Tafsir Al-Quran Aktual: Idul Fitri, Makna dan Dakwah

Tafsir Al-Quran Aktual: Idul Fitri, Makna dan Dakwah Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Ayat kaji kemarin (125) mengangkat soal tiga cara berdakwah, yakni: al-hikmah, al-mau'idhah al-hasanah dan mujadalah husna. Meski pemaknaan Idul Fitri dulu pernah dibahas, kini disempurnakan sebagai khazanah keilmuwan, sekaligus upaya memahamkan makna tersebut lebih luas.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dari fi'il madli: 'ada, ya'udu, 'aud. Artinya "kembali". Sedangkan kata "Id" dalam tradisi bahasa arab tidak dipakai sebagai masdar dari fi'il tersebut. Kata "id" adalah ideom khusus untuk membahasakan hari raya, hari berpesta pora, hari bersenang-senang. Sekali lagi, yang "kembali" itu bahasa arabnya " 'Aud " bukan "Id".

Makanya ada istilah "id mubarak" (perayaan berbarakah). Dan, al-Qur'an sendiri menggunakan kata "id" juga untuk makna "hari pesta". Bisa dilihat pada tuntutan mereka kepada nabi Isa A.S. agar ada makanan lezat turun dari langit yang kemudian akan dijadikan hidangan berpesta ('Id). "Takunu lana 'ida li awwalina wa akhirina" (al-Maidah:114).

Kata "fitr", fatara, yafturu, fitr untuk makna semua aktivitas pertama. Penciptaan awal disebut fitr, fitrah. Makan pertama hari itu, yang lazim kita namai sarapan pagi disebut "futur". Karena berbuka puasa itu makan pertama di hari itu, meskipun ada pada awal waktu malam, maka orang arab menyebutnya "iftar".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Tinjauan historis menunjuk, bahwa sebelum islam datang, wong arab jahiliah telah mempunyai dua hari raya yang dirayakan besar-besaran dengan berpesta pora dan hura-hura. Yaitu hari raya NAIRUZ dan MIHARJAN. Lalu Islam datang dan umumnya sahabat masih ikut berpesta ria pada dua hari raya tersebut, membaur seperti sedia kala.

Sungguh tidak ada larangan waktu itu. Tetapi beberapa sahabat yang keimanannya bagus dan ketaqwaannya terbangun mulai risih dan malu mengikuti pesta pora ala jahiliah. Satu sisi pingin bergabung dan berpesta, tapi sisi lain merasa kurang pantas. Fenomena ini ditangkap oleh Allah SWT, lalu ditunjuklah penggantinya, yaitu dua hari raya: IDUL FITRI dan IDUL ADHA yang dilengkapi dengan acara religi dan ibadah sesuai konteks masing-masing.

Begitu dua hari raya itu disyari'atkan, Rasulullah SAW berkomentar: "Qad abdalakum Allah khaira minhuma, Id al-fitri wa id al-nahri. Kini Allah SWT telah mengganti kalian dengan dua hari raya yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Id al-Nahri. Nahr adalah nama lain dari al-Adha atau Idul Qurban.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Jadi Idul Adha itu pesta makan besar, makan daging. Adha, Udhiyah bermakna "dzabihah", sembelihan. Maka pola pestanya berbeda. Idul Fitri sekedar pesta makan pagi, tanpa ditunjuk menu atau lauk pauk khusus, sedangkan Idul Adha ditunjuk menu dan lauknya, yaitu daging ternak, unta, sapi, kambing yang dijadikan hewan qurban.

Jadi, ditinjau dari perspektif kebahasaan, tradisi dan kesejarahan, maka "idul fitri" itu maknanya "HARI PESTA MAKAN", "HARI RAYA MAKAN PAGI". Disebut demikian karena selama sebulan penuh umat islam tidak diperkenankan makan pagi, harus menunggu sampai malam tiba. Nah, pada hari pertama bulan Syawal, di mana bulan Ramadhan telah lewat, maka disilakan berpesta makan.

Itulah sebabnya, maka agama melarang berpuasa pada hari pesta itu dan hukumnya haram. Pelanggarnya dianggap durhaka dan berdosa. Ulama' Fuqaha' meyebutnya sebagai "Yaum al-dliyafah", hari suguh tamu. Allah SWT pada hari itu menyuguhi hidangan untuk hamba-Nya yang sebulan penuh telah berpuasa Ramadhan. Seolah Tuhan berkata: "Wahai hamba-Ku tersayang, silakan nikmati hidangan yang telah Aku suguhkan".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Untuk itu, beberapa terma arab menyebut "yaum al-fitri, yaum yaftur al-nas". Hari fitri, hari orang-orang pada makan-makan, sungguh memperkuat makna tersebut. Makanya, fiqih melarang berpuasa.

Berpuasa pada hari Raya Idul Fitri bagaikan tamu yang tidak mengindakan tawaran tuan rumah yang telah mempersilakan agar hidangan, makanan, minuman segera dicicipi. Itu pasti tamu sombong dan congkak. Tuan rumah pasti tersinggung kecewa. Bisa dibayangkan, jika tuan rumahnya adalah Allah SWT yang Maha mulia. Saking pentingnya mencicipi suguhan Tuhan, maka disunahkan makan dulu, minum dulu meski sedikit sebelum keluar shalat 'id.

Ya, masih banyak ilmuwan yang memaknai "idul fitri" sebagai kembali ke fitrah, kesucian. Jika kata "Id" dipaksakan dengan makna "kembali", lalu "idul adha", maknanya kembali ke apa? Apa kembali menyembelih. Kapan ada larangan menyembelih hewan? Atau kapan orang arab tidak menyembelih hewan? Keseharian mereka terbiasa makan daging, meski tidak pesta. Lalu, terma "id mubarak", apa diartikan "kembali berbarakah"? Inilah kejanggalannya, jika idul fitri dimaknai kembali ke fitrah kesucian.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Itulah, maka perhatikan para khatib, para penceramah saat idul adha. Sama sekali tidak ada yang mengupas makna "idul adha" sebagai "kembali menyembelih". Ya, sebab janggal dan tidak cocok. Tapi kalau idul fitri, waw podo panjang lebar mengomentari: kembali ke fitrah, kembali ke kesucian dan seterusnya, lengkap analisis dan contoh.

Kini, mengapa ada pemaknaan bahwa "idul fitri" sebagai "kembali ke fitrah"? dan makna itu begitu umum dan dianggap benar.

Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan orang terjebak memaknai idul fitri sebagai kembali ke fitrah:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Pertama, al-Hadis yang menyatakan, bahwa siapa puasa Ramadhan atas dasar murni keimanan kepada Allah SWT, dia akan diampuni dosanya bersih, bagai bayi yang baru dilahirkan.

Kedua, kata fitrah sebagaimana dipakai al-Hadis untuk membahasakan kebersihan bayi yang baru lahir dianggap sama dengan kata "Fitri" yang ada pada ideom "Idul Fitri". Lalu, makna itu diilihan begitu saja. Jadilah fitri dimaknai sebagai fitrah.

Ketiga, soal kata "Id" diartikan "kembali", karena terpengaruh dua hal:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Pertama, kata "id" dikira masdar dari kata "'ada, ya'ud" yang artinya kembali. Maka dipukulrata, antara "id" dan "aud" sebagai makna sama, yakni "kembali". Padahal dalam urf isti'mal kebahasaan arab tidak sama.

Kedua, pilihan makna ini terdorong oleh emosi mengangkat kesucian bulan Ramadan dan hikmah ampunan dosa sebersih bayi baru lahir. Begitu Ramadhan selesai dan sambunglah satu Syawal, maka satu syawal itulah awal moment kebersihan, fitrah, setelah jiwa dicuci sebulan penuh. Jadinya satu syawal atau idul fitri dianggap hari kembali ke kesucian.

Semua makna tersebut, jika dilihat dari semangatnya untuk memacu ketaqwaan umat, untuk merangsang ibadah mereka sungguh bagus. Nah, di sinilah sisi dakwahnya dengan harapan umat islam serius berpuasa dengan baik. Untuk itu, meski melenceng dari kaedah kebahasaan arab, tapi ada hikmahnya. Jadi, sesungguhnya makna "kembali ke fitrah" tersebut adalah rana hikmah Ramadhan, rana fadlihah berpuasa, di mana Tuhan memberi reward kepada hamba-Nya yang patuh, bukan makna Idul Fitri itu sendiri menurut filologis maupun historis. 

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO