Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Contoh dakwah bi al-hal yang nyata dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah menikahi wanita-wanita kelas atas kota Makkah. Para istri nabi itu semuanya janda dan mewakili suku masing-masing. Kecuali A'isyah R.A., putri Abu Bakr al-Shiddiq. Orang paling top dan totalitas dalam membela dakwah.
Pernikahan dengan banyak wanita yang lintas suku ini sungguh punya hikmah, setidaknya ada tiga: Pertama, mempercepat sebaran dakwah islamiah ke pelbagai penjuru dan terbukti. Dalam jarak dekat, islam telah memasuki setiap kabilah besar jazirah Arab.
Kedua, lebih punya kekuatan, setidaknya bersifat lokal. Hal itu karena yang dinikahi Nabi adalah para putri bangsawan, tokoh dan orang terhormat. Dengan menggaet putrinya, maka bapaknya mati kutu. Setidaknya daya permusuhan atau kebencian terhadap Nabi terminimalisir. Mosok akan bermusuhan dengan menantu sendiri? Itu aib bagi masyarakat Makkah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Ya, karena Nabi sebagai suami yang mutlak menguasai istri, sekaligus dicintai istri. Tidak sama ketika Nabi ada pada pihak wanita, maka posisinya lebih lemah dan tidak banyak yang bisa diperbuat. Seperti terjadi saat Nabi saat era jahiliah dulu telah besanan dengan Abu Lahab yang notabenenya masih paman sendiri.
Dua putri Rasulullah SAW itu dinikahi oleh dua anak lelaki Abu Lahab. Ruqaiyah bint al-Rasul mendapat 'Utbah dan Umm Kultsum bint al-Rasul diperistri 'Utaibah. Ketika Rasulullah SAW gigih melancarkan dakwah islamiah yang dirasa mengganggu kepentingan Abu Lahab, maka keluarga Abu Lahab terusik dan marah-marah.
Yang paling biadab dan bengis memusuhi Nabi dan adalah Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Dia panggil kedua anak lelakinya yang menantu Nabi itu dan berkata keras: "Ra'sy bira'saikuma haram". Kepalaku haram bersentuhan dengan kepala kalian berdua". Artinya, Utabah dan Utaibah tidak diakui sebagai anak jika tetap memperistri putri Nabi. Harus dicerai.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Dasar anak mama, Utbah dan Utaibah mematuhi perintah ibunya dan keduanya menggelandang istri masing-masing menuju rumah Nabi Muhammad SAW. Di hadapan Nabi, keduanya mengembalikan istri masing-masing dengan kata-kata yang sangat kasar. Tidak hanya itu, bahkan mereka meludahi Nabi Muhammad SAW. Nabi hanya pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya kepada Allah SWT berserah diri.
Hikmah ketiga dari poligami Rasulullah SAW adalah untuk mempercepat tranformasi ilmu pengetahuan kepada para wanita. Dengan banyak istri yang cerdas, maka kesempatan bagi para wanita arab untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan lebih terbuka. Hal mana sebelumnya para wanita tak lebih dari sekadar pemuas nafsu laki-laki, sangat tertinggal, menjadi budak dan menjadi barang hadiah raja-raja.
Itulah, maka poligami Rasululah SAW yang terhitung sembilan wanita dalam satu kurun waktu disebut sebagai khususiyah dan tidak berlaku bagi umatnya. Umat islam dianugerahi kuota poligami empat wanita merdeka. Ya, karena islam kini sudah berkembang pesat, sehingga beban atas umatnya dikurangi. Tidak sama dengan era babat alas dulu, di mana Nabi dan era Nabi menjadi tumpan dan penentu. Selanjutnya, syariah islam berjalan biasa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Jika ada lelaki berpoligami lebih dari empat wanita dengan alasan mencontoh Nabi, itu pasti kebohongan besar. Seratus persen tidak sama, baik konteks, referensi maupun pola pikir. Sejatinya dia murni karena nafsu seksual, bukan sunnah. Memburu nafsu, berdalih sunnah. Allah a'lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News