Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Innamaa ju’ila alssabtu ‘alaa alladziina ikhtalafuu fiihi wa-inna rabbaka layahkumu baynahum yawma alqiyaamati fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuuna (124).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Sebelumnya telah dijelaskan soal kelebihan nabi Ibrahim A.S., termasuk perilaku kaum Bani Israel yang hobi bawel dan mengada-ada. Seperti layaknya umat beragama, Bani Israel memilih sendiri hari agung untuk peribadatan, yakni hari Sabtu. Karena banyak persoalan di hari Sabtu ini terkait kebandelan mereka, maka hari Sabtu paling banyak disebut dalam al-Qur'an.
Enam kali disebut sebagai nama hari. Satu kali disebut dengan bentuk kata kerja, di mana mereka melakukan aktifitas pada hari itu "Yawm la yasbitun" (al-A'raf: 163) dan dua kali disebut dengan makna "rehat" yang ter-cover dalam kata "subata". Jadi, aslinya makna "sabtu" itu hari istirahat, rehat dan bersantai. Ketika kita sedang tidur, itulah suasana subata, "waja'alna naumakum subata" (al-Naba': 9).
Ayat kaji ini megangkat kembali soal hari Sabtu yang disindir sebagai hari yang berat bagi kaum Yahudi yang bersengketa. Sengketa dalam arti antara mematuhi perintah Tuhan dan mengingkarinya. Mereka lebih mengedepankan adu mulut ketimbang patuh dan menjalankan syariah agama.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Soal hari sakral pada setiap agama, Alkisah menyebutkan, bahwa dulu, Allah SWT menginstruksikan kepada pemeluk agama Yahudi agar memilih satu hari dalam satu minggu sebagai hari "id", hari raya, hari besar keagamaan, di mana pada hari itu umat harus mengkhususkan diri murni beribadah, tidak boleh ada aktivitas maupun bisnis lain.
Sebagai utusan Tuhan, nabi Musa A.S. memilihkan untuk mereka hari Jum'ah, bahkan dijelaskan tentang keutamaan hari jum’ah dengan keterangan panjang lebar. Dasar bani Israel bawel, mereka mendebat sekena-kenanya dan mengajukan hari Sabtu. Alasan terdepan mereka adalah hari Sabtu adalah hari terakhir Tuhan menyelesaikan tugas penciptaan yang sudah dirancang-Nya sendiri. Dengan menjadikan Sabtu sebagai hari raya agama, diharap mendapat kesempurnaan. Musa A.S., akhirnya mengalah dan disepakati.
Kebanyakan kaum Yahudi yang tingga di daerah Ayla berprofesi nelayan. Dengan aturan tersebut, semula patuh dan tidak ada yang melaut mencari ikan pada hari Sabtu. Tuhan menguji dengan banyaknya ikan melimpah hingga melober di pinggir pantai pada hari Sabtu. Begitu datang hari Ahad, ikan menghilang. Begitu berkali-kali terjadi. Lama-lama mereka tergoda dan melaut pada hari Sabtu. Ya, memang mendapat ikan banyak, tapi dikutuk menjadi monyet.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Era nabi Isa ibn Maryam A.S., instruksi sama, agar kaumnya memilih hari sakral untuk ibadah murni tanpa aktivitas bisnis. Nabi Isa A.S. menawarkan hari Jum'ah, sebagai hari raya keagamaan, namun mereka menolak dengan alasan elitis dan ketersinggungan, "Hai Isa, kami tidak bisa terima hari raya mereka (Yahudi) jatuh setelah hari raya kita".
Isa bertanya: "Maksud Lu?".
Kaum: "Kami lebih suka hari sakral itu jatuh sesudah hari raya mereka. Maka kami pilih hari Ahad".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Mereka melanjutkan alasan: " … bahwa hari Ahad adalah hari pertama, di mana pada hari itu Tuhan memulai melaksanakan tugas penciptaan. Dengan hari utama tersebut, harapan kita mendapat keutamaan dan keistimewaan".
Mendengar alasan tersebut, Isa ibn Maryam A.S. menyetujui dan jadilah hari Ahad sebagai hari raya keagamaan bagi umat kristiani, yang kemudian berubah nama menjadi hari Minggu, ikut bahasanya wong Portugis yang pernah menjajah di negeri ini.
Belakangan, dunia lebih menyikapi hari Minggu sebagai hari rekreasi, hari mengumbar nafsu ketimbang hari konsentrasi beribadah. Apalagi di kalangan kaum muda. Terma "ayo malam mingguan" konotasinya lebih kepada hura-hura dan maksiat, tidak mungkin bermakna ajakan i'tikaf di dalam gereja.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Tidak salah nabi Isa A.S. yang dulu menyetujui Ahad sebagai hari raya agama, tapi pembelotan ada pada perjalananya, utamanya di Eropa. Gejolak moderenisasi dan gaya hidup makin menuntut kepuasan nafsu, maka hari Minggu atau Sunday dijadikan hari mengumbar nafsu. Sebuah gerakan komunitas hedonik yang sengaja dan terang-terangan melawan hari sakral yang diyakini oleh para pemuka gereja.
Dengan demikian, pada hari Minggu, umat kristiani dihadapkan pada dua pilihan : antara malam mingguan, ke puncak, weekend, bersenang-senang atau ibadah ke gereja. Yang kami saksikan, mereka yang sudah tua-tua, para pendeta, sebagian memilih beribadah di gereja. Sedangkan yang masih muda-muda, apalagi yang ekskutif and macho, rupanya lebih banyak yang bersenang-senang.
Meskipun mereka melanggar hari Mingguan, tapi tidak dikutuk menjadi monyet kayak Yahudinya nabi Musa dulu. Hal itu, karena pelanggarannya terjadi setelah era nabi Muhammad SAW, di mana manusia sekarang, sedurhaka apapun tidak diazab langsung, melainkan dirahmati lebih dulu.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Itulah jasa terbesar beliau untuk dunia, itulah universalitas rahmat diutusnya nabi akhir zaman ini, sehingga pantas berjuluk "nabiyyur rahmah". Tebar kasihnya nondiskriminatif, lintas agama maupun etnis.
Datanglah era nabi Muhammad SAW yang kemudian memilih hari Jum'ah sebagai hari raya keagamaan dalam satu minggu. Nabinya yang menentukan, umatnya langsung patuh tanpa pengecualian. Jum'ah dinobatkan sayyid al-ayyam yang kaya fadlihah dan keistimewaan.
Gampangnya, penduduk dunia ini seputar tujuh miliar. Yang beragama islam sekitar 1.4 milyar. Kiranya bisa diskor dalam skala internasional. Mana yang terbanyak antara umat islam yang beribadah di hari juma'ah, alias jum'ahan dibanding umat kristiani yang beribadah di gereja?. Lebih jujur lagi, bila skoringnya pakai persentase, bukan pakai totalitas jumlah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Paparan ini untuk dijadikan bahan perenungan bagi para pemeluk agama, agama apapun. Siapa tahu Allah membukakan pintu hidayah, lalu mereka menerima islam sebagai agama. Makanya, jangan ada lagi yang mencerca Ahok.
Ahok sudah menemukan jawabannya. Dalam bulan suci Ramadhan ini, Ahok sedang dalam ruang perenungan yang hening. Ahok sedang berdialog dengan diri sendiri, dengan nuraninya sendiri, sehingga tidak ada kesulitan jika Tuhan Allah SWT hadir mendekapnya dalam kehangatan kasih dan sapaan sayang, lalu cahaya ilahi memancar menembus kalbunya, maka menjadilah dia seorang muslim yang sungguhan, setelah semasa kampanye dinobatkan oleh sebagian pengagumnya sebagai anak Tuhan yang sedang jahati para Iblis.
Kurang apa Umar ibn al-Khattab, pembenci Nabi papan atas. Bahkan tinggal selangkah saja mau membunuh Nabi. Toh pada akhirnya justru menjadi pengganti Nabi, pengemban amanat khilafah setelah Abu Bakr al-shiddiq yang kemudian menjadi orang pertama berjuluk Amir al-Mukminin. Hadana Allah wa iyyakum.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News