Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Tuhan Mengizinkan Balas Dendam?

Tafsir Al-Nahl 126, 127, 128: Tuhan Mengizinkan Balas Dendam? Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Wa-in ‘aaqabtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bihi wala-in shabartum lahuwa khayrun lilshshaabiriina (126). Waishbir wamaa shabruka illaa biallaahi walaa tahzan ‘alayhim walaa taku fii dhayqin mimmaa yamkuruuna (127). Inna allaaha ma’a alladziina ittaqaw waalladziina hum muhsinuuna (128).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Bunyi ayat 126 ini tegas sekali, bahwa Tuhan mengizinkan umat Islam melakukan pembalasan atas kejahatan yang dilakukan orang-orang kafir. Ditilik dari sabab nuzulnya, ulama sepakat ayat ini turun saat perang Uhud, sehingga aroma sebagai ayat Madaniyah cukup kuat, meski pada umumnya surah al-Nahl ini Makiyah.

Perang Uhud terjadi pada tahun ketiga hijriah, Sabtu, 15 Syawal atau Januari 625 M. Perang Uhud adalah perang balas dendam bagi orang-orang kafir, karena pada perang Badar sebelumnya, mereka kalah telak dan beberapa tokoh Makkah mati terbunuh. Mereka menyiapkan serangan balasan yang direncanakan secara sistemik, detail dan sangat strategis.

Para pembesar Quraisy, utamanya mereka yang punya keluarga terbunuh di perang Badar loyal mengeluarkan dana besar-besaran. Ada tiga orang yang menjadi target utama dan harus dibunuh, yaitu: Rasulullah SAW, Hamzah dan Ali ibn Abi Talib RA.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Wahsyi, budak habasyi ahli lempar lembing dipersiapkan khusus membunuh Hamzah. Hindun ibn Utbah, istri Abu Sufyan, sang majikan perempuan menjanjikan kepadanya dimerdekakan plus hadiah besar jika berhasil membunuh Hamzah.

Pasukan kafir ngeluruk ke Madinah dengan kekuatan penuh. Sejumlah 3.000 pasukan, lengkap senjata, kuda, cewek-cewek penghibur, musik dan logistik sangat memahadi. Sementara umat islam hanya 700 orang dan hanya dua orang yang menunggang kuda, yaitu Rasulullah SAW dan Abu Burdah.

Semula pasukan muslimin berjumlah 1.000 orang, tapi yang 300 membuat kelompok sendiri. Mereka itu orang-orang Yahudi bersama tokoh munafik, Abdullah ibn Ubay. Kepada para sahabat, Rasulullah SAW bertanya: apa mereka benar-benar sudah memeluk islam?". Para sahabat menjawab: " tidak, ya Rasulallah". Rasul memberi perintah: "Suruh mereka pulang, kami tidak bisa berjihad bersama mereka…".

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Rupanya Rasul mulia itu sudah membaca kemunafikan mereka. Mereka tidak sungguh-sungguh berperang. Andai diizini, maka malah ngerecoki dan membahayakan. Ternyata benar. Mereka bersukaria saat disuruh pulang. Para sahabat paham, bahwa tindakan Rasul itu betul. Jika sungguhan, maka pasti keberatan saat siri mereka ditolak ikut perang.

Mau mengukur keimanan: munafik atau beriman?. Rasakan saja sejauh mana semangat kita dalam berjihad di jalan Allah. Pada sektor kebajikan apa saja. Adakah semangat, loyal berderma, ringan mengabdi agama, menyesalkah ketika tidak ikut andil dalam amal, kecewakah saat telat ibadah? Jika biasa saja, apalagi malah senang tidak kebebanan tugas agama, maka kemunafikan masih dominan di hati kita.

Akhir kata, pasukan islam kocar-kacir dan kalah. Korban di pihak Islam berserakan di mana-mana. Beberapa sahabat senior dimutilasi secara sadis dan biadab. Dirobek isi perutnya, dipangkas hidungnya, dicukil matanya, dipotong telinganya dll. Berita Nabi terbunuh disebar ke mana-mana sehingga membuat umat Islam tertegun dan gelisah.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Perang mulai reda dan semua meletakkan senjata. Abu Sufyan naik kuda sembari berteriak lantang dari kejauhan tertuju kepada umat Islam yang sedang berkerumun menderita kekalahan: “Apa di antara kalian ada Muhammad, ayo jawab. Nabi menyuruh para sahabat diam saja. "Hai, apa di antara kalian ada Abu Bakar?. Ayo jawab!," teriak Abu Sufyan.

Nabi menyuruh para sahabat diam saja. “Hai, apa di antara kalian ada Umar ibn al-Khattab?. Ayo jawab.” Nabi menyuruh diam.

Di sini, nabi hanya menyuruh diam, bukan menyuruh berbohong dengan mengatakan "tidak ada". Artinya, selagi masih bisa melakukan tindakan penyelamatan tanpa dosa, maka itu harus dilakukan. Diam tidak berarti mengiyakan dan tidak pula menafikan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kemudian, Abu Sufyan dengan lagaknya membuat kesimpulan sendiri: "Kalau begitu, berarti mereka sudah pada tewas di pertempuran ini".

Mendengar dirinya ditewas-tewaskan, Umar tidak mampu menahan diri dan melompat ke arah Abu Sufyan sambil menghardik: "Hai musuh Allah, tutup mulutmu. Perang belum selesai, tunggu pembalasanku nanti, akan kami sengsarakan kalian semua dengan izin Allah. Perang mulut terjadi dan rupanya Abu Sufyan keder juga, lalu mereka bergegas balik ke Makkah dengan yel yel memuji berhala Hubal.

Keadaan aman. Nabi menyambangi para syuhada' Uhud dan berdiri tepat di samping mayat paman Hamzah dalam keadaan dicingcang paling parah. Perutnya robek dan jantungnya diambil. Hindun-lah orangnya yang memakan jantung Hamzah mentah-mentah, tapi tenggorokannya menolak. Lalu dikunyah-kunyah saja dan dimuntahkan. Hindun sangat dendam karena ayahnya mati di tangan paman Nabi itu.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Berdiri di dekat jasad sang paman tercinta, Rasululah SAW mengangkat bersumpah: "La-umassilann bisab'in minhum makanak". Akan kucincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai pembalasanku untuk dirimu, wahai paman".

Lalu ayat studi ini turun memberi nasihat. Bahwa, silakan membalas, tapi yang sepadan saja. "Wa-in ‘aaqabtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bihi". Seolah Tuhan berkata begini, " hai Muhammad, you, kalau mau membalas memutilasi, mencincang lawan, ya yang sepadan saja dan jangan berlebih. Tapi kalau mau memaaf dan bersabar, maka itu lebih baik. "Wala-in shabartum lahuwa khayrun lilshshaabiriina". Akhirnya nabi memilih memaaf dan bersabar, sehingga tidak jadi memutilasi. Lebih dari itu, Nabi lantas mengharamkan memutilasi orang yang sudah mati.

Begitulah orang kafir dulu, jika sudah membenci, maka perangainya sangat biadab, keji dan melampaui batas kemanusiaan. Memang tidak bisa dipukul rata, tapi kesadisan itu hingga kini masih terjadi dilakukan oleh mereka. Lihat tragedi di Turki dulu, lihat tragedi Bosnia, kekejaman pasukan Israel di Palestina dll. 

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO