Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Walaa taquuluu limaa tashifu alsinatukumu alkadziba haadzaa halaalun wahaadzaa haraamun litaftaruu ‘alaa allaahi alkadziba inna alladziina yaftaruuna ‘alaa allaahi alkadziba laa yuflihuuna (116). Mataa’un qaliilun walahum ‘adzaabun aliimun (117).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dari ayat ini, kita tahu bahwa dalam tradisi kita terdapat ritual yang aneh-aneh atas nama budaya dan warisan leluhur. Di negeri ini banyak sekali kepercayaan macam itu. Semisal Bali, sungguh paling kaya acara macam ini, sehingga pemeluk agama di sana banyak sambat karena banyak biaya yang harus dikeluarkan. Termasuk Toraja, Jawa dan di tempat lain. Sebuah jurnal melaporkan, di daerah yang kaya seni dan budaya, wisata dan hiburan, ternyata Bali adalah daerah paling banyak orang gilanya yang dipasung dan dikucilkan.
Jika kita merujuk Al-Qur'an yang berdialog dengan budaya arab waktu itu seperti ditera ayat kaji ini (116), maka kita dihadapkan pada pemikiran, apakah kreasi orang tua dulu itu pasti benar?
Allah SWT telah memberikan jawaban tegas, jika semua itu mengada-ada, bukan aturan Allah. Artinya, banyak sekali karangan tetua adat dan para dukun mengatasnamakan Tuhan, sehingga punya kekuatan mengikat dan diyakini.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Lalu, lambang itu dimaknai sehingga terkesan luar biasa, mendalam, filosufis, sekaligus mengada-ada. Namanya pemaknaan, ya terserah siapa yang memaknai. Mau dipositif-positifkan, bisa. Mau diburukkan, juga bisa. Mau dianggap biasa, juga bisa. Bahkan tidak usah dimaknai juga bisa. Terserah apa kepentingannya.
Seperti tradisi para tetua adat dan dukun zaman jahiliah, sekadar unta melahirkan saja ada maknanya. Ya, karena sang dukun punya kepentingan. Makin banyak sesaji kepada Berhala, berarti makin banyak rejeki bagi para dukun. Semakin pandai memaknai, semakin sakral jadinya, makin diyakini dan makin menguntungkan. Barang siapa yang mengkritik pemaknaan ini, bisa diancam kualat dan terkutuk, atau dianggap bodoh dan tidak mengerti makna simbol.
Semacam tembang Ilir-ilir, bagi kanjeng Sunan itu tembang pangiling, agar manungso ndhang ngibadah, mumpung masih seger kuwarasan, walau berat-berat sedikit, tetaplah ngibadah. Tapi tidak begitu bagi seniman sekarang, semuanya dimaknai secara detail, bahkan kata per kata sesuai angan-angannya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Bisa jadi, pemaknaan sang seniman melampaui ide dasar sang pemilik tembang itu sendiri. Per kata menjadi bahan elaborasi, menjadi judul manggung dan pentas, mengalahkan pola tafsir kitab suci. Semua itu sah sebagai kreasi, meski othak-athik mathuk. Dan, jangan sekali-sekali dikritik, karena anda akan dicap sebagai orang yang tidak faham filosufi ukoro Jowo.
Wali dulu, seni hanyalah piranti dakwah dan tidak lebih. Begitu materi sudah masuk, seni segera ditinggalkan. Meski pernah ndalang, tapi bukan dalang. Meski pernah menggubah tembang, tapi bukan musisi. Makanya, tetap berjuluk Wali, kanjeng Sunan, bukan seniman, bukan pula budayawan. Maksudnya, kewaliannya lebih dominan ketimbang ilmu medianya.
Tidak sama dengan seniman sekarang, tembang gubahan wali dulu menjadi mata pencaharian atas nama dakwah via seni. Ya, halal-halal saja. Gaya hidup seniman sekarang beraroma selebritas dan aktivitasnya lebih pada profesi. Makanya, pentas terus dan terus mengemas pementasannya sedemikian kreatif demi kelangsungan hidup. Mudah-mudahan seni tetap sebagai media dan bukan tujuan. Berbahagialah mereka yang memanfaatkan seni sebagai media ibadah dan celakalah mereka yang menjadikan seni sebagai media maksiat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News