Indikasi Serangan Balik Kasus e-KTP Mulai Muncul, Dorongan Revisi UU KPK Menghangat Lagi

Indikasi Serangan Balik Kasus e-KTP Mulai Muncul, Dorongan Revisi UU KPK Menghangat Lagi Sejumlah poster berisi tuntutan dibawa peserta aksi Gerakan Sapu Koruptor e-KTP di area Car Free Day di kawasan MH Thamrin, Jakarta (19/3).

Pasca pembacaan dakwaan dua terdakwa korupsi e-KTP yang menyebut banyak politikus menerima duit panas, Komisi Pemberantasan Korupsi dikhawatirkan bakal semakin dilemahkan. Ini karena ada tiga kelompok berpengaruh yang disebut dalam dakwaan berpesta pora uang panas yaitu eksekutif, legislatif dan pengusaha.

"Mereka tidak akan tinggal diam merongrong KPK," kata peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, dikutip dari Tempo.co Minggu (19/3).

Baca Juga: Pemkot Kediri Ikuti Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi

Kasus yang diduga merugikan uang negara sekitar Rp 2,3 triliun itu melibatkan pegawai Kementerian Dalam Negeri, anggota dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pengusaha. Bahkan disebutkan nama satu per satu orang yang diduga menerima uang hasil korupsi selain dua terdakwa.

Hifdzil menyayangkan pihak yang mengembalikan uang hasil korupsi itu tidak disebut dalam dakwaan. Seharusnya, kata Hifdzil, KPK sekalian saja menyebutkan nama-nama yang mengembalikan uang itu.

Hifdzil menyatakan apresiasi kepada KPK. Namun, di sisi yang lain, akan ada ancaman bagi komisi antirasuah ini. Orang-orang yang disebut menerima uang berpotensi menjadi tersangka. Sangkalan mereka jika sudah menjadi tersangka di pengadilan bukanlah hal yang dikhawatirkan.

Baca Juga: Dialog NU Belanda: Politik Balik Modal Dorong Pelumpuhan KPK, Polisi Mirip Dwi Fungsi TNI

Namun, jika ancaman dilancarkan di luar lembaga peradilan maka akan sangat membahayakan kelangsungan pemberantasan korupsi. Apalagi jika serangan balik itu dilakukan dengan alasan menjalankan konstitusi lewat proses legislasi.

Indikasinya, kata dosen hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, dua bulan belakangan Badan Legislasi DPR berkeras mengadakan sosialisasi tentang rencana perubahan Undang-Undang KPK.

Alasannya adalah penguatan institusi dan kewenangan KPK. Diskusi-diskusi publik soal amandemen Undang-undang KPK dilakukan di beberapa universitas. Seperti di Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Nasional bahkan hingga di Universitas Gadjah Mada yang mempunyai Pukat.

Baca Juga: Politikus Rayap, Siapa Mereka?

"Susah meyakini niat Badan Legislasi mengamandemen Undang-Undang KPK untuk menguatkan. Sebab, poin yang ngotot ingin diubah terletak pada pengaturan ulang fungsi penindakan KPK," kata Hifdzil.

Niat mereka, kata Hifdzil, justru ingin melemahkan kewenangan lembaga antikorupsi ini. Contohnya, dalam draf perubahan Undang-Undang KPK, kewenangan penyadapan menjadi hal yang serius dipikirkan dan didiskusikan oleh Badan Legislasi.

Pada undang-undang yang berlaku saat ini, penyadapan KPK dilakukan tanpa melalui jalur administrasi pengadilan. Hasilnya, hampir 80 persen kasus korupsi yang ditangani selama ini berasal dan ditopang penyadapan telepon.

Baca Juga: Cincin Lord of the Ring dan KPK

"Dalam draf perubahan, penyadapan harus mengikuti pola administrasi pengadilan, ini yang ditakutkan. Dalam lingkup yang ideal penyadapan, karena dianggap masuk dalam privasi warga negara perlu mendapatkan izin ketua pengadilan negeri setempat," kata Hifdzil.

Dalam penanganan korupsi, syarat admisnistrasi penyadapan itu justru menjadi ganjalan. Sebab, dalam situasi saat ini, dunia peradilan belum sepenuhnya bersih, administrasi izin penyadapan melalui pengadilan akan sangat kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi.

Hifdzil mengatakan lembaga antikorupsi harus bebas dari kepentingan politik. Maka semua nama yang disebut dalam surat dakwaan yang berpotensi sebagai tersangka wajib diperiksa tanpa terkecuali. Selain itu, pembongkaran kasus e-KTP bukanlah yang antiklimaks.

Baca Juga: Aksi Turun Jalan Jilid 2, Ratusan Mahasiswa Tuntut Hentikan Tindakan Pelanggaran HAM

"Rakyat tidak bisa berpangku tangan menonton bagaimana serangan demi serangan akan memorak-porandakan KPK, harus bertindak. Karena pelemahan KPK menggunakan saluran konstitusional hak legislasi anggota DPR, masyarakat terdidik yang mendalami isu antikorupsi, juga bertarung melalui jalur legislasi. Kelompok masyarakat perlu membuat rancangan undang-undang alternatif untuk penguatan fungsi dan kewenangan KPK," kata dia.

Mahasiswa Dema Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada melakukan aksi unjuk rasa di Tugu Yogyakarta, Sabtu sore, 18 Maret 2017. Mereka menuntut KPK untuk mengusut tuntas korupsi e-KTP tanpa memandang siapa yang terlibat. Baik itu pejabat, politikus maupun orang yang berpengaruh di negeri ini.

"Kami seperti kehabisan kata-kata untuk mengatakan ulah pejabat korup," kata koordinator aksi Kuncoro Jati.

Baca Juga: Presiden Rakyat atau Presiden Partai?

Dalam aksinya, puluhan mahasiswa melakban mulut mereka sebagai ungkapan kehabisan kata. Para mahasiswa mendukung komisi antirasuah ini untuk mengungkap korupsi e-KTP hingga ke akar-akarnya. Tidak perlu takut dengan mereka yang mempunyai jabatan tinggi.

Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz mengatakan, DPR memiliki dua target dalam rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (revisi UU KPK).

Dilansir Kompas.com, Donal menilai, target jangka pendek dari rencana revisi UU KPK adalah memecah fokus perhatian KPK. Bila revisi berlanjut, KPK di satu sisi berupaya mempertahankan kewenangannya, sedangkan di sisi lain tetap mengungkap pidana korupsi.

Baca Juga: Ratusan Mahasiswa IAIN Madura Lakukan Aksi Damai Tuntut Dewan Tolak RUU KUHP dan UU KPK

"Ini menghasilkan target yang mereka inginkan sehingga KPK tidak lagi fokus tangani kasus e-KTP tapi fokus urusi revisi UU KPK. Ini target jangka pendek," kata Donal.

Menurut Donal, target jangka panjang adalah upaya pelemahan kewenangan KPK. Nantinya, KPK akan dikendalikan olek kekuatan politik, yang dapat terlihat dari rencana pembentukan Dewan Pengawas yang tertuang dalam draf revisi UU KPK. Dewan Pengawas itu nantinya dipilih oleh DPR.

"Cerita lama. Ingin KPK lemah, diamputasi kewenangan, ingin KPK bisa dikendalikan oleh kekuatan politik," ucap Donal.

Baca Juga: Mahasiswa Blitar Bersatu Demo Tuntut Penerbitan Perppu KPK

Donal mempertanyakan sikap Fahri yang meminta wartawan bertanya kepada Presiden Joko Widodo mengenai kelanjutan rencana revisi UU KPK.

Donal menyatakan, Jokowi memiliki sikap yang jelas karena pernah menolak untuk merevisi pada awal 2016 lalu.

"Justru mereka, DPR yang menggiring supaya Presiden setuju. Yang kasak-kusuk sekarang kan DPR. Badan Keahlian mutar ke mana-mana untuk dapat dukungan. Kok justru Fahri tanya ke Presiden, kan terbalik," ujar Donal.

Donal mengatakan, publik berharap Jokowi dapat dapat konsisten untuk kembali menolak rencana revisi tersebut.

Sosialisasi revisi UU KPK telah dilakukan di Universitas Andalas, Universitas Nasional, dan Universitas Sumatera Utara. Rencananya pada 23 Maret mendatang sosialisasi akan dilakukan di Universitas Gadjah Mada.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengakui sosialisasi dilakukan atas permintaan pimpinan DPR. Hal itu, kata dia, untuk menindaklanjuti kesepakatan Pemerintah dan DPR 2016 lalu bahwa perlu adanya sosialisasi untuk RUU KPK.

"Dulu rapat konsultasi pertengahan tahun lalu, Presiden sendiri yang menyarankan untuk adanya sosialisasi. Memang itu perlu ada masukan-masukan dari berbagai pihak," kata Fadli Zon seperti dilansir Tempo.co.

Kemarin, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menilai fenomena penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi saat ini sama dengan kejadian sekitar setahun lalu. Saat itu, kata Fahri, Presiden Joko Widodo sudah bersedia mengagendakan revisi undang-undang tersebut.

“Presiden mau, tapi ditekan para rektor lalu mundur,” kata Fahri seperti dilansir Tempo.co, Minggu (19/3). Menurut dia, Jokowi menjadi kunci revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut dapat berjalan.

Saat ini, Forum Rektor Indonesia juga menolak revisi UU Nomor 30 Tahun 2002. Padahal agenda revisi tersebut sedang disosialisasikan ke beberapa kampus oleh DPR.

Forum Rektor Indonesia meminta KPK meneruskan pemberantasan korupsi terutama yang sedang berjalan, salah satunya adalah korupsi pengadaan e-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik. Mereka juga menolak sosialisasi revisi UU KPK.

Terkait dengan revisi UU KPK, secara pribadi Fahri menyatakan sikapnya mengikuti Presiden Jokowi. Sebab, dia melanjutkan, revisi UU KPK tidak bisa dilakukan jika Jokowi tidak menginginkannya. "Sikap saya ikut Presiden karena kalau Presiden enggak mau ya enggak bisa."

Fahri mengatakan pihaknya merasa tak perlu lagi meyakinkan Jokowi ihwal revisi UU KPK. “Tidak perlu lagi, Presiden sudah paham,” ujar Fahri.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, membenarkan revisi UU KPK tidak mungkin terjadi apabila Presiden Joko Widodo tidak setuju. Menurut dia, sikap Presiden sejauh ini belum berubah, yaitu tidak akan merevisi UU KPK.

Menurut Febri, sejumlah kewenangan sudah diatur secara jelas. Perdebatan soal perlu tidaknya KPK memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah pemberhentian penyelidikan juga sudah dijawab melalui putusan Mahkamah Konstitusi.

KPK beralasan Undang-Undang KPK yang sekarang ada masih sangat dibutuhkan untuk menangani sejumlah kasus besar. Menurut Febri, KPK juga tidak ingin ada kesan seolah-olah ketika KPK menangani kasus besar, yang diduga melibatkan sejumlah tokoh politik dan birokrat, kemudian muncul keinginan revisi UU KPK.(tempo.co/kompas.com)

Sumber: tempo.co/kompas.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO