Tafsir Al-Nahl 124: Libur Hari Minggu, Bukti Toleransi Besar Umat Islam

Tafsir Al-Nahl 124: Libur Hari Minggu, Bukti Toleransi Besar Umat Islam

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Innamaa ju’ila alssabtu ‘alaa alladziina ikhtalafuu fiihi wa-inna rabbaka layahkumu baynahum yawma alqiyaamati fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuuna (124).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Pada ayat 124 kemarin telah dikemukakan historisitas hari raya keagamaan setiap minggu. Ada satu hari istimewa bagi masing-masing agama, di mana masing-masing pemeluk lebih menyikapinya secara khusus. Umat Yahudi, memilih Sabtu, umat Kristiani memilih hari Ahad atau Minggu dan Jum'ah adalah hari raya keagamaan bagi umat Islam.

Dalam literatur agama, umat Islam dituntut berperhatian lebih dengan meningkatkan amal ibadah di hari Jum'ah. Sampai persolan bepergian, kurang dianjurkan bepergian pada pagi hari Jum'ah. Hal demikian demi ibadah Jum'ah nanti bisa lebih khusyu' dan optimal.

Keutamaan-keutamaan pada hari Jum'ah juga ditawarkan begitu merayu dan terbuka, yang mana tujuannya adalah agar umat Islam sungguh konsentrasi pada hari raya agama itu tanpa ada gangguan dari aktivitas sehari-hari. Untuk itu, para kiai-kiai dulu meliburkan hari Jum'ah dari segala kegiatan, termasuk kegiatan belajar mengajar, mengaji kitab kuning dll. Sampai hari ini, mayoritas pondok pesantren libur aktivitas pada hari Jum'ah.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Semua tahu, bahwa negeri tercinta ini, NKRI ini lebih dominan didirikan oleh teriakan "Allahu Akbar" dan tumpahan darah umat Islam. Penjajah negeri ini selama 350 tahun adalah orang-orang Belanda yang notabenenya beragama kristen. Jadi, secara agama, - sekali lagi - secara agama, perusak negeri, penindas, pengeruk kekayaan negeri ini hingga habis-habisan adalah orang-orang beragama Kristen.

Sedangkan yang paling banyak berjuang memerdekakan negeri ini dari penjajah jahat tersebut adalah umat Islam Indonesia. Memang harus diakui ada darah pejuang kemerdekaan yang beragama Kristen, atau non-Islam lain, tapi sangat sedikit, sedikit sekali persentasenya. Silakan anda menyangkal, tapi tolong cek dulu batu nisan di makam pahlawan atau kuburan-kuburan kampung, lalu bandingkan mana paling banyak, kuburan mayit muslim atau nonmuslim.

Meskipun demikian, meski penduduk negeri ini mayoritas muslim, bahkan dulu mencapai 90 persen, tapi demi menghormati saudara sebangsa setanah air yang beragama kristen, para kiai, para pendiri negeri ini mengalah dengan menetapkan hari Minggu atau hari Ahad sebagai libur nasional tiap minggu. Meski ada alasan lain, tapi yang nyata adalah agar umat Kristiani bisa lebih leluasa menjalankan ibadah di gereja. Mereka bebas dari kewajiban beraktivitas demi ibadah Minggu.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Sesungguhnya tidak ada kesulitan jika umat Islam waktu itu, atau sekarang memaksa dan mengubah hari libur nasional adalah hari Jum'ah. itu wajar dan sangat cukup beralasan, karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan itulah keadilan dalam berdemokrasi, apalagi demokrasi proporsional. Nyatanya, semua itu tidak dilakukan oleh umat Islam demi, - sekali lagi - demi menghormati sedulur yang beragama Nasrani. Tapi, apakah lantas mereka menyadari toleransi besar yang diberikan umat Islam ini?

Lihat apa yang dilakukan oleh para orang-orang Islam, utamanya orang-orang pesantren. Tidak mau mengusik itu, melainkan mengamalkan libur hari Jum'ah untuk kalangan sendiri. Diamalkan di lembaga-lembaga dan di pesantren-pesantrennya sendiri. Meskipun demikian, jika pemerintah punya hari efektif yang mesti diikuti, seperti ujian negara yang jatuh pada hari Jum'ah, orang-orang pesantren tunduk dan mengaktifkan hari Jum'ah sebagai hari efektif, padahal biasanya adalah hari libur. Kurang mengalah seperti apa lagi umat Islam?

Bandingkan dengan umat kristen dan perkembangan gereja akhir-akhir ini. Jumlah gereja di seluruh negeri ini mencapai seputar 56.000, dengan skor perkembangan lebih cepat dibanding pertumbuhan masjid. Baru kali ini, baru era pemerintahan terjadi hal demikian.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Tidak hanya itu, satu saja gereja yang mendapatkan persoalan, misalnya soal izin pendirian atau ada insiden, seringan apapun, maka mereka cepat-cepat mempersoalkan dan mengangkatnya ke ranah internasional. Ya, karena mereka punya jaringan internasional yang hebat. Pokoknya mengangkat perkara ke internasional demi gereja mereka, tanpa menghiraukan apa kerugian negara akibat itu, tanpa mau tahu soal toleransi dan lain-lain.

Secara umum, 56.000 gereja di NKRI ini aman-aman saja dan sangat bagus. Tapi ada satu gereja Yasmin di wilayar Bogor yang perizinannya sedang mengalami masalah. Bukan ditolak, melainkan diupayakan digeser letaknya oleh pemerintah kota setempat karena berbagai pertimbangan. Apa ulah mereka, mereka mengangkat masalah gereja Yasmin ini ke forum internasional, mereka bicara di hadapan dunia. Padahal perizinan pendirian gereja itu bukan wilayah Tuhan, melainkan wilayah Wali Kota.

Kini tibalah saatnya kita menawarkan, bukan menagih, apalagi menuntut. Kiranya ada baiknya, atas dasar toleransi terhadap kehormatan mayoritas, maka HARI LIBUR NASIONAL ADALAH HARI JUM'AH, bukan Minggu. Kita lihat apa tanggapan umat Nasrani soal ini? Puluhan tahun umat Islam mengalah dan terus mengalah, toleran dan terus toleran, meskipun tidak dihargai.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Apesnya, jika ada sedikit masalah, kita dikutuk sebagai intoleran, merusak kerukunan antar umat beragama, mengancam NKRI dll. Jika yang mengutuk itu pejabat pemerintah, maka kita maklum. Tapi bila yang mengutuk itu justru sesama muslim, tokoh lagi, kiai lagi, maka kadang penulis berpikir, apa ya, yang ada dipikiran si tokoh itu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO