Oleh: Suparto Wijoyo*
SAAT kampanye, hal yang lumrah menjadi sangat menggairahkan dan yang biasa tampak istimewa. Suara yang meluncur dari para pemain demokrasi bergemuruh untuk memenuhi angkasa guna mendeburkan dada khalayaknya. Gelombang udara menerpa umat dengan sekali sikat tanpa mampu menjulangkan sekat pengaman. Kekuasaan hadir memadukan nikmat sebagai media interval berikutnya untuk dipikat. Pemuja kursi bersaing karena di atasnyalah semua ambisi bisa disahkan. Gambar-bambar dipajang tanpa malu meski kepanasan dan kelak akan kehujanan dengan “ludahan alam” yang semarak. Persaingan diunggah dengan kesadaran dan kata adalah “pemujaan” untuk menentukan siapa pemenangnya.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Masa sekarang ini di mana pilpres dan pileg menggelegarkan dentum meski yang jatuh adalah kerikil-kerikil, tetapi sangat menggelikan sekaligus menyengsarakan sepersepatuan penggunanya. Bahkan debu yang berterbangan akan semakin mengaburkan pandangan saat singgah di pelupuk mata dan kita semua dibuat mengaburkan segala esensi janji yang dilupakan, atau janji yang tidak mampu ditepati.
Demikianlah rakyat menyaksi tentang kata sontoloyo yang pertama kali saya mengenalnya sewaktu membaca buku Dibawah Bendera Revolusi yang menghimpun sekumpulan tulisan-tulisan Bung Karno. Karya besar Bung Karno yang saya “dekap erat” itu terbitan edisi tahun 1964. Inilah referensi yang senantiasa menjadi bahan bacaan saya sewaktu kecil itu dan di dalamnya memuat tulisan Bung Karno dengan judul Islam Sontoloyo, yang sebelumnya dimuat dalam Panji Islam tahun 1940. Dengan demikian kata itu muncul dari rongga pejuang, pemikir dan penggerak zamannya, bukan kata yang hadir dari “panggung negara”.
Kini kata itu ramai lagi dengan giringan yang dipanggungi oleh kekuasaan negara dan respon pun menjadi sedemikian berwarna. Kata sontoloyo dijadikan alat komunikasi yang meliarkan “bola kampanye” hingga terus digiring tanpa perlu digolkan ke gawang mengingat yang dibutuhkan bukan golnya, melainkan ramainya persaingan. Semakin riuah sorakan akan semakin kentara keberadaan “lawan” main sepernafasan yang mengusung kata “Tampang Boyolali”. Tampang yang ekspresif dalam bingkai kultural terasa bernada canda sontak menjadi “harga politik” yang musti dibayar dengan sangat mahal. Demo dipertontonkan dan liputan sengaja dipersiapkan untuk menunjukkan bahwa kata itu sangat “menyayat” dan ditafsir selaksa “penghakiman yang merendahkan”. Lantas kata ndeso yang pernah terlontar dari sisi penggede negara dianggap mainan anak-anak yang tidak perlu disikapi.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Dalam lingkup inilah saya melarutkan diri sambil membaca buku Conspirata yang merekam jejak kuasa Marcus Tullius Cicero (63 Sebelum Masehi) yang ditulis Robert Harris (2009). Tertulislah bahwa kata-kata adalah senjata, dan tidak ada orang yang lebih piawai mengerahkan kata-kata daripada Cicero. Buku yang ini memang merekam Roma, 63 SM. Di kota yang berada diambang masa kekaisaran besar, tujuh orang berebut kekuasaan. Cicero konsul, Caesar pesaingnya yang muda dan bengis, Pomeius jenderal terbesar republik, Crassus orang terkaya, Cato fanatik politik, Catilina psikopat, dan Clodius playboy ambisius. Kisah tokoh-tokoh sejarah ini yang menyangkut persekutuan dan pengkhianatan mereka, kekejaman dan rayuan mereka, kegeniusan dan kebusukan mereka terjalin dalam kisah epik. Ternyata begitulah kekuasaan diperebutkan sambil memainkan kata-kata.
Termasuk kata radikal tempo hari. Kata yang arti leksikalnya sangat terukur mengenai hal-hal mendasar, prinsipal, berdurasi fundamental, yang menyentuh pada atribut “berfikir jernih dan bertindak mengagumkan”. Namun kata radikal itu berubah menakutkan untuk disematkan kepada siapa saja yang“mencoba beroposisi”. Sulit untuk memahami bahwa pengajaran memanggul kebenaran pastilah radikal sebagaimana makna aslinya. Kebenaran tidak bisa dibiaskan dengan kesalahan yang menyesatkan.
Terdapat kesadaran komunal bahwa setiap kebenaran pasti berbeda secara radikal dengan kesalahan. Pencerahan tidak sama dengan “penggerhanaan”. Warna merah dan putih itu sesungguhnya menyangkut karakter diri pembeda yang sangat radikal. Setiap warna pun sejatinya memiliki dimensi radikal untuk kemudian memuaikan dirinya guna membangun kondisi yang diharapkan. Pemuaian-pemuaian itu haruslah tetap dalam kerangka yang pas agar pemuaian tidak berubah menjadi pembiasan antara yang “hak dan yang batil”.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Oleh karenanya adalah sebuah keanehan apabila yang radikal itu pasti “jahat” (bandingkan dengan radikal bebas dan antioksidan) serta dicampurbaurkan dengan kekerasan politik. Kata jahat dan radiks sangatlah berbeda dan untuk itu silahkan dipelajari dengan cermat asal muasalnya. Batu itu tidak sama dengan air dan itu ketidaksamaan yang radikal. Lelaki (“adam”) dan perempuan (“hawa”) itu berbeda dan perbedaannya sangat radikal. Dalam konteks ini tampak bahwa penciptaan identitas itu amatlah radikal, dan kini orang mencoba untuk menjumbuhkannya antara “lelaki dan perempuan” melalui kosmologi pergerakan global yang dibungkus dengan sebutan LGBT.
Kekerasan, pembunuhan dan pengancaman kepada keamanan siapapun, apalagi kenyamanan rakyat tentulah itu tindakan kriminal yang ada hukumnya. Tuduhan apapun adalah kejahatan apabila tanpa bukti nyata, bukan bukti rekayasa. Lorong sejarah sepertinya tengah bergerak ke arah yang saya belum memahami endingnya. Kata radikal telah disulap menjadi peluru yang dapat diarahkan kepada siapa saja yang tidak sejalan dengan “kehendak pemenang”. Sontoloyo, ndeso, Tampang Boyolali kini menambah frase sosial baru. Adakah memang kondisinya ini seperti yang pernah disindir oleh Farid (1173-1266), sebagai seorang muslim yang telah bermimpi ketemu Rasulullah sebagaimana termuat dalam kumpulan Setanggi Timur dari Amir Hamzah: “kuasa konon menunjukkan mukjizat”. Bukankah kata telah diputarkan haluannya sebagai senjata?
*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News