​Korupsi Semanis Racun

​Korupsi Semanis Racun

Oleh: Suparto Wijoyo*


TANGGAL 21 November 2017 kemarin diperingati secara internasional sebagai Hari Pohon. Gerakan tanam pohon untuk bersedekah oksigen nyaris tidak terdengar secara massal di belantara ontran-ontran dramatik Ketua DPR RI Setya Novanto yang “dikurung” KPK. Memang kasus korupsi dewasa ini lebih mendominasi daripada ranah ekologi, apalagi sambil menyimak deret berita Setnov, Sang Ketua Umum Partai Golkar ini. Keterperangahan semakin memuncak karena atraksi “tiang listrik” menjadi lelucon di medsos yang membanjir bagai air bah merendam ruang publiknya.

Kejadian yang melibatkan pimpinan parlemen merupakan fenomena yang amat “brandal” dalam bernegara. Kekuasaan politik terpotret menjadi ajang yang menjerembabkan pribadi yang menginstitusi dalam pesta besar “madu beracun” yang bernama korupsi. Kisah korupsi nyaris serupa cerita hidup yang dituang David Albahari, Cerpenis asal Serbia dalam karyanya Trash is Better, Cinta Semanis Racun (2016). Saya terpana diam-diam sambil menyelami maknanya bahwa korupsi memang “semanis racun”.

Inilah kasmaran harta yang mematikan. Apa yang dapat diteladani dari otoritas negara yang mengalami “sampar” korupsi bernama e-KTP, peristiwa OTT Pejabat BPK, Kemendes PDTT, insan DPRD dan berbagai pemangku kuasa di daerah. Semua memeranjatkan jiwa.

Adakah semburat harapan di tengah realitas yang memperhinakan peradaban bangsa berupa korupsi yang kian vulgar? Kita semua menyaksikan bahwa para koruptor negeri ini mayoritas berkedudukan “terhormat”, status sosial bergengsi, dan rata-rata mengenyam pendidikan tinggi, lantas terpelanting akibat lemahnya integritas diri. Rakyat terhenyak dan tampak terpaku tidak mampu beranjak. Rasa geram sebagai warga negara atas bancakan yang bersarang dalam gedung-gedung kedaulatan, sungguh menyembulkan kekesalan paripurna.

Korupsi pada setiap segmennya, benar-benar menggerogoti daya tahan negara dan merampok hak-hak warga secara terencana. Laku korupsi oleh jajaran politisi, birokrasi serta aparatur penegak hukum, menjadikanmereka berjarak dengan makna negara hukum (rechtsstaat). Penyelenggara negara terlukis melumuri wajahnya dalam bungkus kebijakan anggaran yang disantap secara kolegial. Langkah KPK membongkar korupsi telah menggelegarkan dentuman besar, karena aktornya “orang-orang kakap” yang menempuh jalan politik. Adakah ini perbaikan? Masih banyak curiga.

Sepertinya KPK memberikan pelajaran besar kepada bangsa ini untuk melawan budaya korupsi meski “menimbulkan prasangka politik yang mudah ditebak jelang 2019”. Walau demikian, kosmologi akademik memberikan pekabaran yang sangat terang atas ajaran Plato (427-347 SM). Di berbagai karyanya (Laches, Protagoras, Phaedo, Republik, Meno, Parmenides, Theaetetus dan Undang-undang), Plato merekomendasikan agar kekuasaan polis (negara kota) dipegang seorang filosof. Philoshoper memiliki cakrawala pandang yang diniscayakan sanggup menampung segala beban rakyat.

Pemimpin yang filosofis diyakini mengerti dan mengamalkan falsafah negaranya, sehingga tidaklah elok dalam negara Pancasila yang menormakan sumpah pejabatnya “dengan menyebut nama Allah”, membawa-bawa nama Tuhan, ternyata ada tindakan korupsi. Plato menambahkan pula dalam buku dialogis klasiknya, Republik, bahwa kepemimpinan orang yang jujur jauh lebih menguntungkan. Jujur dan berintegritas adalah watak dasar pemimpin yang tidak akan tergoda gemerlap korupsi.

Situasi ini menjadi tanda tanya tentang keniscayaan negara hukum. Terngianglah dua pertanyaan santun dan menggairahkan dari John Stuart Mill: Pertama, kemana harapan tertinggi masyarakat pada perkembangan dunia (industri) saat ini?, dalam konteks ini, jawabannya adalah melalui kepastian regulasi dan prediktabilitas pengaturannya yang jelas, regulasi yang dibuat negara anti korupsi harus membawa ke arah tertib negara yang mensejahterakan rakyat.Kepastian hukum menghindari “permainan benjolan bakpao”.

Kedua, lantas apa yang pertama-tama harus dilakukan, sahutnya tiada lain adalah: meningkatkan kualitas manusia (SDM) yang professional yang dalam bahasa kita: berintegritas Pancasila.

Bangsa ini harus mau “menthaharokan” dirinya dari najis-najis korupsi, atau jangan “mencuri hak-hak orang lain” sekecil apapun. Inilah kemauan melangkah untuk berubah dengan berbenah dalam mengemban mandat demokrasi secara berdaulat.

Bagi muslim, betapa agungnya orientasi kolektif memimpin negara yang dipandu dari sifat dasar Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW: siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Dengan menjiwakan teladan paling mulia ini betapa Indonesia akan berdiri kokoh tanpa korupsi. Apabila sekarang, politisi semakin terdegradasi dengan korupsi, jelang peringatan Maulid Nabi ini sepatutnya menghadirkan semburat introspeksi.

Khusus untuk para pejalan korupsi, terdapat renungan yang dinarasikan dalam Hikayat Arabia Abad Pertengahan (Tales of The Marverios) yang ceritanya serupa legenda 1001 Malam (The Arabian Nights) seperti diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C. Lyons (2014), berbunyi: “Pada mayat yang terbungkus, tergantung tablet dengan tulisan: Akulah Syaddad yang Agung. Aku menaklukkan seribu kota; seribu gajah putih dikumpulkan untukku; aku hidup selama seribu tahun dan kerajaanku menjangkau timur dan barat. Tetapi ketika kematian datang kepadaku, tak satu pun dari semua yang aku kumpulkan berfaedah bagiku. Engkau yang menyaksikanku dapat mengambil pelajaran: waktu tak bisa dipercaya”. Yakinlah bahwa rute terakhir armada kehidupan kepada kematian, antara penempuh jalur korupsi dan yang mengabdi, pastilah bersimpang jalan. 

*Penulis adalah Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO