Sumamburat: Penjarahan Haram Atas Nama Gempa

Sumamburat: Penjarahan Haram Atas Nama Gempa Dr H Suparto Wijoyo.

Di tengah buncahan perhatian dunia itu, tentu tidak elok munculnya laku penjarahan yang telah viral dengan “tepukan tangan kekuasaan” yang dipandang “mafhum”. Sikap membenarkan dan memberikan “angin surga” atas penjarahan akibat gempa merupakan wujud dari kelemahan manajemen bencana yang diusung oleh negara.

UU Penanggulangan Bencana telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk cancut taliwondo mengerahkan segara daya menyelamatkan korban. Tahapan manajemen bencana terpola dari sebelum sampai sesudah terjadinya gempa. Berarti hukum kebencanaan memberikan pesan agar pemerintah menyusun program kerja untuk mengentas bencana di mana pun di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah wajib hukumnya untuk sigap membantu korban agar rakyat korban tidak sampai kelaparan sehingga menjarah. Menjarah itu tindakan kriminal, melanggar Pasal 363 ayat (1) angka 2 KUHP.

Sikap “mentoleransi” meski melalui ungkapan yang tersembunyi bahwa penjarahan itu “termaafkan” karena akan diganti pemerintah serta berpernyataan bahwa hal itu masalah sepela yang tidak perlu dibesar-besarkan, adalah pertanda betapa tidak siapnya negara mengambil prakarsa untuk mengatasi penderitaan rakyat. Gempa itu mengakibatkan kesedihan jiwa raga yang tak terbayangkan, tetapi martabat kemanusiaan dan bangsa mengharamkannya untuk mengambil hak orang lain secara batil. Penjarahan itu dosa dan tindakan murka karena bertindak zalim merampas milik pihak liyan.

Dalam lingkup inilah, pemimpin negara mutlak sadar bahwa rakyat akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan. Thomas L. Friedman dalam buku The World Is Flat (2006) juga mengisahkan tulisan temannya, Jack Perkowski, yang menuliskan pepatah Afrika pada lantai pabriknya: Setiap pagi di Afrika seekor gazelle (kijang) terjaga/Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat atau ia akan mati/Setiap pagi seekor singa terjaga/Ia tahu bahwa ia harus bisa mengejar gazelle terlambat atau ia akan mati kelaparan/Tidak peduli apakah kamu seekor singa atau seekor gazelle/Ketika matahari terbit, kamu harus mulai berlari.

Dengan terus berulangnya tragedi akibat gempa yang rajin “bersilaturahmi” di berbagai titik geografis bumi, semua negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindari, tetapi berlari guna memenuhi hak-hak rakyat agar selamat dari gempa di hari-hari mendatang melalui road map kegempaan. Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi tunggalnya. Siapa pun yang memanggul amanat negara, pastilah terpanggil membangun wilayah yang berkeselamatan rakyat. Gempa memanglah “literatur Tuhan” bagi umat manusia.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO