Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Mani ihtadaa fa-innamaa yahtadii linafsihi waman dhalla fa-innamaa yadhillu ‘alayhaa walaa taziru waaziratun wizra ukhraa wamaa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa nab’atsa rasuulaan (15).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
"walaa taziru waaziratun wizra ukhraa". Petikan hikmah kedua dari ayat kaji ini adalah, bahwa manusia itu hanya diminta pertanggungjawaban atas perbuatan sendiri, tidak dituntut mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukan orang lain. Dengan bahasa lain, masing-masing bertanggung hanya atas apa yang dia lakukan, meski ada kaitan dengan perbuatan orang lain atau secara koloni. Fathir:18 juga ada tesis persis ini.
Adi adalah bos besar yang menyewa pembunuh bayaran (Jahal) untuk membunuh si Fulan. Aming sebagai perantara, menghubungkan dan membantu. Jahal berhasil membunuh Fulan. Mereka sama-sama berdosa, tapi yang terbesar dan yang dihukum qisas hayalah yang membunuh, si Jahal, jika Jahal waras dan dewasa, alias mukallaf. Kecuali kalau si Jahal gila atau di bawah pengaruh minuman keras yang dicekokkan, maka qisas mengena pada yang menyuruh. Orang gila tidak menguasai diri, jadi kayak robot saja, terserah yang meremote.
Begitulah makna qaidah fiqhyah populer tentang kejahatan gabungan. "idza ijtama' al-sabab wa al-ghurur wa al-mubasyarah, quddimat al-mubasyarah". Meski demikian, tidak berarti selain eksekutor diabaikan, melainkan tetap dihukum. Beda dengan perdagangan narkoba, justru produser wajib dihabisi lebih dulu. Tapi sayang, BNN lebih sigap menangkapi yang ekses, tidak bos sentralnya. Jangan salahkan rakyat membatin, "Ada apa ya..?".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Si Fulan dendam kepada gadis yang pernah meninggalkannya. Lalu menyuruh kawan-kawan memeprkosanya. "Perkosa dia, dosanya aku yang nanggung". Itu tidak berlaku menurut hukum Allah.
Mereka tertipu oleh statement si Fulan. Fulan ya ikut berdosa meski tidak ikut menzinai. Jika ada terapan hukum cambuk 100 kali, maka yang dicambuk hanyalah yang menzinai saja. Begitu pula di akhirat nanti, masing-masing bertanggung jawab sesuai apa yang dilakukan.
Pesan ketiga dari ayat kaji ini adalah, bahwa manusia yang tidak pernah mendapat informasi agama islam, tidak pernah mendapat dakwah islam, lalu mati tanpa keimanan apa-apa, maka tidak disiksa kelak di akhirat nanti. "wamaa kunnaa mu’adzdzibiina hattaa nab’atsa rasuulaan".
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ulama' sunny, ahlus sunnah wa al-jama'ah berpegang pada ayat ini, sehingga menyatakan tidak dosa apa-apa, tidak disiksa di akhirat nanti, siapa saja yang selama hidup di dunia tidak pernah menerima dakwah islamiah. Zaman dulu, pasca nabi Isa A.S. dan santrinya berakhir hingga nabi Muhammad SAW diutus sungguh terjadi kekosongan dakwah, namanya zaman Fatrah. Gimana di akhirat nanti?
Kaum sunny berpendapat: free, bebas dari siksa neraka, tapi tidak memenuhi syarat masuk surga. Mereka ditempatkan di zona tengah, al-A'raf, antara surga dan neraka. Mending. Tidak sama dengan kaum Muktazilah, mereka tetap diadili dan diperhitungkan amalnya berdasar akal sehat yang dimiliki. Hal itu, karena akal sehat adalah bersih dan pasti mengarah ke amal baik. Jadi, yang berbuat baik akan mendapat pahala kebaikan dan yang jahat akan mendapat siksa. Perkara parameter, ukuran baik-buruk menurut akal, skoring dan penilaian, itu kewenangan Tuhan menghitungnya. Rumus akaliah adalah: Tuhan harus mengapresiasi, memberi pahala atas amal baik hamba-Nya dan itulah keadilan. Tuhan juga harus memberi hukuman pada penjahat dan itulah keadilan. Allah a'lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News