Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Tsumma awhaynaa ilayka ani ittabi’ millata ibraahiima haniifan wamaa kaana mina almusyrikiina (123).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Jika ayat sebelumnya menunjuk Ibrahim sebagai nabi al-Mujtaba (terpilih), ayat tersebut juga menunjuk Ibrahim itu pandai mensyukuri nikmat Tuhan. Kiprah syukur Ibrahim sangat universal, tidak sekedar kepada sesama manusia, bahkan sesama makhluq lain yang tak terlihat.
Ibrahim yang terkenal sering memotong kambing atau sapi muda, ternyata sisa daging termakan yang masih melekat pada tulang sengaja dihidangkan kepada para Jin di sekitar padang pasir yang memang itu makanan kesukaan mereka. Makin sering memotong ternak untuk konsumsi, berarti makin sering memberi makan Jin. Apa itu berarti makin disukai oleh para Jin? Belum tentu.
Itu persoalan berbeda, Jin yang pengertian, shalih, tepo seliro sungguh susah dijumpai. Meski keseharian mendapat asupan gizi dari Ibrahim, tapi saat Ibrahim diuji oleh Allah meneymebelih anaknya, Jin jahat atau Syetan datang mengganggu. Tidak hanya itu, ketika Ibrahim berhasil meloloskan diri setelah menghancurkan patung-patung sesembahan, ternyata Iblis yang memberi tahu polisi istana, bahwa Ibrahim pelakunya. Lalu dihukum, dibakar.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Selamat dari bara api, semestinya bisa saja Ibrahim bertindak beringas, membunuh raja dan menghancurakan istana, tapi begitu yang dilakukan. Ibrahim menunjukkan jati dirinya sebagai orang yang super shalih, "wa innahu fi al-akhirah lamin al-shalihin" dengan tetap santun, tapi tegas. Prinsipnya hanif dan muslim. "hanifa muslima", tanpa kompromi sama sekali terhadap kesyirikan.
Perilaku hanifa muslima, santun dan lebih mengedepankan toleransi inilah yang nyata-nyata ada pada perilaku umat Islam negeri ini. Betapa anugerah Allah SWT yang telah menjadikan negeri ini dengan penduduk mayoritas beragama Islam yang hanifa muslima. Dan itu terbukti pada beberapa kasus seperti terjadi pada hari-hari ini, kondisi seputar pemilihan gubernur DKI Jakarta. Lihatlah:
Pertama, untung sekali penyidik senior KPK yang disiram air keras itu seorang muslim yang baru keluar dari masjid usai melaksanakan ibadah shalat shubuh berjamaah. Maka komentar-komentar di media biasa saja, sebentar dan lenyap, polisi pun biasa saja, kriminal biasa, sedang dilakukan ini dan itu, dll.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Coba bayangkan, andai yang disiram itu seorang penyidik nonmuslim yang baru keluar dari gereja usai peribadatan. Waw, rasanya komentar miring dan pedas bakalan langsung dialamatkan kepada kawan-kawan muslim berjubah, sebagai radikal, intoleransi, tidak menghormati keberagaman, merusak kerukunan antar umat beragama, membahayakan NKRI dan lain-lain.
Tidak hanya itu, sangat mungkin ada sweeping terhadap setiap orang berjenggot yang melintasi gereja. Bisa jadi, Banser pun akan segera turun menjaga gereja. Tidak hanya itu, mungkin juga Ansor tidak mau ketinggalan, akan ambil bagian dan segera mengadakan bahsul masail. Bahkan Densus 88 akan menetapkan sebagai teroris dan dll. Lha wong bom panci ecek-ecek saja, beritanya sudah heboh kayak perang lawan ISIS.
Kedua, untung yang direndahkan, dihina sebagai tikus kotor itu seorang Gubernur beragama islam, berjuluk tuan guru, doktor tafsir dan hafidh al-qur'an. Lalu memaaf dan memaklumi. Tidak pula memperkarakan dengan menodai nama baik, tidak pula mengerahkan massa dan keadaan cepat kembali normal setelah bergejolak sebentar.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Bayangkan, andai yang dihina itu gubernur nonmuslim. Tidak saja HAM, polisi, media yang turun, media luar negeri-pun berlama-lama mengutuk dan mencemooh. Kita tahu ada baju kotak-kotak yang sesungguhnya melakukan kriminal, tapi ya berlalu begitu saja.
Ketiga, untung yang melakukan demo membawa bahan pembakaran, alias lilin dan dilakukan malam hari hingga hampir tengah malam itu mereka berseragam merah dan berbaju kotak-kotak. Lalu polisi membiarkan dan penguasa juga diam dengan alasan aksi solidaritas, bukan demo, meski malam hari dan melanggar aturan.
Sementara umat islam dengan baju putih, berjubah melalakukan shalat jum'ah secara massal di masjid dan di jalan raya hanya membawa sorban dan sajadah disikapi dengan begitu tegas, bersenjata dan siap tempur. Semua aparat keamanan dikerahkan seperti mau perang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Jika penguasa, utamanya polisi negeri ini ditanya: mana yang lebih berpotensi membahayakan? demo siang hari dengan membawa sajadah dan kain sorban, atau demo malam hari dengan membawa api dan lilin?
Kenapa demo malam hari meski membawa api dan lilin yang sewaktu-waktu bisa membakar apa saja dianggap sebagai aksi solidaritas, sedangkan berjamaah shalat jumah dianggap demo yang bisa mengancam NKRI, intoleransi dan lain-lain?
Tak usah dijawab, karena hati nurani rakyat negeri ini tak bisa dibohongi. Terucapkan atau tidak, sesungguhnya umat Islam sudah merasakan adanya sinyal-sinyal ketidakadilan pemerintah sekarang yang dirasa bertindak sangat diskriminasi. Kayaknya, siapapun yang melawan komunitas baju kotak-kotak, akan diperkarakan sejadi-jadinya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News