Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Syaakiran li-an’umihi ijtabaahu wahadaahu ilaa shiraathin mustaqiimin (121). Waaataynaahu fii alddunyaa hasanatan wa-innahu fii al-aakhirati lamina alshshaalihiina (122).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Pada tafsir ayat sebelumnya sudah disebutkan, bahwa Ibrahim A.S., meski seorang diri, secara dinilai sama dengan nilai banyak orang. Ini karena Ibrahim memiliki sifat baik yang komprehensif yang ada pada semua manusia. Maka wajar, Ibrahim A.S. berjuluk bapak umat Islam. "..Millah abikum Ibrahim" (al-Hajj:78).
Dua ayat studi di atas membicarakan kelebihan-kelebihan Ibrahim sebagai breakdown dari sifat universal yang ditera oleh ayat sebelumnya. Pertama, Ibrahim sebagai pribadi yang sangat pandai bersyukur, "Syaakiran li-an’umihi". Kedua, Ibrahim adalah pribadi pilihan Allah, "ijtbah". Ketiga, Ibharim adalah pribadi yang diberi hidayah khusus, "wahadaahu ilaa shiraathin mustaqiimin". Keempat, di dunia dikaruniai kebajikan, "Waaataynaahu fii alddunyaa hasanatan" dan kelima, di akhirat termasuk komunitas orang-orang shalih, "wa-innahu fii al-aakhirati lamina alshshaalihiina".
Tidak diragukan lagi, tingginya derajat nabi Ibrahim A.S. di hadapan Allah SWT. Keimanannya begitu totalitas tanpa ada catatan apa-apa. Pokoknya perintah Allah, pasti dipatuhi, dilakukan secara penuh, tanpa ragu, tanpa pikir, apapun risikonya. Mana ada, seorang bapak yang lama tidak puya anak, lalu dikaruniai anak laki-laki, satu-satunya, ya gagah, ya ganteng, ya shalih, tiba-tiba disuruh menyembelih dan langsung dikerjakan?. Hanya Ibrahim yang diuji seberat itu.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Selain keimanan, salah satu sifat Ibrahim yang mendapat pujian Tuhan adalah kedermaannya, sifat sosialnya yang mengagumkan. Apa saja yang ada di tangannya tidak langsung dinikmati, melainkan ditawarkan kepada siapa yang sangat lebih membuhtuhkan. Hanya ada tamu dari jauh yang mampir sebentar, Ibrahim langsung ke belakang memotong anak sapi, cepat dimasak panggang sebagai hidangan makan siang.
Dalam dialog, Allah SWT pernah bertanya: "Lima ittakhadztuka khalila?". Hai Ibrahim, tahukah kamu, atas dasar apa Aku menunjuk kamu sebagai kekasih-Ku?. Ibrahim menjawab: " Allah a'lam". Allah menjelaskan: "Li ann al-atha' ahabb ilaik min al-akhdzi. Karena pribadi dermamu yang mengagumkan. Kamu lebih senang memberi ketimbang diberi.
Ibrahim, ketika diberi disyukuri, artinya, diberikan lagi kepada orang lain yang mebih membutuhkan. Lalu Tuhan memberinya lagi dan lebih. Oleh Ibrahim, diberikan lagi kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Lalu Tuhan memberinyal agi dan lagi. Jadi, orang mukmin itu seharusnya bersedekah terus hingga kaya, bukan menunggu kaya, baru sedekah. Tidak ada ceritanya orang suka bersedekah jatuh miskin. Orang beriman itu seharusnya tekun dan rajin beribadah hingga tua dan seterusnya, bukan menunggu tua dulu, baru tekun beribadah. Karena tidak ada jaminan bisa mati tua.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Konon, dalam gelar penobatan pangkat, Ibrahim A.S. berjuluk al-Mujtaba, seperti pada ayat studi ini, sedangkan nabi Muhammad SAW berjuluk "al-Mustahafa". Ada perbedaan makna antara keduanya. Al-Mujtaba (ijtaba, yajtabi) lebih pada sikap kesabaran, keuletan dan tangguh. Sedangkan al-Mushthafa (ishthafa, yashthafi) pada sikap ridla, rela, senang, puas.
Sama-sama diuji dan sama-sama lulus ujian, tapi saat menjalani ujian tersebut, al-mujtaba menempuhnya dengan sikap gigih dan penuh kekuatan. Sedangkan al-Mushthafa menempuhnya dengan cara senang hati. Pribadi mushtahafa tidak merasa apa yang dijalani sebagai beban, melainkan sebagai hadiah, sebagai hiburan yang menyenangkan.
Kata "shafa" yang artinya bersih, bening, jernih, kata "mishfah" artinya saringan, alat menyaring. Dua makna itu mengilustrasikan bahwa benda lembut itu lolos secara otomatis tanpa hambatan. Seperti benda kecil yang lolos disaring. Air sari buah yang masih bercampur ampas, lalu disaring dan airnya lolos dengan lancar. Itulah gambaran al-Mushthafa. Hasilnya disebut pilihan, maka benar al-Mushtafa diartikan "orang yang dipilih".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News