Tafsir Al-Isra 2-3: Justru Ustadznya Malah yang Menselebritis

Tafsir Al-Isra 2-3: Justru Ustadznya Malah yang Menselebritis Ilustrasi: nalarpolitik.com

Wa-aataynaa muusaa alkitaaba waja’alnaahu hudan libanii israa-iila allaa tattakhidzuu min duunii wakiilaan (2).

Dzurriyyata man hamalnaa ma’a nuuhin innahu kaana ‘abdan syakuuraan (3).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Setelah membicarakan isra' nabi Muhammad SAW yang tidak sekadar sangat menakjubkan, melainkan lingkungannya diberkahi (barakna haulah), kini Tuhan mengangkat dua sosok nabi masa lalu yang banyak mengukir sejarah dan kiprahnya spektakuler. Mereka adalah nabi Musa A.S. dan nabi Nuh A.S.

Musa A.S. diberi kitab suci al-Taurah sebagai panduan hidup bagi bani Israil, yakni hanya bertuhan Allah SWT saja. Tapi ternyata mereka justru menyimpang. Begitu halnya Nuh A.S. sebagai rasul pertama yang dilawan secara besar-besaran oleh umatnya sendiri. Musa berhadapan dengan pengaku Tuhan tertinggi, Fir'aun. Sementara umat nabi Nuh menyembah patung yang diambil dari lima orang shalih, yaitu: Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr Nuh dikucilkan.

Dua nabi tersebut diangkat sebagai referensi yang arahnya antara lain, agar Rasulullah SAW tidak bersedih dan tetap tangguh saat dimusuhi kaumnya sendiri. Nabi tidak boleh merasa sendirian, karena begitulah lakon para utusan Tuhan terdahulu, biasa diperlakukan tidak nyaman oleh kaumnya sendiri. Tapi para rasul itu tetap sukses.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Kalian yang meneruskan dakwah Rasulullah SAW, jangan berpikir yang enak-enak saja, meskipun nyatanya, kehidupan para juru dakwah sekarang, apalagi yang memilih di dunia entertainment nampaknya banyak menonjolkan sisi selebritis ketimbang sisi pengabdi agama yang tawadlu' dan sederhana. Tidak berarti seorang kiai atau ustadz harus miskin atau berpenampilan lusuh, melainkan bersahaja, tapi tetap wibawa.

Anggapan sebagian orang, bahwa kiai harus kaya atau nampak kaya atau harus berpamor dengan balutan duniawi, baik dilambangkan dengan mewahnya kendaraan atau sandangan demi menambah martabat diri, tidak mutlak benar. Satu sisi memang agar tidak diremehkan oleh orang-orang kaya yang bermoral material. Contohnya nabi Sulaian A.S. yang berhadapan dengan ratu elitis dari negeri Saba', Bilqis namanya.

Terhadap Bilqis, al-Qur'an menirukan laporan burung Hudhud, bahwa ratu ini kaya raya dan punya segala. Lalu dihadapi oleh nabi Sulaiman A.S. yang tak kalah kaya bahkan digdaya. Ternyata dengan kelengkapan yang dimiliki, akhirnya Bilqis tunduk di pangkuan Sulaiman A.S.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Ya, itu benar, tapi sisi lain justru menambah silaunya pandangan orang-orang miskin kepada kiai elitis. Terhadap ilmunya saja, mereka sudah silau, maka jangan ditambah dengan pamor kekayaan. Nabi Nuh A.S. dan nabi Musa A.S. yang diangkat dalam ayat studi ini tidak memamorkan kekayaan, tapi kesederhanaan dan kepribadian yang mulia. Diriwayatkan, Nuh A.S. pernah mau menjadikan kekayaan sebagai alat berdakwah, tapi ternyata salah.

Seorang pengemis kafir dan suka melawan dakwah islamiah meminta makanan kepada Nuh. Nuh membatin, "ini kesempatan emas untuk mengajaknya masuk agama tauhid..". Lalu mengatakan “Kalau kamu mau menerima agama kami, kami akan beri makanan, kami jamin..”.

Di luar dugaan, si pengemis malah membelalak: " tidak ada urusan antara makanan dengan keimanan. Tuhan yang mencipta mulut ini pasti bertanggungjawab mengisi. Dia punya banyak cara". Nuh sadar dan menyesali.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Lain hari ketemu pengemis itu lagi, dan Nuh segera memberi makanan tanpa kata. Ketemu dan ketemu dan terus memberi tanpa kata-kata. Perlahan, si pengemis melihat kebaikan yang tulus dari diri seorang Nuh A.S. dan akhirnya beriman secara sukarela.

Rasulullah Muhammad SAW juga kaya, tapi tidak pernah menampakkan kekayaan. Justru kekayaan dihabiskan untuk menyantuni orang miskin, termasuk memerdekaan budak dan kepentingan agama lainnya. Jadinya, Rasululah SAW sangat dekat dengan orang miskin, bahkan sangat perhatian terhadap undangan orang miskin. Tidak sama dengan sebagian da'i di kalangan selebritis negeri ini. Bukan selebritinya yang mengikuti pola hidup agamis sang ustadz, malah ustadznya yang bergaya hidup selebritis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO