Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
In ahsantum ahsantum li-anfusikum wa-in asa'tum falahaa fa-idzaa jaa-a wa’du al-aakhirati liyasuu-uu wujuuhakum waliyadkhuluu almasjida kamaa dakhaluuhu awwala marratin waliyutabbiruu maa ‘alaw tatbiiraan (7).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Tafsir ini tidak membaca dari perspektif politik, karena politik di negeri ini sama dengan kepentingan. Tafsir ini sekadar bertanya-tanya: "kok bisa ada siswa tega membunuh gurunya. Kok bisa ada presiden BEM mengkartu kuning presiden NKRI. Kok bisa sekelas anggota DPR ikutan cara mahasiwa jalanan?"
Apakah ini yang pernah diresahkan oleh seorang sarjana lulusan terbaik dari sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat, dulu? Sarjana itu dinobatkan sebagai sarjana berprestasi dengan kelulusan berpredikat Summa Cumlaude.
Dipersilakan naik ke mimbar kehormatan untuk menerima ijazah sekaligus piagam penghargaan. Ketika diberi waktu untuk menyampaikan kata sambutan, sarjana tersebut tidak menyampaikan kata apapun, malah ijazah yang sedang ada di tangan dirobek-robek dan sobekannya dilempar ke depan para guru besar dan jajaran civitas akademika.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Tidak ada keamanan yang menangkap, justru terjadi dialog antara dia dan jajaran guru besar. "why..?". Mengapa anda tega merobek ijazah yang selama ini anda idamkan, bukankah itu hasil jerih payah anda selama ini?.
Rupanya sarjana itu sudah mempersiapkan jawabannya: ".. Ya, perguruan tinggi ini memang telah mengisi otak kami sehingga kami menjadi pintar, tapi tidak mengisi hati kami sehingga kami bisa menjadi benar".
Dari kasus ini, pemerintah bersama para pakar, moralis, dan agamawan membaca kembali kurikulum nasional yang sedang berjalan dan menambahkan beberapa pendidikan moral.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Di negeri ini juga pernah terjadi tragedi munaqasyah yang menyayat nurani. Setelah dievaluasi sana-sini, oleh tim penguji munaqasyah, ujian skripsi lisan, penulis skripsi itu dinyatakan lulus. Apa respon dia?
Sarjana satu menit itu berdiri garang dengan tatapan mata pongah menyalami dosen penguji di depannya dan menyatakan: "sekarang, saya sudah sama dengan anda..!". Ya, dulu, Doktorhandus boleh menjadi dosen. Dosen penguji hanya bisa terdiam meratapi drama amoral di hadapannya (?).
Lihat anak-anak kita yang sekolah full days dan padat kegiatan belajar. Seharian sudah berada di dalam kelas, lalu sore hari pulang. Laporan para orang tua, anak-anak cenderung uring-uringan setelah pulang sekolah. Tidak mau membereskan pakaian, tas dan sepatu sendiri. Ya dilepas, tapi dibiarkan begitu saja, ogah menaruh pada tempat semestinya. Bahkan, kadang dilempar dan menyuruh pembantu memberesi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Begitu pula ketika mau berangkat sekolah. Dari bangun tidur, mandi, berpakaian, sarapan pagi, dan semua persiapan maunya dilayani dan serba dilayani, serba menyuruh dan kadang membentak. Meskipun nilainya top, tapi beginikah pendidikan yang kita harapkan? Meskipun ranking satu, tapi beginikah akhlaq anak yang kita idamkan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News