Tafsir Al-Nahl 125: Penjual Madu dan Jamaah Tabligh

Tafsir Al-Nahl 125: Penjual Madu dan Jamaah Tabligh Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Tiga cara dakwah yang ditawarkan ayat kaji kita ini (125), yakni : hikmah, mau'idhah dan jidal sungguh memberi keleluasaan kita memilih. Sebagai juru bicara Tuhan, da'i bagai sales yang menawarkan dagangan kepada pasar dunia, di samping mesti cerdas, juga dituntut memiliki mental tangguh dan integritas tinggi.

Ikhwan yang rajin jenggotan, berjubah dan bersorban biasa melakukan khuruj, keluar rumah untuk berdakwah sering mendapat cemooh dan cacimaki dari sesama muslim sendiri. Mereka dicemooh sebagai sering menelantarkan keluarga, membuat pandangan masjid yang disinggahi kotor, tidak sedap dan lain-lain.

Mereka berkelompok, tapi bukan organisasi. Tidak ada nama resmi yang dirpoklamirkan oleh diri mereka. Tidak ada struktur kepemimpinan, tapi punya panutan dan sadar senioritas. Masing-masing mengerti dirinya sendiri, tanpa ada gesekan, karena tidak ada kepentingan duniawi yang diperebutkan. Hanya saja masyarakat ada menjuluki mereka sebagai: jama'ah tabligh, Ursah, Jaulah dll.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Dalam sebuah seminar, juru bicaranya bertutur begini: “… umumnya para da'i kita ini melakukan dakwah yang enak-enak saja, yang sudah mapan, yang sudah ditata oleh panitia dan tinggal berbicara. Dakwah model itu ringan dan nyaris tidak pernah menghadapi risiko. Itu dakwah bagus, karena kondisinya demikian, ngomongi orang banyak yang sudah siap mendengar. Semoga bermanfaat.”

“Sementara yang kami lakukan adalah terjun langsung menemui obyek dakwah, mendatangi rumah ke rumah, di mana mereka belum tentu siap mendengarkan. Dalam khuruj ke desa dan daerah-daerah, tujuan kami cuma satu dan hanya satu, yakni mengajak orang islam masuk masjid, shalat berjamaah di masjid, titik. Ya, kayak makelar mencari penumpang. “

“Setelah berada di dalam masjid, terserah imamnya, terserah kiai setempat. Mau qunut atau tidak, mau wiridan atau diam sendiri-sendiri, baca basmalah atau langsung hamdalah dan lain-lain itu bukan wewenang kami. “

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Juru bicara itu, selanjutnya menyampaikan berbagai tanggapan masyarakat yang dikunjungi. Ada yang ramah dan berterima kasih, ada yang biasa saja seperti layaknya menerima tamu, ada yang dingin dan nampak tidak suka, ada yang tidak berkenan, ada yang mencemooh dan ada yang kasar mengusir. Pernah ada yang meludahi yang mencibir.

Semua itu sudah kami antisipasi dan kami sudah sangat siap, siap sekali, hingga, andai terpaksa dibunuh pun kami siap. Kami punya cara sendiri untuk menghadapi itu semua. Apapun perlakuan buruk yang kami terima, sama sekali tidak mempengaruhi semangat dakwah. Para nabi justru lebih sakit dari itu.

Soal mental, kadang kami belajar dari penjual madu. Hanya menawarkan madu, untungnya berapa sih?, tidak pandang siapa yang dihadapi. Pokoknya ada peluang, maka masuklah dia dan menawarkan. Ada sekolahan, kantor, bahkan barak militer-pun dia masuki. Sekali lagi, hanya sekadar menawarkan madu.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Pertanyaannya: apakah menawarkan agama Allah, apakah mengajak ibadah ke masjid, apakah mengajak umat manusia ke amal kebajikan, tidak-kah mestinya lebih siap mental dibanding si penjual madu? Ada empat prinsip yang wajib kami pegang teguh, yakni:

Pertama, tidak boleh bicara uang, dana dan sebangsanya. Jadi, masing-masing kami membiayai diri sendiri dan bagi kami, itu sama saja berinfaq di jalan Allah. Kedua, tidak boleh bicara politik. Kami tidak tahu politik, yang kami tahu hanya shalat dan masjid. Kami nyaris tidak pernah menonton tv.

Ketiga, tidak boleh bicara masalah khilafiyah. Khilafiyah itu pilihan seseorang dan kami mengikuti tradisi masjid yang kami singgahi. Dan keempat, kami dilarang membicarakan atau terlibat membicarakan (aib) pribadi tokoh. Semua orang islam adalah saudara yang menurut kami, semua baik-baik.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Seorang audien bertanya dengan nada menggugat: “... tapi meninggalkan keluarga dalam waktu lama itu tidak baik. Kan lebih wajib menjaga keluarga daripada berdakwah di luaran. Tetangga saya berantakan, istrinya kerja dan anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah. Ya, karena ayahnya tidak kerja seperti dulu, sering khuruj...”

Pembicara: “Khuruj itu wajib seizin istri dan segala kebutuhan rumah tangga wajib sudah siap. Tanpa kelengkapan yang tersedia di rumah, khuruj dilarang. Di mana-mana persoalan macam ini paling sering dihadapkan kepada kami dan berkali-kali kami sampaikan di hadapan jamaah. Kami tidak menutup mata, bahwa ada kawan yang sembrono macam itu. Inilah problem dan kami terus membenahi. Sama dengan anak nakal, murid nakal di mana-mana ada. Guru yang baik tidak lantas menutup sekolah karena siswanya ada yang nakal.”

Dakwah islamiah, apapun bentuknya adalah baik dan mengandung kebaikan. Pembicara yang tidak mumpuni, sungguh tidak enak didengar, bahkan meresahkan. Maka da'i mesti berbekal ilmu yang memadai, di samping tahu diri. Tahu diri inilah yang sering luput dari penceramah akhir zaman. Persoalannya, jika sudah terlanjur, di mana penceramah atau khatib sudah di atas mimbar menyampaikan wejangan, lalu apa sikap kita?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Asal tidak menyalahi syari'ah, kita wajib husnudz-dzan, berbaik sangka dan jangan dicemooh. Bagi anda, boleh jadi tidak ada yang bisa dipetik, karena materinya terlalu rendah. Tapi sangat mungkin ada orang lain justru berkesan, tertancap di hati dan bisa mengambil manfaat tanpa diduga, tanpa disadari oleh si khatib yang bersangkutan.

Seorang khatib tua berkhutbah sambil membaca teks dalam buku khutbah yang biasa di jual di toko. Para jamaah pada kriyep-kriyep, karena sama sekali tidak menarik. Ya, tapi bisa jadi ada yang meneteskan air mata, karena isi khutbah itu menusuk, mengenai diri pribadinya.

Tidak sia-sia angin dihembuskan dan senada dengan itu pepatah arab berujar: "Li kull saqith laqith", setiap buah yang jatuh, pasti saja ada yang memungutnya. Bagi anda yang berada, memang tidak tertarik buah matang yang tergeletak di tanah. Tapi tidak begitu bagi pengembala kambing atau anak-anak jalanan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Meski begitu, khatib, penceramah tetap wajib membekali diri dengan ilmu yang memadai, agar pesan agama bisa dinikmati orang banyak, lagian fatwa benar dan tidak keliru. Tentang keseleo fatwa, ikuti kisah anak kecil di tafsir berikutnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO