Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat studi (125) berbicara soal teknik berdakwah. Semua yang diragakan Rasulullah SAW adalah dakwah, termasuk berpoligami. Kebanyakan wanita membenci ini dan nonmuslim lekoh sekali mencaci poligami Nabi karena melebihi jatah umatnya. Meski begitu, sebagai amanah akademik tetap ditampilkan meski sekilas.
Ternyata, Muhammad muda (25) memperistri Khadijah binti Khuwailaid, janda dua kali (40). Tiada gadis yang tak kesengsem Muhammad, akibatnya, semua kecewa berat. Pernikahan itu memadukan dua pamor besar. Muhammad dari keluarga pemangku Kabah yang sangat disegani dan Khadijah dari keluarga konglomerat papan atas. Kuatlah strata sosial Muhammad, sehingga saat risalah diamanahkan sungguh cukup berposisi.
Meski dibenci, tak satu pun penjahat Makkah berani menjahati, paling banter menyatroni pengikutnya. Jiwa dan harta Khadijah totalitas dipersembahkan untuk dakwah suaminya dan setelah Khadijah meninggal, baru menikahi Saudah bint Zam'ah, janda tua berkulit hitam dengan banyak anak. Wanita penghijrah Habasyah ini ditinggal mati suaminya, sehingga lontang-lantung di Makkah karena keimanan. Lalu membangun keluarga bersama Aisyah bint Abi Bakr al-Shiddiq pada awal hijrah di Madinah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Preode Madinah adalah periode membangun negara dengan kelengkapan sekian perundangan dan syari'ah, meliputi berbagai masalah, terutama keagamaan dan hukum publik dan keluarga. Untuk itu, sejak awal-awal dibutuhkan istri yang super cerdas untuk menampung semua kisi-kisi wahyu, dan Aisyah-lah orangnya.
Setelah kiprah negara Madinah meluas dan dakwah harus menembus luar negeri, di mana tatanan adat dan kabilah masih fanatis dan primordial, barulah menikahi beberapa janda dari berbagai suku. Hafshah putri Umar ibn al-Khattab. Jagoan ini menjadi mertua Nabi, maka pastilah mati-matian membela agama menantunya.
Zainab binti Khuzaimah ibn al-Harits, aktivis wanita dan pekerja soaial ternama, punya panti asuhan anak yatim dan para jompo sangat banyak sehingga dijuluki "umm al-masakin", ibu orang-orang miskin.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Umm Habibah, Ramlah binti Abi Sufyan, tokoh kafir Makkah yang paling jahat memusuhi Nabi. Ternyata kecolongan, sang putri tersayang menyerah di pelukan Nabi. Mau tak mau Abu Sufyan harus menurunkan tensi kebenciannya kepada sang menantu. Umm Salamah, Hindun binti Mughirah al-Makhzumi, politikus wanita cukup piawai, sehingga ide-idenya banyak dipakai Nabi dalam menghadapi gejolak lawan.
Shafiyah binti Huyai ibn al-Akhtab yang dinikahi pada tahun tujuh hijriah. Dia kerkebangsaan Yahudi mindid. Keluarganya adalah penganut kitab al-Taurah yang sangat kuat. Dengan pernikahan ini, Yahudi Khaibar sedikit melunak dan mulai menghormat.
Dialah Juwairiyah binti al-Harits ibn Abi Dhirar, dinikahi setelah perang Muraisi' melawan suku raksasa Bani Musthaliq. Perang yang berat dan banyak kaum muslimin ditawan. Begitu mendengar "ratu" mereka sebagai tawanan dan dinikahi Nabi, mereka melepas semua tawanan muslim tanpa syarat. Hal itu karena bangga dan merasa sebagai mertua Rasulullah. "Kini kami sebagai mertua Rasulullah SAW", dan seterusnya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Banyaknya wanita yang memeluk agam islam dan rata-rata pengetahuan mereka sangat tertinggal karena alam jahiliah yang telah lama mencekam, maka nabi mulai mencetak guru-guru wanita lebih dahulu. Agar cepat berhasil, maka menikahi mereka adalah satu-satunya cara yang paling efektif dan efisien. Bagaimana bisa memberi pelajaran syariah tentang hukum keluarga, sementara persoalan rumah tangga sangat tertutup dan tabu.
Dengan menjadi pendamping Nabi, maka segala gerak dan wejangan Nabi bisa banyak diperoleh dan disimpan, lalu difatwakan, utamannya kepada kaum wanita. Sangat terbatas sekali pertemuan ilmiah antara Nabi dengan para wanita. Wahyu lebih banyak diterimakan kepada para sahabat sekitar, sementara syari'ah internal keluarga cocoknya langsung kepada para istri.
Dan itu terbukti, beberapa persoalan agama terkait teologi perempuan, maka para istri beliau-lah sebagai muftinya, terutama Aisyah binti Abi Bakr, yang muda, yang cendikia. Begitu halnya sepeninggal Nabi, maka persoalan pelik terkait tempat tidur, kamar mandi dan meja makan, para sahabat laki-laki sering bertanya kepada istri Nabi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Aisyah, ternyata tidak sekadar guru besar fikih, dia juga nassabah, ahli sejarah spesial nasab seseorang. Silsilah kabilah di seantero arab ruapanya banyak dikuasai. Jika seseorang ragu kepada siapa nasabnya, maka Aisyah-lah tempat bertanya. Tidak hanya itu, Aisyah juga ahli herbalik, ramuan obat-obatan yang dikombinasikan dengan al-Tibb al-Nabawy, resep kesehatan ajaran Nabi.
Hafshah pemegang mushfah al-Qur'an dan piawai dalam ilmu qira'ah adalah pelaku kodifikasi al-Qur'an dan memahami riwayat. Umm Salamah, dosen ilmu sosial-politik yang berpengalaman. Zainab, ahli ekonomi dan piawai dalam pembacaan pergerakan pasar dan lain-lain.
Sebagai catatan, sekian banyak istri ini bukan kehendak biologis nabi, melainkan murni atas perintah Allah SWT, sebagai peletakan batu pertama islam, agar cepat tersebar dan efektif. Setelah itu, dakwah islam cukup berjalan alamiah. Jika harus poligami sebagai cara dakwah, cukuplah empat sebagai istri dari kalangan wanita merdeka dan silakan punya budak wanita sesuka hati, sebanyak mungkin.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Sunnah Rasul sektor poligami itu ada dua, yakni: madzhab Aisyah dan madzhab Saudah. Madzhab Aisyah, yaitu poligami dengan memilih wanita berdasar kenimatan biologis, maka dipilih yang perawan atau imut-imut. Sedangakan madzhab Saudah dipilih wanita janda yang butuh topangan hidup. Rupanya, kebanyakan muslim sekarang, baik yang kiai, yang ustadz, yang berjenggot, yang berjubah melakukan poligami, ikrarnya menyatakan sebagai pengamalan sunnah Rasul madzahab Aisyah. Sedikit sekali yang madzhab Saudah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News