Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Inna ibraahiima kaana ummatan qaanitan lillaahi haniifan walam yaku mina almusyrikiina (120).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Setelah Allah SWT membicarakan perilaku orang-orang Yahudi yang keterlaluan dalam hal keberagamaan, seperti: dalam teologi menganggap Uzair adalah anak lelaki Tuhan, seperti halnya orang-orang Nasrani yang menganggap Isa anak lelaki Maryam sebagai anak lelaki Tuhan, dalam hal makanan mereka juga mengharamkan makanan tertentu seperti orang-orang arab jahiliah, kini Allah SWT mengangkat sosok Ibarahim A.S. sebagai "ummah" yang sangat patuh kepada Allah (ummah qanita), eksis dalam agama (hanifa) dan tidak terindikasi musyrik (wa lam yaku min al-musyrikin).
Pada ayat ini nampak sekali, bahwa sosok nabi Ibrahim A.S. yang pribadi, satu orang dibahasakan dengan kata "ummah" (umat) yang lazim dipakai untuk kelompok umat manusia. Dengan demikian, dalam al-Qur'an setidaknya ada tiga makna kata "ummah". Pertama, sebagai kelompok dan ini paling umum, beberapa ayat menyebutkan demikian, seperti Ali Imran:110 dll.
Kedua, bermakna saat masa tertentu , periode atau era, seperti pada Yusuf: 45, “wa iddakar ba'da ummah (baru ingat setelah satu ummat, satu waktu tertentu)”. Ya, karena satu generasi (umat) itu sama dengan satu kurun waktu. Atau aksi pelaku sejarah itu ada dalam durasi waktu tertentu. Jadi, penyebutannya bisa pakai komunitas pelakunya, atau pakai kurun waktu di mana mereka hidup.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ketiga, pada ayat ini. Sudah jelas Ibrahim A.S. itu sosok pribadi, kok disebut sebagai ummat. Hal itu antara lain, karena:
Pertama, kelengkapan nabi Ibrahim A.S. sebagai sosok muslim yang sangat totalitas patuh kepada agama, syari'ah yang telah digariskan Allah SWT. Diuji seberat apapun, hingga disuruh menyembelih anak kesayangan sendiri satu-satunya, maka patuh begitu saja tanpa tanya, tanpa ragu apa-apa, karena Tuhan yang memerintah.
Kepatuhan seorang Ibrahim pribadi kepada Tuhan jika dibandingkan dengan kepatuhan kebanyakan manusia, maka jauh lebih unggul Ibrahim berlipat-lipat dan hanya Allah sendiri yang mengerti kelipatan tersebut. Dengan demikian, keimanan seorang Ibrahim sama dengan keimanan orang banyak, bahkan melampaui. Maka dari sisi kualitas teologis inilah, Ibarahim layak disebut komunitas atau umat.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Seperti penghormatan kita kepada seseorang yang punya kelebihan, kiai kharismatik, presiden atau raja, maka nilai seorang presiden lebih utama daripada wong sekampung dalam hal kualitas, penghormatan, servis dan lain-lain. Orang sekampung menghadiri lokasi pengajian, mereka datang sendiri-sendiri tanpa pengawalan. Tapi hanya seorang presiden yang datang, maka sejak beberapa hari sudah dipersiapkan. Bahkan, jalan yang akan dilewati presiden-pun diperbaiki.
Kedua, sebagai sosok yang lengkap, Ibrahim layak diteladani. Umat beriman dituntut mencontoh Ibrahim karena pada dirinya terdapat panutan kebajikan (uswah hasanah). Meskipun para nabi adalah panutan baik, tapi hanya dua nabi yang namanya ditera dalam al-Qur'an sebagai uswah hasanah, yakni Rasulullah Muhammad SAW (al-Ahzab:21) dan Ibrahim A.S. (al-Mumtahanah:4).
Dalam mensifati Ibrahim, ayat ini memunculkan tiga sifat: sebagai sosok yang patuh (ummah qanita), sebagai pribadi yang lurus berprinsip (hanif) dan sebagai pribadi religious yang tak terindikasikan kesyirikan sama sekali. Dan Ibrahim lulus dari semua itu.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Di sini, tidak apa penonjolan sifat akademik, seperti pinter, cerdas, punya pengetahuan luas dan sebagainya. Hal itu bukan berarti Ibrahim bodoh, melainkan sifat intelektual tersebut telah dibungkus dengan keagamaan secara sempurna, sehingga agamanya mampu mengontrol dan mengerahkan keilmuannya. Ini yang terpenting dan sulit. Banyak orang pinter tapi ilmunya liar dan tidak dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan.
Ayat ini menasihati umat islam agar tidak meniru para pendeta Yahudi ataupun nasrani yang suka menjual ayat-ayat Allah, ditukar dengan duniawi dan kepentingan. Sosok Ibrahim dihadirkan sebagai pengingat, sekaligus contoh terbaik. Dan, ternyata banyak orang alim, pinter agama, bergelar akademik tinggi, tapi fatwanya bertendensi sesuai pesanan. Bisa jadi fatwa itu benar, punya dasar, punya dalil, tapi tidak bermanfaat bagi umat Islam. Dengan fatwa itu, justru musuh-musuh Allah SWT semakin runyam dan berani. Biasanya, mereka lemah iman, sehingga mudah tergoda oleh keduniawian. Itulah, maka sosok Ibrahim dihadirkan sebagai sosok yang bersih dari akhlaq para pendeta musyrik yang hobi menjual ayat-ayat suci demi kepentingan duniawi. "walam yaku mina almusyrikiina ".
Meskipun Ibrahim dituduh ada indikasi syirik karena dulu pernah melakukan fit and propper test pada calon Tuhan, yakni planet Bintang yang dinobatkan menjadi Tuhan, tapi digugurkan sendiri. Lalu Bulan, juga demikian, lalu Matahari, juga mengalami nasib yang sama. Ya, tapi itu sudah lewat. Itu proses dan bukan final. Finalnya adalah memilih agama hanif, lapang tanpa belok barang sedikit. Akhir kata, Ibrahim dinobatkan sebagai Nabi yang Hanif.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News