Tafsir Al-Nahl 125: Mengajak Dialog Itu Perintah Agama

Tafsir Al-Nahl 125: Mengajak Dialog Itu Perintah Agama

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Teknik dakwah yang ketiga adalah al-mujadalah, berdiskusi, berdebat demi menemukan kebenaran. Namun ada gaya bahasa tersendiri pada teknik ketiga ini, sehingga tidak sama dengan dua teknik sebelumnya, yakni al-hikmah dan al-mau'idha.

Ayat itu dibuka dengan kata perintah: Ud'u, berdakwalah, kemudian dijelaskan caranya, yakni: bi al-hikmah wa al-mau'idhah hasanah, pitutur kang becik. Mau'idhah inilah gaya monolog, di mana juru dakwah berbicara sendiri, sementara audien pasif dan hanya mendengarkan.

Jika al-hikmah untuk kondisi dan audien umum, maka al-mau'idhah untuk audien kelas menengah ke bawah. Audien masih belum punya pengetauan luas atau untuk situasi pembekalan, siraman, penambahan materi, nasihat, seperti khutbah dan lain-lain.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Beda ketika masuk cara ketiga, diskusi. Diskusi tidak dimasukkan dalam sub teknik, melainkan dikemas dalam bentuk perintah tersendiri. Jika masuk teknik, maka bahasanya begini: ".. bi al-hikmah, wa al-mau'idhah al-hasahan, wa al-mujadalah al-husna" dan al-Qur'an tidak demikian. Mengantar teknik diskusi, dibuatlah perintah tersendiri, yakni: " ..wa jadilhum bi al-lati hiy ahsan". Debatlah mereka dengan cara yang paling baik.

Cara ini diperuntukkan bagi audien kelas menengah ke atas, seperti para pendeta, para ilmuwan, ahli agama dan lain-lain. Kenapa disisipkan pesan cara terbaik (al-laty hiy ahsan) di sini:

Pertama, dalam berdebat, berdiskusi, berdialog biasa ada emosi, bersitegang mempertahankan pendapat masing-masing. Ketegangan ini berpotensi merusak hubungan antar peserta, di samping gagalnya tujuan dialog.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Debat itu hanyalah cara untuk memahamkan nonmuslim kepada ajaran islam secara baik dan utuh. Harapannya, mereka mengerti, lalu menerima islam. Jika tidak diatur cara terbaik, maka ngotot-ngototan, gontok-gontokan terjadi dan tujuan pokoknya malah tidak tercapai.

Kedua, pentingnya menjaga hubungan kemanusiaan. Rugi banyak jika mereka sudah tidak menerima islam, sementara hubungan kemanusiaan, pertemanan juga berantakan. Meski belum menerima waktu itu, tapi bila hubungan kemanusiaan tetap terjaga baik, maka masih ada harapan berdialog kembali di lain waktu.

Ketiga, sebagai peringatan bagi para da'i, bahwa tugas utama mereka hanyalah menyampaikan sebaik mungkin. Tidak perlu ngotot-ngotot dalam arti bengis dan memaksa, galak dan merasa benar sendiri. Tetap bijak dan sopan demi menarik simpati di meja dialog. Jangan sampai, para juru dakwah lebih radikal dibanding Tuhan yang punya agama.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Keempat, penutup ayat mengisyaratkan, bahwa di tangan Allah SWT adalah segalanya. Mau memberi hidayah atau tidak. Tapi, dalam penyebutan mereka yang sesat didahulukan (man dlalla 'an sabilih), baru ditutur mereka yang menadapat hidayah (wa huw a'lam bi al-muhtadin). Sebagai pelajaran agar para da'i tidakkecewa, bahwa mereka yang menolak islam itu lebih banyak dan lebih getol.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO