Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Mani ihtadaa fa-innamaa yahtadii linafsihi waman dhalla fa-innamaa yadhillu ‘alayhaa walaa taziru waaziratun wizra ukhraa wamaa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa nab’atsa rasuulaan (15).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dari terjemahan ayat di atas terbaca arahan seperti berikut: Pertama, "Mani ihtadaa fa-innamaa yahtadii linafsihi". Hidayah itu harus diupayakan (ihtada). Barang siapa bisa memetik hidayah, pandangan baik sesuai syari'ah agama, lalu mengamalkannya, maka dia akan mendapat kebajikan, pahala, imbalan yang bermanfaat bagi diri sendiri. Tapi siapa yang sesat dan menyimpang dari agama, maka keburukannya akan menimpa diri sendiri.
Kata "ihtada" yang berwazan "ifta'ala" pada ayat di atas menunjukkan, bahwa manusia tidak boleh pasif dan hanya menunggu datangnya hidayah. Kita wajib berikhtiar mendapatkan bimbingan Tuhan secara terus menerus. Soal hasil, itu mutlak kewenangan Tuhan.
Ada orang yang dekat dengan sumber hidayah, tapi dia tidak doyan hidayah, apalagi berminat mendapatkan, maka Tuhan tidak memberinya. Contohnya Abu Lahab, paman Nabi Muhammad SAW, hingga mati masih tetap dalam kekafiran. Ada yang sangat jauh dari sumber hidayah, tapi serius memburu dan ingin banget mendapatkannya, lalu Tuhan memberinya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Contohnya Salman al-Farisy, orang Persia yang seja kecil beragama Majusi, penyembah api, bahkan penjaga tungku perapian untuk sesembahan. Kemudian sadar dan ingin mencari kebenaran, lalu mengembara. Akhirnya, menjadi sahabat kesayangan nabi setelah upaya panjang dan melelahkan.
Bulan Ramadlan, semua umat Islam memandang sebagai bulan suci yang penuh rahmat, pengampunan dan keberkahan. Lazimnya diibaratkan tamu agung yang mesti dihormati. Oke, sepakat. Kita berlomba memetik kebajikan, hidayah, pengampunan di bulan suci ini.
Jika benar pandangan kita terhadap Ramadlan sebagai tamu, maka sebagai tuan rumah, lazimnya kita mesti berbuat seperti ini:
Pertama, yakin, bahwa tamu itu membawa rezeki. Menghormati tamu dengan keikhlasan penuh sama dengan membuka kans besar nan lebar untuk gerojoknya kucuran rezeki. Ada rezeki nyata enak seperti mendapat uang lebih banyak dan mudah, dan ada rezeki yang tidak nampak tapi sangat diperlukan. Ikuti kisah ini:
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Tersebutlah seorang sahabat mulia dan banyak teman berkunjung ke rumah, siang dan malam. Tapi istrinya super cerewet dan tidak suka kepada para tamu, karena ribet, mengganggu dan lain-lain. Sampai akhirnya, sang sahabat tersebut sowan ke Nabi mengadukan ulah sang istri. Nabi menasihati: gini saja, ketika teman kamu nanti ada kunjung ke rumah, hormati dia sebaik mungkin. Lalu, ketika pamit pulang, ajaklah istrimu mengantarkannya keluar, sekali ini saja. Jangan lupa, ajak dia.
Semua dipatuhi sesuai perintah dan sang istri patuh. Subhanallah, saat sang istri mendampingi suami melepas kepulangan si tamu, dia tertegun dan hampir jatuh pingsan. Ada apa sayang? Sang istri cerewet tiba-tiba beruba menjadi santun dan lembut. "Aku melihat binatang-binatang berbahaya, ada kalajengking, kelabang, ular, dan lain-lain pada keluar dari rumah mengikuti langkah sang tamu dari belakang".
Sejak itu, si istri pemarah berubah menjadi peramah. Artinya, sambi kolo lan moroboyo, penyakit dan kesialan tersedot oleh kerahmatan sang tamu. Artinya, andai ada takdir buruk, andai ada dosa-dosa kecil mengganggu dan mengambat ibadah, maka semua itu bisa sirna karena ketulusan menjamu tamu. Puasalah secara tulus, atas dasar keimanan (imana) dan murni hanya karena Allah semata (ihtisaba), kalian akan lebih sehat dan terampuni.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Kedua, muslim yang baik pasti mengutamakan tamunya, ketimbang diri sendiri dan keluarga. Seorang sahabat miskin tak punya makanan malam itu, kecuali hanya cukup untuk satu orang. Tapi dia siap menjamu tamu yang direkomendasi Rasulullah SAW.
Setibanya di rumah, sempat adu mulut dengan istri karena memang benar-benar tak ada makanan, kecuali hanya itu. Iki piye and piye iki..?. Lalu, keduanya rela dan sepakat membuat trik cantik.
Lampu di ruang makan sengaja dimatikan dengan alasan tertentu, gelap dan gelap. Satu piring berisi makanan disuguhkan ke tamu, sementara tuan rumah menghadap piring kosong, sembari mempersilakan dan pura-pura makan. Usai jamuan, piring-piring dimasukkan ke dalam dan lampu baru dinyalakan.
Paginya, usai jamaah subuh, nabi tersenyum dan berpidato mengomentari apa yang dilakukan sahabat mulia semalam. Allah SWT kagum dan sangat senang, Nabi-Nya juga kagum dan mendoakan keberkahan. Sabahat itu, akhirnya berkecukupan rezeki dan keluarganya berbarakah. Mau rezeki tambah barakah, sedekahlah sebanyak mungkin, seikhlas mungkin di bulan Ramadhan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Ketiga, dapat memetik hidayah di bulan ramadlan adalah idaman bagi setiap orang beriman. Jika tidak, wah.. mohon koreksi diri. Ada apa dengan diri kita. Ibarat orang sakit, meskipun dia lama lapar, tapi dia tidak ingin menikmati makanan kesukaan. Maka, beristighfarlah.
Salah satu tanda seorang beriman mendapat hidayah bulan Ramadlan adalah memaksimalkan amal ibadah, baik kuantitas maupun kualitas. Contoh gampangnya adalah shalat tarawih. Jika anda seneng uang banyak, makin banyak, makin senang. Hanya orang yang tidak mengerti makna uang, maka pilih yang tersedikit. Itu artinya, pikirannya minimalis soal uang. Maka, begitu pula pahala. Jika kita jujur, pasti berpikir macam ini. "Bahwa mendapat uang dua puluh miliar tentu lebih menggebirakan ketimbang hanya mendapat delapan miliar". Begitulah pemikiran normal.
Masalah pilihan ibadah adalah hak seseorang. Berdalil dan berhujjah adalah keniscayaan akademik. Tapi jangan sampai pemikiran agama kita, kepinteran kita memahami teks wahyu, malah menyeret kita ke ibadah minimalis. Ibadah minimalis adalah ibadah minim dengan pahala minim. Di dunia ini, kita bisa emsoi, gengsi, jaga image, elitis. Tapi di akhirat nanti semua itu tidak ada, sirna, dan menipu.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Di akhirat, yang ada hanyalah buah dari amal kita masing-masing. Hanyalah perhitungan, pahala sekian atau dosa sekian. Di beri surga atau ke neraka. Sama sekali tidak ada kesempatan beramal, karena sudah lewat. Tidak sama dengan di dunia sekarang, adalah waktu beramal, beribadah, dan tidak ada hisab. "al-yaum yaum amal wa la hisab". Di akhirat, "yaum al-hisab wa la 'amal".
Mudah-mudah kawan-kawan dan poro sedulur yang mengerjakan amal minimal bisa mempertimbangkan analisis ini sebagai muhasabah, sebelum datangnya hari hisab nanti. Hari, di mana penyesalan tak lagi berguna dan alasan tak lagi bisa diterima.
Begitu halnya sedulur yang mengerti agama melalui kitab klasik dan kajian beberapa referensi. Apakah baik menggunakan qaul, pendapat uama yang rendahan dan minimalis. Mereka berdalih ada pendapat murah, lalu diamalkan dan ngotot sebagai kebenaran. Tapi sama sekali tidak berpikir kebaikan. Otaknya, masih sebatas mencari pembenar, yang penting benar dan belum bisa naik ke derajat baik dan terbaik. Padahal al-qur'an mengarkan kita ke amal terbaik," ayyukum ahsan amala".
Contoh ibadah -mungkin- benar tapi tidak baik adalah shalat tarawih cepet-cepetan, cepat selesai dan beres. Padahal setelah itu nganggur, malah merokoknya lebih lama ketimbang shalatnya. Lalu merasa punya dalil yang mengesahkan shalat ekspres itu. Mereka mandek di fikih ansich yang minimalis dan tidak selera ke syari'ah religious holistik, seperti ibadah para nabi, para sahabat, para tabiin dan al-salaf al-shalih.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Di sini, mereka tidak tumpul pemikiran, karena bisa baca kitab kunig, tidak pula buta mata, karena bola matanya sehat wal afiat, tapi sedikit ada ketertutupan, ada hijab pada mata hati, sehingga tidak bisa melihat cahaya Allah yang indah mencemerlangkan dan tidak bisa pula mengkalkulasi mana ibadah paling banyak pahala. Bulan Ramadan ini, waktunya kita mengubah pandangan yang berorientas pada ibadah minimalis, menuju ibadah berkualitas and maksimalis. Itulah sisi lain dari makna "ihtida'", Allah a'lam.
Dalam menafsir dan memahami teks wahyu, bisa jadi seseorang merasa benar dan mendapat hidayah, tapi acap kali tergelincir dan merusak tatanan, jahat dan menyakiti sesama manusia. Namanya menafsir, maka pasti berkecenderungan, karena tidak ada mufassir yang obyektif. Semua mufassir pasti subyektik, tapi subyektif yang berjalan seiring kaedah, maka menjadi intersubyektif dengan tingkat kebenaran lebih dominatif.
Dari sisi akademik, para pengebon gereja pasti berdalih atas dasar agama sesuai pemahaman mereka. Dasar subyektivitas yang kental hingga meradikal tersebut biasanya melalului pemikiran berikut ini:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Pertama, dengan berbagai dalih, umat Islam di berbagai belahan bumi kerap kali dizalimi secara brutal dan sadis oleh nonmuslim. Termasuk di negeri ini. Tuduhan menyudutkan seperti cap teroris, radikal, ekstrem kiri, tidak berperikemanusiaan, merasa benar sendiri mudah sekali ditimpakan kepada sebagian umat islam. Sementara nonmuslim, termasuk yang ngumbar maksiat di depan umum dimanjakan.
Kedua, dunia ini satu, seperti umat islam yang ibarat satu tubuh. Umat islam di Palestina habis-habis dibantai, bahkan Yerussalem-pun dicaplok sebagai ibu kota Israel. Meski Amerika nyata-nyata melanggar zona hijau, tapi apa tindakan nyata kita???. Jika Israel secara de facto dan de Jure berkuasa atas Yerussalem, maka mereka berhak secara mutlak mengatur sesukanya. Termasuk mangapa-apakan al-masjid al-Aqsha dan umat Islam di sana. Soal korban, sungguh tidak imbang antara korban di pihak umat islam yang jutaan dibanding korban bom teroris yang belasan.
Ketiga, mereka memandang, bahwa fenomena ini sudah dianggap cukup sebagai alasan untuk melawan kezaliman semampu-mampunya, atas dasar jihad fi sabilillah dalam pengertian luas dan tak terbatas. Siapa mati di jihad ini, maka berderajat syahid yang pasti langsung masuk surga. Begitu tafsir mereka.
Jadi, bagi pengebom gereja di Surabaya yang masih satu keluarga itu bisa diterka, bahwa dasar pemikiran mereka adalah ingin bareng bersama anak dan istri di surga yang dijanjikan Tuhan. Bagi mereka, itu adalah perbuatan sangat religious dan membahagiakan, bisa bahagai bersama keluarga di surga sana. Sementara sisi kemanusiaan dikutuk sebagai perbuatan zalim dan tega.
Tafsir al-Qur'an Aktual memaparkan, bahwa tidak ada dalam referensi agama, baik zaman Rasulullah SAW dulu hingga sekarang yang menunjuk perang dengan melibatkan anak yang kecil. Jihad adalah kewajiban bagi muslim mukallaf dan mampu. Sehingga salah besar anak kecil dilibatkan macam itu.
Sebagai umat islam negeri tercinta ini, kita tidak membenarkan kejahatan, intoleransi, apalagi anarkis. Tapi tidak cukup sekadar mengecam dan mengutuk. Kita bisa menambah pendekatan lain selain tegas dan berprinsip. Misalnya berupaya memaksimal mungkin melakukan dialog dan pendekatan lebih manusiawi. Bukan tawaran dialog yang menjebak, menghakimi, dan menghukum.
Utuslah juru bicara yang handal ke kantong mereka, seperti dilakukan Rasululah SAW dan para sahabat dulu. Jangan pula menyiarkan ke televisi secara over apalagi menyudutkan. Mereka juga manusia yang bisa luluh, bisa sadar dengan dialog dan saling menghormati. Koruptor raksasa yang merugikan keuangan negara tak terhingga saja diperlakukan lunak dan senyum. (?)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News