SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sutrisno (38), warga Jl Putat Jaya Gang Jarak IXB, menekuni profesi sebagai seniman batik, semenjak lokalisasi Dolly resmi ditutup Pemkot Surabaya.
Batik karya Sutrisno mempunyai ciri khas tersendiri, yakni selalu memasukkan ikon Surabaya dalam coraknya. Sutrisno menjadi satu dari 20 anggota UKM Batik Mujabbar alumni pelatihan yang digelar Pemkot. Sementara 20 anggota UKM Batik Al Mujabbar lainnya yang semuanya ibu-ibu, memakai pakem batik Surabaya, yang mana polanya disediakan pembimbing.
Baca Juga: Ramai Pengunjung, Kepo Market Sukses Gelar Bazar UMKM
“Saya dulu sempat malu saat ikut pelatihan yang diadakan Pemkot. Sebab, saya adalah satu-satunya peserta laki-laki,” aku Sutrisno, mantan penjual penjual stiker dan kripik ini saat ditemui bangsaonline, di rumahnya, Jumat (5/01/2018).
Sutrisno memaparkan, bahwa sejak kecil dia memang senang menggambar. Bakat menggambarnya ini dikuatkan warga sekitar, selain menjual kripik dan stiker, dia ternyata juga seniman tato. Meski Sutrisno sendiri tak mengakui.
Dalam satu ‘kanvas’ kain untuk membatik, Sutrisno biasanya memasukkan unsur ikon Surabaya. Selain itu dipadu dengan pola bunga mawar. Di samping kiri dan kanan kain di bagian lebarnya, dibikin pola segitiga sama kaki, di mana di dalamnya dilukis simbol sura dan baya.
Baca Juga: Gus Afif Dukung UMKM Surabaya Bersertifikasi Halal
“Saya ingin idealis buat batik Khas Surabaya saja. Selama ini belum ada,” tukas seniman yang sudah mempunyai dua putra ini. “Bahkan, satu teman saya bisa menjual satu kain batik dengan motif khas seharga Rp 15 juta, satu batik kelas premium,” tambah dia.
Maka, Sutrisno konsisten mengembangkan desain-desain khasnya, untuk mencapai kelas premium itu. “Di pelatihan hanya dapat dasar-dasar membatik saja, meliputi menyanting, mewarnai, fixasi, blok dengan warna, dan memberi warna. Kalau kita nggak kreatif, batik kita hasil dan polanya ya gitu-gitu saja. Memang awalnya saya hanya eksperimen saja, ternyata pasar berminat dengan karya saya,” papar dia.
Meski dengan desain kreatif dan unik, batik karya Sutrisno ini dibandrol termurah Rp 200 ribu ukuran selendang, dan kisaran Rp 2 juta untuk ukuran jarit. Ini sudah dijamin ada ikon Surabaya di dalamnya, misalnya seperti monumen kapal selam, logo sura dan baya, bambu runcing. Rata-rata, penghasilan dia dari usaha batik ini sekitaran Rp 2 juta.
Baca Juga: Jelang Piala Dunia U-17, Puluhan Pedagang Kecil Dilarang Berjualan di Sekitar Stadion GBT
Dia mengerjakan semua proses produksi sendiri. Mulai membuat pola, dan selanjutkan melalui seluruh proses membatik. Tentunya, cukup rendah produktivitas Sutrisno ini. Gambarannya, untuk membuat tiga batik ukuran selendang, paling cepat menghabiskan waktu 1 minggu. Itu pun belum termasuk pewarnaan dasar. Sutrisno mengakui, bahwa membatik itu rumit dan membutuhkan waktu lama. Wajar, kata dia, anggota UKM Al Mujabbar banyak yang keluar karena kurang telaten.
Sutrisno yang asli Surabaya ini ingin mengembangkan seni batik khas Surabaya. Pasalnya, pembatik yang ada di Surabaya umumnya orang luar kota. Bahkan, pernah dia ditawari untuk mempatenkan desain khas Surabaya ini, tapi dia menolak karena dinilainya bikin ribet. Setidaknya, karyanya sudah bisa didisplay di showroom khusus UKM di Gedung Siola, Delta Plaza, Meer, Gapura Surya.
Di sisi lain, juga ada UKM batik di kawasan sama, bernama Canting Surya. Jika produksi Sutrisno cukup 3 lembar perminggu, tidak dengan UKM Canting Surya. UKM ini melayani pesanan batik untuk Pemkot sebanyak 2000 lembar. “Sudah kita kerjakan sejak tiga bulan lalu. Dan targetnya bulan Februari besok harus selesai semua,” kata Mike, anggota UKM Canting Surya. “Desainnya, dibikinkan Rumah Batik,” tambah dia. (*)
Baca Juga: Gus Lilur Motivasi Pelaku UMKM agar Naik Kelas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News