Tafsir Al-Nahl 123: Dilarang Melestarikan Budaya Buruk

Tafsir Al-Nahl 123: Dilarang Melestarikan Budaya Buruk Budaya primitif di Bostwana, Afrika. foto: ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Tsumma awhaynaa ilayka ani ittabi’ millata ibraahiima haniifan wamaa kaana mina almusyrikiina (123).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Pelajaran keempat dari ayat studi di atas (123) adalah perlunya melestarikan budaya yang sudah sesuai dengan syari'ah agama. Budaya Ibrahim dijamin benar oleh Allah SWT, maka benar kita diperintahkan mengikuti. Perintah tersebut adalah wahyu (tsumma awhaynaa ilayka) yang mesti benar dan mesti dipatuhi. Bahwa segala lelampah Ibrahim A.S. itu juga wahyu dan sama sekali tidak terindikasi kemusyrikan sedikit pun. "wamaa kaana mina almusyrikiina".

Itu artinya, umat Islam diwajibkan tetap menjaga tradisi Islami dan melestarikan budaya yang sesuai dengan syari'ah Islam. Sedangkan budaya yang kosong tanpa warna agama, maka diwarnai dengan Islam. Sementara budaya yang bertentangan dengan Islam, wajib diubah secara bijak, dengan memperhatikan kerifan lokal dan selanjutnya bersih dan hilang.

Di sini, benar-benar harus ada kerja yang sungguhan dan rencana yang matang, bukan dibiarkan dan berjalan bebas. Acap kali seorang beriman merasa dirinya sebagai "rahmatan lil alamin" yang bijak dan santun dengan sekadar diam dan membiarkan kemaksiatan terjadi di depan matanya tanpa sentuhan apa-apa. Itu bukan rahmah, melainkan dungu dan lemah iman.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Dalam sebuah diskusi, seorang budayawan serius sekali membela pelestarian budaya dengan sekian alasan yang arahnya sebagai warisan leluhur. Leluhur, diposisikan kayak dewa, kayak Tuhan, Dzat yang mesti benar, sehingga budaya karangan leluhur wajib dijaga. Padahal, budaya tak lebih dari ciptaan orang, di mana, yang namanya orang itu nyandhang luput lan nyandhang salah. Apalagi leluhur dulu itu masik jahiliah dan belum mengenal Islam.

Budayawan itu mengomentari filosufis makna yang tersirat dalam simbol, termasuk pada koteka dan rumbai, pakaian adat suku Asmat Papua. Jika diperhatikan, cewek Papua yang pakai rumbai itu ya hanya rumbai saja menutup vagina dan daerah pinggul tanpa pakai celana dalam. Hingga sekarang, sebagaian remaja putri yang pakai rumbai dalam acara atau pesta-pesta juga tanpa pakai celana dalam.

Giliran penulis memaparkan pandangan Islam terhadap budaya, penulis katakan, bahwa islam itu mencerahkan, mengentas umat manusia dari lembah primitif dan terbelakang menjadi manusia berperadaban dan berpendidikan. Bagi islam, manusia harus berilmu untuk mengelola dunia makin produktif dan manfaat. Maka tidak boleh ada saudara kita terpuruk dalam keprimitifan yang berkepanjangan, sementara umat manusia di belahan dunia sana sudah sangat moderen dan rekreasi ke Bulan.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Di tengah-tengah adu argumen yang cukup hangat, penulis balik tanya: “Andai yang pakai koteka, andai yang pakai rumbai, lalu dibuat tontonan para turis itu ayahmu sendiri, ibumu sendiri, bagaimana perasaan bapak? tega?”. Ruangan mendadak hening dan perlahan diskusi diakhiri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO