menegaskan, pelantikan kembali Ahok sebagai gubernur sudah berdasarkan pertimbangan hukum.
Baca Juga: Bahas Percepatan RDTR Bersama Mendagri, Menteri ATR/BPN: Mudahkan Iklim Investasi
Tjahjo menjelaskan, untuk kasus Ahok yang sudah menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama terdapat dua pasal dakwaan berbeda yang keduanya merupakan pasal alternatif. Masing-masing pasal memiliki ancaman hukuman berbeda yakni paling lama empat tahun dan lima tahun.
"Saya walaupun bukan pakar, tapi saya paham subsider atau juncto, tapi ini alternatif 4 dan 5 tahun ancamannya, kalau misal saya putuskan berhentikan sementara, kalau jaksa penuntut umum nanti (pakai) 4 tahun, habis saya," jelasnya dalam rapat dengan Komisi II DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Rabu (22/2).
Oleh karena itu, Tjahjo mengatakan dirinya perlu memastikan apakah ancaman hukuman yang dikenakan kepada Ahok memang memenuhi unsur sehingga ia perlu diberhentikan sementara yakni paling singkat lima tahun.
Baca Juga: RDP dengan DPR RI dan Mendagri, Pj Adhy Sebut Kesiapan Jatim Gelar Pilkada Serentak 2024
"Karenanya itu kami nunggu tuntutan jaksa terlebih dahulu," ujarnya.
Ia memahami, banyak pandangan berbeda maupun kritikan atas kebijakannya tersebut. Ia pun menghargai semua pandangan yang ia nilai tidak salah tersebut. Bahkan untuk menghindari multi tafsir juga ia telah meminta pandangan atau fatwa kepada MA terkait hal tersebut. Meski kemudian, MA menolak memberi pendapatnya mengingat kasus yang dimintai tanggapan tengah berproses di PTUN.
"Akhirnya Bapak Presiden memerintahkan ke saya, diskusikan ke teman-teman DPR, misalnya terdakwa titik. Karena implikasi, seorang terdakwa kan belum hukum tetap, kan terdakwa bisa bebas, kecuali kasus terkait KPK," jelasnya.
Baca Juga: Rakor Bersama Mendagri, Adhy Karyono Pastikan Inflasi di Jawa Timur Terkendali
Tjahjo kembali menegaskan, kebijakan tidak dinonaktifkan Ahok juga bukan karena alasan subyektif Pemerintah membela Ahok. Ia kembali menekankan, Kemendagri pun pernah menerapkan kebijakan tidak menonaktifkan kepala daerah meski telah terdakwa.
"Saya tidak membela si Ahok. Saya harus adil, ada juga gubernur yang terdakwa dan juga masih jadi gubernur," katanya.
Kemudian, terkait pertanyaan Anggota Komisi II DPR RI Yandri Susanto mengenai legitimasi kebijakan yang diambil pemimpin daerah yang berstatus terdakwa, Tjahjo enggan berkomentar banyak.
Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Kukuhkan 13 Pjs Bupati/Wali Kota dan Serahkan SK Perpanjangan untuk 8 Pj Bupati
"Nah seorang terdakwa mengambil keputusan, saya ditanya temen-temen pers apa salah DPRD DKI menolak rapat untuk ambil keputusan, saya nggak bisa komentar apa-apa dikaitkan dengan terdakwa, sah atau tidak pendapat hukumnya," ujarnya.
Selain itu, ia juga tidak mempersoalkan jika penjelasannya tersebut dinilai tidak cukup oleh Anggota DPR RI. Apalagi berkaitan, terus digulirkannya hak angket oleh sejumlah fraksi di DPR kepada Pemerintah terkait hal tersebut, yang ia nilai sebagai hak anggota DPR. Namun, menurutnya sebagai Mendagri siap bertanggungjawab penuh atas keputusannya tersebut.
"Saya juga mempertanggungjawabkan ini ke Presiden, tidak mungkin saya pembantu presiden menjerumuskan presiden. Saya mbemperi Pak Jokowi, bukan Ahok," ujarnya.
Baca Juga: Pesan Andriyanto saat Tak Lagi Jabat Pj Bupati Pasuruan
Ia pun menegaskan, persoalan tidak diberhentikan sementara Ahok tidak berkaitan dengan keputusan Presiden Jokowi.
"Pak jokowi tidak ada urusan dengan Ahok. Saya konsisten menunggu tahapan di pengadilan, kenapa selalu sasaran tembak Pak Jokowi, saya yang salah, kalau mau demo turunkan saya," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, menilai wajar sikap Mahkamah Agung yang tidak mengeluarkan fatwa soal pengaktifan kembali Basuki T Purnama alias Ahok. Menurutnya, MA tidak ingin dimasukan ke dalam pusaran konflik mengenai polemik pengangkatan Ahok meski berstatus terdakwa.
Baca Juga: Pj Wali Kota Kediri Sampaikan Arahan Mendagri saat Pelantikan Anggota DPRD Periode 2024-2029
''Saya kira dalam hal ini MA tidak mau dipojokkan atau di fait accompli untuk mengambil sikap,'' kata Fadli dilansir Republika.co.id.
Menurutnya, Ahok sudah layak diberhentikan. Sebab sikap ombudsman sudah jelas. Apalagi, sudah ada yurisprudensi pada kasus-kasus sebelumnya, yakni seorang kepala daerah sudah diberhentikan dengan tidak menunggu vonis yang berkekuatan hukum tetap.
''Lihat saja praktik praktiknya yang selama ini terjadi. Baru tersangka saja sudah ditahan bahkan diberhentikan. Yang dakwaannya di bawah lima tahun seperti empat tahun langsung diberhentikan sementara. Jadi jangan akal-akalanlah dengan hukum,'' ujarnya.
Baca Juga: Bupati Malang Terima Penghargaan dari Mendagri
Sebab kalau seseorang sudah terdakwa dan masih memimpin daerah tanpa kejelasan, kata dia, hal itu akan merusak tatanan di pemerintahan daerah. Fadli Zon mempertanyakan bagaimana seorang terdakwa kemudian diaktifkan lagi menjadi gubernur, sementara yang lain tidak.
''Ini kan tidak adil. Ketidakadilan ini dirasakan oleh sebagian masyarakat kita. Dan nyata-nyata dilakukan, sehingga akhirnya hukum sedang menjadi alat kekuasaan,'' ujarnya. (republika.co.id)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News