Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Setelah dua belas tahun Rasululllah SAW berparah-parah mendakwahkan islam, memang pengikut makin bertambah, tetapi kondisi umat islam tidaklah makin membaik, melainkan makin terhimpit dan dijahati. Belum reda kebrutalan mereka, paman Abu Thalib yang sehari-hari sebagai pelindung dipanggil menghadap Tuhan.
Abu Thalib adalah bangsawan kelas atas yang sangat disegani, sehingga tak seorang kafir pun yang berani menyentuh nabi. Hatinya membenarkan ajaran nabi, keponakannya, tapi gengsinya membuat dirinya angkuh dan tidak mau kehilangan "muka" di hadapan para bangsawan lainnya. Begitulah, "kecongkakan seseorang datang bukan saja karena dirinya, tetapi sering karena jubahnya".
Abu Thalib lah yang memediasi tawaran negosiasi antara para kafir dengan Rasulullah SAW pada tengah periode Makkah. Tokoh kafir mulai membaca dan mengkhawatirkan perkembangan islam. Lalu diajukan tawaran, apa maunya si Muhammad yang Rasul itu. Mau tahta? akan dijadikan tokoh sentral seantero Makkah. Mau harta? akan diberi kekayaan berlimpah. Atau mau wanita? akan disediakan cewek-cewek tercantik berapa saja. Dengan tegas nabi menolak dan siap mati demi agama.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Belum lagi sirna kesedihan akibat sang paman wafat, istri tercintanya, Khadijah bint Khuwailid menyusul mengahadap Yang Kuasa. Khadijah adalah pengusaha wanita yang sangat kaya raya, tapi seluruh hartanya diperuntukkan jihad membela agama, untuk dakwah suaminya, menyantuni para fakir dan miskin, anak yatim, para janda dan pengangguran. Bahkan banyak terkuras untuk membeli budak muslim yang sedang dimiliki majikan kafir, lalu dimerdekakan.
Tahun itu benar-benar tahun suram dan kelabu bagi Nabi, benar-benar tahun dirundung duka dan nestapa. Betapa tidak, karena Nabi kehilangan sosok pelindung yang sangat hebat. Abu Thalib melindungi Nabi dari sisi sekuriti dan Khadijah menyervis nabi dari sisi materi. Banarlah sejarah menjuduli tahun tersebut sebagai "'Am al-Huzn", tahun sedih.
Melihat kesendirian Nabi tanpa dekengan handal, para tokoh kafir memanfaatkan situasi itu dan berulah makin biadab. Saat kritis itulah, Allah SWT hadir memberi semangat dengan memanggil Rasul-Nya beraudisi langsung ke Arsy singgasana-Nya, ke Sidratil Muntaha, melaluli transportasi bumi (al-isra') lebih dahulu. Lalu terbang menembus ruang angkasa (al-Mi'raj).
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Di sana, Rasulullah SAW menghadap dan berhadap-hadapan dengan Allah SWT dalam jarak dekat dan sangat dekat, seukuran dua gandewa, busur panah. Hanya dekat, tanpa bisa melihat Dzat yang maha kuasa itu. Terkait perjalanan sejarah dakwah Nabi, peristiwa al-Isra' dan al-Mi'raj ini punya makna, antara lain:
Pertama, syari'ah rekreasi. Yang dimaksud adalah merefresh jiwa Rasulullah SAW yang tengah kalut dan sedih ditinggal mati para pendukung handal. Sebagai manusia, hal itu wajar dan lumrah. Kenyataannya memang demikian, para kafir makin berani dan brutal memusuhi Nabi dan para pengikut.
Untuk itu, Nabi perlu hiburan, perlu rilex, perlu penyegaran, perlu refreshing sehingga seluruh beban dan kekalutan sirna dan terlupakan. Karena Muhammad SAW bukan manusia biasa, melainkan level utusan, maka Allah SWT menunjuk tempat rekreasi jauh lebih fantastis melebihi tempat rekreasi manusia pada umumnya. Jalur bumi lebih dahulu,kemudian ke luar angkasa. Selama perjalanan, berbagai keajaiban dan keindahan diperlihatkan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Atas dasar ini, ada benarnya bila sebuah lembaga pendidikan mengadakan rekreasi setelah usai melakukan pekerjaan besar, seperti ujian negara. Tidak sekadar menyegarkan para murid, bahkan sekalian pendidiknya. Benar juga, pada akhir penutupan pengajian rutin, majelis taklim, lalu ziarah dan wisata. Tidak sekadar plesiran yang menyenangkan, melainkan pulang membawa pengalaman baru yang bermanfaat.
Kedua, sebagai bukti adanya pendampingan Tuhan buat hamba-Nya yang mengabdi. Tuhan tidak pernah membiarkan hamba-Nya yang gigih berdakwah, yang berjihad di jalan-Nya sendirian manakala dia dinista dan dizalimi. Diundangnya Rasulullah SAW beraudiensi di hadapan Tuhan memberi kemantapan bagi diri Rasulullah, bahwa meski dia di bumi dimusuhi, dijahati dan mau dihabisi, tapi di sisi lain ada Tuhan yang Maha segala sangat sayang dan melindungi.
Inilah ajaran tawakkal yang sering ditinggalkan oleh para pengabdi Tuhan zaman sekarang. Kurang pede dan kurang yakin atas pertolongan-Nya yang tidak pernah bisa kita duga. Kekalutan yang luar biasa menimpa hingga Nabi sendiri tidak tahu ke depan seperti apa, ternyata sangat luar biasa. Rasul mulia itu diisra' dan dimi'rajkan. Tidak hanya gratis, melainkan sangat menghibur, sangat menyemangati dan banyak pelajaran berharga yang diterima.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Hikmah lain adalah ittiba' Nabi, bahwa setelah rekreasi dan menerima berbagai pelajaran, maka tidaklah boleh berlama-lama merebahkan badan, istirahat dan rehat, melainkan beraktivitas selanjutnya, mengamalkan apa yang telah didapat. Seperti Rasulullah SWT sehabis balik dari Sidratil Muntaha. Pagi harinya langsung menyampaikan berita agama yang semalam terjadi, lalu mengajarkan shalat, dipraktikkan dan disosialisasikan di masyarakat luas. Isra' dan Mi'raj juga ajaran studi banding demi sebuah lembaga ke depan lebih bagus.
Dengan serapan Nabi terhadap hikmah fenomena jagad raya yang tak terbatas, dengan menelan faedah melintasi gugusan galaxy yang tak terhingga, maka jiwa nabi meluas indah dan penuh rahmat. Selanjutnya, apa saja yang dilakukan umat manusia terhadap dirinya menjadi kecil dan tidak berarti apa-apa. Karena semua sudah ada di tangan Tuhan dan nabi sudah menyaksikan sendiri.
Peristiwa isra' dan mi'raj sekaligus sebagai bekal dakwah nabi ke depan, ke daerah baru, ke masyarakat baru, ke dunia baru, kota Yatsrib yang berjarak sekitar 400 kilometer dari Makkah. Setahun berikutnya, Nabi Muhammad SAW diperintahkan segera hijrah ke Yatsrib untuk membnagun peradaban islam di sana.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Maka era awal kaki menginjak bumi Yatsrib, Nabi mengubah nama Yatsrib menjadi "al-Madinah al-Munawwarah" kota berperadaban yang dicerahkan, sebagai ikon sekaligus misi risalah ke depan. Inilah dalil ikon kota sekarang sesuai program kepala daerah masing-masing. Seperti Jombang Beriman, Bersih Indah dan Aman. Dulu, Jakarta BMW, Bersih, Manusiawi, dan Wibawa dan lain-lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News