Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Wa-in ‘aaqabtum fa’aaqibuu bimitsli maa ‘uuqibtum bihi wala-in shabartum lahuwa khayrun lilshshaabiriina (126). Waishbir wamaa shabruka illaa biallaahi walaa tahzan ‘alayhim walaa taku fii dhayqin mimmaa yamkuruuna (127). Inna allaaha ma’a alladziina ittaqaw waalladziina hum muhsinuuna (128).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dari latar belakang historis ayat kaji di atas, terbacalah bahwa mutilasi itu tradisi jahiliah yang legal. Mereka yang menang dalam pertempuran acap kali berlaku beringas dan biadab. Sosok musuh yang dirasa menggeregetkan hampir pasti dimutilasi jika berhasil dibunuh. Itulah, maka ketika mereka menang dalam perang Uhud, banyak di antara sahabat yang dimulitasi atau dicincang mayatnya. Kemudian Islam melarang.
Bagi islam, orang yang sudah mati, ya sudahlah. Mencincang hanya memuaskan nafsu saja tanpa ada kebajikan apa-apa. Mayat itu punya keluarga. Dengan dimutilasi, maka keluarga korban makin sakit hati dan berpotensi membalas secara beringas.
Nabi tahu betul bahwa Wahsyi-lah yang membunuh Hamzah. Nabi juga tahu betul, bahwa Hindun-lah yang mengunyah-kunyah jantung Hamzah. Ketika Wahsyi -pada akhirnya- masuk islam dan menghadap Nabi ingin disaksikan keislamannya, Nabi sungguh keberatan. Nabi diterima juga sebagai amanah risalah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Begitu sakitnya hati Nabi atas kematian sang paman yang mengerikan. Rupanya beliau tidak bisa menghapus lukanya yang mendalam itu. Setelah keislaman Wahsyi diterima, Nabi mengusir: "Cepat kamu pergi dari hadapanku dan jangan pernah nongol lagi". Wahsyi mengerti perasaan Rasulullah SAW tapi dia juga ingin berdekat-dekat dengan beliau.
Setiap kali kangen Rasul, dia hanya memandangi dari kejahuan dengan wajah sendu dan air mata penyesalan. Wahsyi terus memperbaiki perilakunya dan akhirnya menjadi muslim yang tekun ibadah. Saat perang melawan kaum munafik, Wahsyi berhasil membunuh Musailimah al-Kazzab. Spontan ia bersorak: “Hai, dulu aku membunuh orang terbaik, kesayangan Nabi, kini aku berhasil membunuh orang terburuk, musuh Nabi”.
Larangan mutilasi itu berlaku umum, termasuk dalam syariah qisas. Andai si Fulan membunuh orang lain dengan cara memutilasi, maka hukuman qisas atas diri si Fulan hanya dihukum mati saja dngan cara dipenggal, ditembak dsb. dan tidak boleh dengan dimutilasi.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Dari ayat studi ini, ulama' mengambil dalil, bahwa hukuman qisas itu boleh sepadan, selain mutilasi. Misalnya, seseorang membunuh dengan cara diracun, maka hukuman qisasnya boleh dengan cara meracun pelaku. Jika dengan hantaman batu atau digelundungkan dari atas bukit, maka hukuman qisasnya boleh dengan sepadannya.
Tapi teori maslahah yang digagas oleh mayoritas ulama' mutaakhirin lebih manusiawi. Membunuh dengan cara apapun, hukuman qisasnya cukup dihukum mati dengan cara terbaik, yaitu dipenggal lehernya atau ditembak mati.
Menurut penelitian, hukuman penggal leher lebih nyaman ketimbang ditembak. Ketika leher putus dan terpisah dari badan, darahpun keluar deras, maka saat itu pula syaraf-syaraf putus seketika dan tidak lagi bekerja, sehingga nyaris tidak ada rasa sakit. Beda dengan cara ditembak, meski jantung tembus dan berhenti, tapi syaraf di otak masih bekerja dan baru berhenti total setelah beberapa detik. Saat itulah rasa sakit masih dirasakan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News