SURABAYA (bangsaonline) - Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengatakan, dua kendala menjadi penghambat pengusutan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kategori berat. Kendala utamanya adalah problem nonlegal.
"Ada problem nonlegal menjadi kendala besar pengusutan pelanggaran HAM berat. Ini meliputi rasa takut dan lain sebagainya," kata Suparman saat membedah buku karyanya, 'Politik Hukum Hak Asasi Manusia', di Universitas Dr Soetomo Surabaya, Selasa (15/7).
Baca Juga: Bedah Buku KH Hasyim Asyari: Pemersatu Umat Islam Indonesia, Khofifah: Dahysat Secara Substansi
Dia menjelaskan, pelanggaran HAM berat sulit diusut karena dilakukan oleh pemegang policy (kebijakan) dan umumnya dilakukan oleh alat keamanan negara. "Biasanya oleh tentara," ujarnya. "Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain seperti Argentina dan Chile," imbuhnya.
Parman menyinggung kerja Komnas HAM saat mengusut dugaan pelanggaran HAM di peristiwa berdarah 1965 dan peristiwa Petrus (penembakan misterius). Banyak tekanan diterima komisioner Komnas HAM saat itu.
"Pelakunya sama. Ada indikasi pelanggaran HAM saat Petrus terjadi. Banyak preman yang ditembak saat itu bukan preman. Korban ditembak hanya karena bertato," tandasnya.
Baca Juga: Dosen Sosiologi UTM Bedah Buku Potret Perjuangan Ulama Bassra Madura
Sementara itu, mantan Komisioner Komnas HAM Hesti Armiwulan menjelaskan, penegakan HAM begitu sulit karena tiga hal. Yakni persoalan struktur, substansi hukum dan kesadaran masyarakat. "Pertama harus dilihat, apakah struktur kelembagaan hukum sudah beres belum," ujarnya.
Yang kedua adalah substansi hukum. Dan ketiga adalah soal kesadaran masyarakat atas hukum. "Bagaimana penegakan hukum dan HAM bisa ditegakkan jika kesadaran masyarakat masih lemah," tegas Hesti. "Ini kewajiban pemerintah menyadarkan masyarakat," tambah dosen Universitas Surabaya itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News