Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Wakulla insaanin alzamnaahu thaa-irahu fii ‘unuqihi wanukhriju lahu yawma alqiyaamati kitaaban yalqaahu mansyuuraan (13). Iqra/ kitaabaka kafaa binafsika alyawma ‘alayka hasiibaan (14).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Berbagai riwayat menunjuk betapa di akhirat nanti tiba-tiba ada sosok makhluk yang serem, super buruk, dan berbau merangkul seseorang sembari mencekik leher. Sosok itu lantas mengenalkan diri, bahwa dia adalah jelmaan dari perbuatan buruk yang dulu pernah dilakukan di dunia. Tentu saja dia risih dan sengsara.
Juga ada makhluk bersih, harum, dan santun. Selalu menyertai seseorang melayani dan mengayomi. Makhluk itu memperkenalkan diri, bahwa dia adalah amal kebajikan yang dulu pernah dilakukan. Tentu saja orang itu senang, ringan, dan bergembira. Dan ayat studi ini menyinggung hal tersebut, meski singkat.
Dipakai kata "tha'ir" (amal, perbuatan) seperti umumnya qira'ah mutawatirah, di mana kata itu serumpun dengan kata "thair", artinya burung seperti qira'ah Abu al-Hasan, Abu Raja' dan Mujahid. Korelasi antara burung dan amal perbuatan adalah pada refleksinya. Burung yang terbang dari pangkalannya bagai amal yang keluar dari badan kita. Kita melakukan perbuatan dengan mudah, baik perbuatan buruk maupun baik seperti mudahnya burung terbang yang mabur begitu saja.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Kata "tha'ir" ini populer pada bacaan Hafsh di semua tempat, sehingga maknanya bisa amal perbuatan dan bisa pula nasib manusia: beruntung atau sial. Surah Yasin:19 menyebut : "... tha'irukum ma'akum", amal perbuatanmu menyertaimu, tanggungjawabmu. Tradisi klenik arab menunjuk gugon tuhon yang berbau syirik menggunakan jasa burung angkrem.
Jika seseorang punya hajat, pergi berdagang, atau lainnya, biasanya cari burung yang istirahat di sarang, lalu diganggu. Jika arah terbang si burung ke arah kanan si orang yang punya hajat, berarti pertanda baik. Segera dikerjakan. Tapi jika ke kiri, maka pertanda buruk, pasti ditangguhkan. Keyakinan begini ini disebut tathayyur atau thiyarah.
Lalu timbul persoalan mengenai kata "tha'ir" dan "kitab" pada ayat kaji tersebut (13) mengingat ada kemiripan makna. Disajikan dua pendapat soal ini, pertama: Memang buku amal itu langsung dikalungkan di leher setiap orang, begitu dia bangkit dari alam kubur pada hari makhsyar nanti. Masing-masing tinggal mengambilnya, lalu membacanya.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kedua, bahwa tha'ir itu adalah amal perbuatan, baik amal baik maupun buruk yang dibebankan di leher setiap orang. Lalu manusia itu menariknya dan tha'ir itu langsung berupa kitab atau buku catatan amal. Dibaca dan bisa difahami. Sinyalemen kedua ini berpijak pada tesis "... wanukhrij lah kitaba". Dari tha'ir itu kami keluarkan kitab. Jadi kitab itu adalah representasi amal.
Dipakai kata "unuq" atau leher sebagai tempat pengalungan buku, karena banyak hal, antara lain : Pertama, leher adalah bagian tubuh yang paling pas, paling kentara untuk disemati identitas, hingga mudah dikenali. Makanya, pada acara besar atau memasuki ruang pertemuan penting, seseorang udangan harus pakai identitas yang dikalungkan di leher.
Kedua, leher adalah bagian rawan manusia. Orang menjadi tersandera manakala lehernya dikuasai orang lain. Leher yang dikalungi atau dililit sesuatu menunjukkan orang tersebut sedang dalam tanggungjawab besar atau dalam tekanan berat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Monyet liar yang dirantai dengan kalung melilit di leher akan lebih mudah jinak dan patuh kepada majikan ketimbang perantaian yang melilit di perutnya. Begitu pula petarung gaya bebas, seperti di UFC maupun One Pride, dia akan segera menyerah ketika terkena kuncian, apalagi cekikan kuat melilit di leher.
Kitab tersebut dinyatakan sebagai "yalqahu mansyura", disajikan secara digelar dan terbuka. Tujuannya agar segera dibaca dan diketahui isinya. Hal itu untuk mengetahui ke mana dia selanjutnya singgah, ke surga atau ke neraka. Ini menunjukkan, bahwa Allah SWT itu sangat praktis bertindak, cepat dan tepat. Tidak bertele-tele dan buang-buang waktu. Tuhan tidak suka penguluran waktu dan mendramatisir keadaan.
Jika kita nonton siaran televisi luar negeri pada penobatan atau penganugerahan bintang, penyanyi maupun artis film seperti Gramy Award, maka begitu dibacakan nominasinya, langsung dibaca pula pemenangnya. Hadiah diserahkan, sambutan singkat dan selesai.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Tidak sama dengan penganugerahan juara di negeri ini. Umumnya dilama-lamakan dan didramtisir. Cara kampungan untuk memperlama debar jantung. Pemenangnya adalah... adalah... sambil mubeng-mubeng dulu, baru dinyatakan. Orang cerdas tentu bisa membaca dua fenomena itu, mana yang praktis dan cerdas, dan pihak mana yang lemot dan lelet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News