Tafsir Al-Isra 15: Ramadlan, Jangan Beribadah Minimalis

Tafsir Al-Isra 15: Ramadlan, Jangan Beribadah Minimalis Ilustrasi

Salah satu tanda seorang beriman mendapat hidayah bulan Ramadlan adalah memaksimalkan amal ibadah, baik kuantitas maupun kualitas. Contoh gampangnya adalah shalat tarawih. Jika anda seneng uang banyak, makin banyak, makin senang. Hanya orang yang tidak mengerti makna uang, maka pilih yang tersedikit. Itu artinya, pikirannya minimalis soal uang. Maka, begitu pula pahala. Jika kita jujur, pasti berpikir macam ini. "Bahwa mendapat uang dua puluh miliar tentu lebih menggebirakan ketimbang hanya mendapat delapan miliar". Begitulah pemikiran normal. 

Masalah pilihan ibadah adalah hak seseorang. Berdalil dan berhujjah adalah keniscayaan akademik. Tapi jangan sampai pemikiran agama kita, kepinteran kita memahami teks wahyu, malah menyeret kita ke ibadah minimalis. Ibadah minimalis adalah ibadah minim dengan pahala minim. Di dunia ini, kita bisa emsoi, gengsi, jaga image, elitis. Tapi di akhirat nanti semua itu tidak ada, sirna, dan menipu. 

Di akhirat, yang ada hanyalah buah dari amal kita masing-masing. Hanyalah perhitungan, pahala sekian atau dosa sekian. Di beri surga atau ke neraka. Sama sekali tidak ada kesempatan beramal, karena sudah lewat. Tidak sama dengan di dunia sekarang, adalah waktu beramal, beribadah, dan tidak ada hisab. "al-yaum yaum amal wa la hisab". Di akhirat, "yaum al-hisab wa la 'amal".

Mudah-mudah kawan-kawan dan poro sedulur yang mengerjakan amal minimal bisa mempertimbangkan analisis ini sebagai muhasabah, sebelum datangnya hari hisab nanti. Hari, di mana penyesalan tak lagi berguna dan alasan tak lagi bisa diterima. 

Begitu halnya sedulur yang mengerti agama melalui kitab klasik dan kajian beberapa referensi. Apakah baik menggunakan qaul, pendapat uama yang rendahan dan minimalis. Mereka berdalih ada pendapat murah, lalu diamalkan dan ngotot sebagai kebenaran. Tapi sama sekali tidak berpikir kebaikan. Otaknya, masih sebatas mencari pembenar, yang penting benar dan belum bisa naik ke derajat baik dan terbaik. Padahal al-qur'an mengarkan kita ke amal terbaik," ayyukum ahsan amala".
Contoh ibadah -mungkin- benar tapi tidak baik adalah shalat tarawih cepet-cepetan, cepat selesai dan beres. Padahal setelah itu nganggur, malah merokoknya lebih lama ketimbang shalatnya. Lalu merasa punya dalil yang mengesahkan shalat ekspres itu. Mereka mandek di fikih ansich yang minimalis dan tidak selera ke syari'ah religious holistik, seperti ibadah para nabi, para sahabat, para tabiin dan al-salaf al-shalih.

Di sini, mereka tidak tumpul pemikiran, karena bisa baca kitab kunig, tidak pula buta mata, karena bola matanya sehat wal afiat, tapi sedikit ada ketertutupan, ada hijab pada mata hati, sehingga tidak bisa melihat cahaya Allah yang indah mencemerlangkan dan tidak bisa pula mengkalkulasi mana ibadah paling banyak pahala. Bulan Ramadan ini, waktunya kita mengubah pandangan yang berorientas pada ibadah minimalis, menuju ibadah berkualitas and maksimalis. Itulah sisi lain dari makna "ihtida'", Allah a'lam. 

Dalam menafsir dan memahami teks wahyu, bisa jadi seseorang merasa benar dan mendapat hidayah, tapi acap kali tergelincir dan merusak tatanan, jahat dan menyakiti sesama manusia. Namanya menafsir, maka pasti berkecenderungan, karena tidak ada mufassir yang obyektif. Semua mufassir pasti subyektik, tapi subyektif yang berjalan seiring kaedah, maka menjadi intersubyektif dengan tingkat kebenaran lebih dominatif.

Dari sisi akademik, para pengebon gereja pasti berdalih atas dasar agama sesuai pemahaman mereka. Dasar subyektivitas yang kental hingga meradikal tersebut biasanya melalului pemikiran berikut ini: 

Pertama, dengan berbagai dalih, umat Islam di berbagai belahan bumi kerap kali dizalimi secara brutal dan sadis oleh nonmuslim. Termasuk di negeri ini. Tuduhan menyudutkan seperti cap teroris, radikal, ekstrem kiri, tidak berperikemanusiaan, merasa benar sendiri mudah sekali ditimpakan kepada sebagian umat islam. Sementara nonmuslim, termasuk yang ngumbar maksiat di depan umum dimanjakan. 

Kedua, dunia ini satu, seperti umat islam yang ibarat satu tubuh. Umat islam di Palestina habis-habis dibantai, bahkan Yerussalem-pun dicaplok sebagai ibu kota Israel. Meski Amerika nyata-nyata melanggar zona hijau, tapi apa tindakan nyata kita???. Jika Israel secara de facto dan de Jure berkuasa atas Yerussalem, maka mereka berhak secara mutlak mengatur sesukanya. Termasuk mangapa-apakan al-masjid al-Aqsha dan umat Islam di sana. Soal korban, sungguh tidak imbang antara korban di pihak umat islam yang jutaan dibanding korban bom teroris yang belasan. 

Ketiga, mereka memandang, bahwa fenomena ini sudah dianggap cukup sebagai alasan untuk melawan kezaliman semampu-mampunya, atas dasar jihad fi sabilillah dalam pengertian luas dan tak terbatas. Siapa mati di jihad ini, maka berderajat syahid yang pasti langsung masuk surga. Begitu tafsir mereka.

Jadi, bagi pengebom gereja di Surabaya yang masih satu keluarga itu bisa diterka, bahwa dasar pemikiran mereka adalah ingin bareng bersama anak dan istri di surga yang dijanjikan Tuhan. Bagi mereka, itu adalah perbuatan sangat religious dan membahagiakan, bisa bahagai bersama keluarga di surga sana. Sementara sisi kemanusiaan dikutuk sebagai perbuatan zalim dan tega. 

Tafsir al-Qur'an Aktual memaparkan, bahwa tidak ada dalam referensi agama, baik zaman Rasulullah SAW dulu hingga sekarang yang menunjuk perang dengan melibatkan anak yang kecil. Jihad adalah kewajiban bagi muslim mukallaf dan mampu. Sehingga salah besar anak kecil dilibatkan macam itu.
Sebagai umat islam negeri tercinta ini, kita tidak membenarkan kejahatan, intoleransi, apalagi anarkis. Tapi tidak cukup sekadar mengecam dan mengutuk. Kita bisa menambah pendekatan lain selain tegas dan berprinsip. Misalnya berupaya memaksimal mungkin melakukan dialog dan pendekatan lebih manusiawi. Bukan tawaran dialog yang menjebak, menghakimi, dan menghukum.

Utuslah juru bicara yang handal ke kantong mereka, seperti dilakukan Rasululah SAW dan para sahabat dulu. Jangan pula menyiarkan ke televisi secara over apalagi menyudutkan. Mereka juga manusia yang bisa luluh, bisa sadar dengan dialog dan saling menghormati. Koruptor raksasa yang merugikan keuangan negara tak terhingga saja diperlakukan lunak dan senyum. (?)

Sumber: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO