Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
"Ud’u ilaa sabiili rabbik". "Sabiil Rabbik" (jalan Tuhan). Ayat studi ini tidak menggunakan terma "ud'u ilaa Rabbik", tapi "ilaa sabiil rabbik". Perbedaannya, jika "ilaa Rabbik", maka orientasi dakwah langsung kepada Rabb, Dzat Allah SWT. Lebih tegas lagi, materi dakwah terfokus kepada ketuhanan Allah SWT. Sedangkan "ilaa sabiil rabbik", maka orientasi dakwah lebih disasar pada "sabiil", jalan, piranti, media, sarana, teknik, metode yang menghantarkan umat bisa menemukan Rabbnya. Sabil, juga berarti agama.
Pada konteks ini, juru dakwah bagai makelar yang mencari penumpang untuk angkutan umum: pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus di terminal dan lain-lain. Makelar terminal memberikan arahan, bahwa Bus ini jurusan kota ini. Hanya dengan menggiring agar penumpang benar dan tidak salah memilih Bus yang menghantar mereka ke tujuan yang dikehendaki.
Untuk itu, juru dakwah harus jujur dan menarik. Menggunakan bahasa yang indah, daya rayu yang memikat dan tampilan yang mempesona. Tidak hanya itu, servis-servis ekstra perlu sekali diberikan, seperti menjemput mereka, memandu dan membawakan barang bawaan, dengan cara elegan dan meyakinkan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Jika dengan memaksa dan merebut-rebut, justru malah menimbulkan curiga dan prasangka buruk terhadap sang makelar. Saat penumpang sudah duduk di dalam kendaraan, maka tinggal mengantarkan ke tujuan, yakni Rabb, Allah SWT. Juru dakwah itu kayak sales yang piawai merayu calon pembeli. Ya, tapi harus jujur. Juru dakwah juga jangan kalah dengan penjual madu. Tidak peduli komplek militer, masuk terus, hanya sekadar menawarkan madu.
Karena dakwah pada ayat studi ini berorientasi pada "sabiil", maka benar -selanjutnya- di-breakdown dengan memaparkan metodenya, yakni : al-hikmah, al-mau'idhah a-hasanah dan al-jidal al-ahsan.
Al-hikmah, lazimnya diartikan kebijakan, kearifan, bahkan al-Qur'an sendiri menyebut al-hikmah sebagai kebajikan maksimal atau al-khair al-katsir. Siapa dianugerahi al-Hikmah, maka sama halnya dianugerahi kebajikan berlimpah ruah (al-baqarah:269).
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Hikmah itu cara universal, tanpa ditentukan sifat maupun jenisnya. Pokoknya yang terbaik, terefektif dan mengena. Maka bisa saja berupa tutur kata atau tindakan. Tidak sama dengan dua teknik berikutnya yang sudah dipatok, yakni dengan bertutur kata: nasehat (mauidhah) maupun berdebat (jidal). Dakwah orasi ini disebut "al-dakwah bi al-maqal".
Dilihat dari komparasi dua teknik yang lain, rasanya dakwah bil al-hikmah lebih mengarah kepada perbuatan, termasuk kebijakan. Ilmuwan menyebutnya "al-dakwah bi al-hal". Bagi pejabat, dituntut memanfaatkan jabatannya untuk dakwah, untuk kemaslahatan islam dan kaum muslimin. Itulah cara menuju surga paling bagus bagi pejabat.
Satu keputusan penguasa yang memberi kebaikan bagi rakyat banyak adalah amal ibadah yang besar pahalanya. Itulah dakwah pejabat. Jangankan di akhirat nanti, di dunia sekarang bisa diunduh hasilnya. Sebuah kejibakan bermaslahah bagi rakyat akan memproduk simpati murni terhadap pejabat yang bersangkutan. Selanjutnya, dengan sukarela rakyat mesti menghendaki sang pemimpin kembali terpilih, meski tanpa uang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News